Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sebelum dan Setelah Menggempur Kediri | Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Sebelum dan Setelah Menggempur Kediri | Cerpen Risen Dhawuh Abdullah



Semenjak diajak Ranggalawe ke hutan Tarik dan bertemu dengan Dyah Wijaya, rasa raguku untuk mengabdi kepadanya semakin memberat. Rupanya kebusukan yang pernah ada dalam diri Ken Arok menitis padanya. Memang tampaklah jitu pemikiran yang telah dipaparkan padaku. Namun menurutku, pemikiran itu bukanlah gambaran dari sifat seorang kesatria.

Berlindung kepada kata siasat, Dyah Wijaya berencana menyerahkan diri kepada pimpinan Tentara Tar-Tar yang kembali mengunjungi tanah jawa untuk menuntut pertanggungjawaban kepada raja Singasari atas perlakuan tidak hormat kepada utusan kerajaan Mongol—karena Kertanegara telah mati oleh serangan Gelanggelang, maka yang harus memikul tanggungjawab atas perbuatan itu adalah Dyah Wijaya. Menantu Kertanegara itu menyerah untuk sebuah tujuan besar.

“Mereka tidak akan mempunyai kebanggaan apa-apa, jika merebut Kediri, sebab masalah ditimbulkan oleh ayahanda Kertanegara,” kata Dyah Wijaya kepadaku. “Maka itu aku akan meminta bantuan mereka untuk merebut Kediri. Jika kita berhasil menang dan mereka larut merayakan kemenangan itu, di situlah waktu yang tepat. Tahunya mereka aku membuat surat penyerahan untuk raja mereka.”

Aku menatap sekilas wajahnya. Mata itu bagi orang-orang di sekitarnya nampak begitu teduh, tapi bagi musuh bak ujung pedang.

“Gusti begitu yakin dengan jalan yang akan ditempuh,” ucapku. 

“Kekuatan mereka begitu dahsyat, jadi aku cukup yakin kita akan memenangkan peperangan ini. Aku akan segera mengadakan pertemuan dengan para abdi setiaku, menyusun rencana untuk menggempur mereka. Aku tahu pada dasarnya mereka tidak membutuhkan kita. Sebelum mereka menikam dari belakang, kita sudah membokong mereka terlebih dulu.”

“Apakah itu tidak hina, hal licik seperti itu dilakukan oleh kesatria, Gusti?” tanyaku tidak habis pikir. Dalam batin aku berkata, sungguh itu kelicikan yang luar biasa besarnya.

“Itu bukan licik, tapi siasat, Kamandanu.” Dyah Wijaya tersenyum. “Tidak ada seorang pemimpin yang mau harga dirinya diinjak-injak dengan tunduk kepada kerajaan lain. Peristiwa menyerahkan diri kepada Paman Jayakatwang sudah cukup meninggalkan luka, walaupun beliau memberlakukan kerabatku dengan manusiawi.”

Aku tidak bisa berkomentar apa-apa setelah mendengar ujaran Dyah Wijaya yang terakhir. Aku bisa mengerti bagaimana perasaannya, saat harus menyerahkan diri kepada musuh dan memohon ampun. Tapi aku segera teringat dengan Pu Ranubaya, guruku. Tidak ada sejarahnya, lelaki yang gemar minum tuak itu mengajariku untuk membokong musuh. Pu Ranubaya selalu menanamkan padaku, harus menghadapi musuh dengan cara kesatria.

“Ini dalam rangka mengembalikan kehormatan, Kamandanu,” aku mendengar ada suara berbisik dalam hati.

“Apa artinya kehormatan bila dalam mendapatkannya dengan cara yang licik?”

“Itu siasat, bukan licik, Kamandanu.”

Dua sisi saling serang dalam pikiran. Keduanya sama-sama kuat, setiap aku hendak mengambil keputusan, selalu ada alasan lain yang menyela. Wajah Pu Ranubaya terbang dalam angan-angan. Wajah itu mengancamku, seperti mewanti-wanti aku untuk tidak ikut andil dalam rencana Dyah Wijaya yang kuanggap busuk itu.

Pu Ranubaya pernah berkata kepadaku, kalau ia telah melantangkan sumpah tidak akan pernah berhubungan dengan orang-orang Singasari. Semua itu karena masa lalu yang kelam. Empu Gandring yang tidak lain mendiang kakek gurunya, dibunuh oleh Ken Arok. Maka Pu Ranubaya pun membenci trah Singasari. Padahal penjelasan yang kudapat dari ayahanda, Kertanegara bukan keturunan langsung dari Ken Arok. Dyah Wijaya yang sejatinya keturunan langsung. Dan pandangan masyarakat soal itu, masih sama seperti Pu Ranubaya. Seharusnya Pu Ranubaya tidak membencinya.

Pu Ranubaya memang tidak pernah menyuruhku untuk mengikutinya. Hanya saja aku menangkap ucapannya itu sebagai tanda agar aku juga mengikuti jejaknya. Aku tidak pernah bersumpah, tapi keadaan telah membuatku merasa berutang budi kepadanya, sehingga aku patut melakukan apa yang telah dia lakukan—jasanya kepadaku terlampau besar.

Tentu aku masih tidak bisa menerima kalau apa yang dilakukan oleh Dyah Wijaya merupakan suatu siasat. Bagaimana jika ia menerima karma yang setimpal atas apa yang dilakukannya? Aku khawatir sesuatu yang sangat buruk akan menimpanya. Sementara aku tidak punya jalan keluar lain. Janji setia telah mengikatku. Aku telah menyerahkan sepenuhnya diriku untuk mengabdi kepada Dyah Wijaya, walau ikrarku muaranya pada Ranggalawe, begitu bertemu dengannya—walau hatiku bergejolak.

Lagi pula, ayahanda telah mengambil andil besar kepada Singasari, sampai-sampai ia diundang ke istana untuk memperoleh penghargaan langsung dari Kertanegara. Aku tidak bisa menutup mata terhadap itu. Sebagai anaknya, tertanam perasaan ingin meneruskan pengabdian ayahanda, walaupun dengan bentuk lain, bukan sebagai seorang empu pembuat senjata untuk kepentingan kerajaan.

Ahh, pada akhirnya tidak penting lagi memikirkan rencana Dyah Wijaya. Masa lalu dan janjiku telah mengalahkan keraguanku. Dua hal itu terlalu kuat menggelayut dalam kepala. Dan lagi, perang ini bisa kumanfaatkan sebagai ajang menguji pedangku; sebuah pedang yang dibuat dengan darah dan air mata kepedihan. Pedang Naga Puspa. Begitu pedang itu diberikan oleh Lou—mendiang suami istriku—kepadaku jelang kematiannya, aku belum pernah sama sekali membabi buta menghabisi puluhan musuh.

Aku membayangkan pintu istana Kediri yang begitu kokoh dapat kuhancurkan dengan pedang yang berukuran cukup besar itu. Para prajurit Kediri kemudian kocar-kacir menghadapi hal yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Bahkan petinggi Kediri sekalipun, Patih Kebo Mundarang, Ardaraja, atau bahkan Jayakatwang. Mereka bisa jadi akan binasa di ujung pedangku di pertempuran nanti.

Jika berbicara kembali mengenai rencana Dyah Wijaya. Sesungguhnya rencana untuk menyerahkan diri pada pimpinan Tentara Tar-Tar merupakan gagasan Arya Wiraraja. Orang yang cukup dekat dengan Jayakatwang. Dyah Wijaya sendiri yang mengatakan hal itu kepadaku. Pada titik ini aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apakah karena keberadaan Ranggalawe, yang notabene anaknya sendiri, sehingga Arya Wiraraja mau membantu Dyah Wijaya?

Jika hendak mencelakakan mantan petinggi Singasari rasa-rasanya tidak mungkin. Mana mungkin seorang ayah tega mencelakakan anaknya sendiri? Namun, pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak penting. Rencana itu berjalan persis sesuai rencana. Dengan perlahan pasukan Majapahit yang dibantu oleh Tar-Tar bisa merengsek ke halaman istana. Banjir darah terjadi! Pedangku terus bergerak. Hingga kemenangan yang diidam-idamkan Dyah Wijaya tercapai.

Masih ada satu hal yang masih harus diselesaikan. Mengusir pasukan Tar-Tar. Rapat secara sembunyi-sembunyi segera digelar. Begitu rencana telah disusun dengan matang, gerakan-gerakan segera dilancarkan. Pasukan Tar-Tar benar-benar tidak menduga akan hal ini. Mereka yang setangguh badai lautan, topan di gurun, luluh lantak. Sisa pasukan mereka menuju ke kapal dan pergi meninggalkan Jawa.

Kemenangan pun berhasil digenggam. Rakyat menyambut dengan penuh riang dan gembira. Kesejahteraan yang diidam-idamkan rakyat, menuju pada kenyataan. Pemerintah yang baru segera didirikan. Wangsa Rajasa diteruskan. Pejabat-pejabat kerajaan dipilih dengan penuh cermat oleh Dyah Wijaya. Namun ternyata ada yang tidak puas dengan keputusan raja. Pengangkatan Nambi menjadi Patih Amangkubumi ditentang oleh Ranggalawe. Perselisihan semakin menjadi, setelah Halayuda bermain dalam masalah itu.

Pemberontakan pun terjadi. Ranggalawe beradu kesaktian dengan Kebo Anabrang, seorang senopati Singasari yang telah pulang dari Swarnabumi. Ranggalawe kalah, Lembusura tidak terima. Ia tidak bisa membiarkan keponakannya dibantai oleh Kebo Anabrang. Maka dibunuhlah orang itu. Lembusura menghadap raja, mengakui perbuatannya. Sang raja bimbang dalam memberi hukuman. Jasa Lembusura sudah begitu besar untuk Majapahit. Dyah Wijaya memutuskan untuk mengasingkan Lembusura ke Tulembang. Lagi-lagi Halayuda bermain di dalamnya. Lembusura membabi buta di halaman istana. Ia mati bersama Gajah Biru—orang penting di balik berdirinya Majapahit.

Peristiwa-peristiwa itu membuatku miris. Rasa-rasanya baru kemarin berjuang menumpas Kediri. Usia Majapahit baru seumur jagung. Kerajaan telah kehilangan empat petinggi. Ranggalawe, Kebo Anabrang, Gajah Biru, dan Lembusura. Bukan tidak mungkin besok akan menyusul pemberontakan-pemberontakan selanjutnya. Aku merenungi semua kejadian ini. Kekuasaan benar-benar mengerikan. Tiba-tiba aku menjadi teringat dengan ambisi Dyah Wijaya untuk kembali meneruskan trah Wangsa Rajasa.

Apakah ini karma yang diturunkan oleh Dewata kepada Dyah Wijaya, atas kebusukannya? Sekali lagi, kekuasaan benar-benar mengerikan. Keraguan-keraguanku kembali menguak. Tiba-tiba terlintas bayangan di benakku, aku menjadi pemberontak, akibat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Dyah Wijaya yang tidak sesuai dengan hati nurani.

Mungkinkah? Pertanyaan itu cepat-cepat kusisihkan. Selama ini aku tidak pernah punya keinginan mengejar jabatan. Jadi kurasa, kemungkinan itu tidak akan terjadi.

Jejak Imaji, 2021


Sebelum dan Setelah Menggempur Kediri | Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.