Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Neraka Adalah Kehidupan Itu Sendiri
(Christine Ay Tjoe, Second Studio, 2013, Oil on canvas, 170 x 170 cm)

Neraka adalah Kehidupan Itu Sendiri



Jembatan ini cukup tinggi. Jika Aiko meloncat, ia tahu ia akan mati. Atau kalaupun kedua kakinya mendarat lebih dulu kemungkinan besar ia akan lumpuh; belum lagi kendaraan-kendaraan yang melintas cepat di bawah itu lekas menabraknya atau melindasnya. Pastilah bukan pemandangan yang enak dilihat, tapi Aiko membayangkan juga di jalan di bawah itu tergeletak tubuhnya sendiri dalam posisi yang sangat buruk dan memprihatinkan. Orang-orang di trotoar mungkin berteriak histeris, dan sejumlah mobil mendadak berhenti dan kemacetan terjadi. Tak lama kemudian, sirine polisi terdengar nyaring.

Tentu saja Aiko tidak berniat membuat hal itu terjadi. Ia berada di jembatan penyeberangan ini untuk melakukan observasi, bukan bunuh diri. Sebuah novel yang sedang akan ditulisnya menghadirkan sebuah adegan di mana si tokoh utama menjatuhkan diri dari sebuah jembatan penyeberangan dan kematiannya yang tragis ini menjadi titik tolak dari bergulirnya cerita. Aiko membayangkan si tokoh utama itu perempuan; seorang istri dan ibu rumah tangga dengan kehidupan yang biasa. Sepersekian detik sebelum meloncat si tokoh utama ini menekan tombol kirim di ponselnya. Meeru[1] yang ia kirimkan adalah untuk ibu mertuanya: “Neraka adalah orang-orang di sekitar kita. Neraka adalah kehidupan itu sendiri.”

___

Meski saat ini Aiko sama sekali tak berniat bunuh diri, dulu ia pernah benar-benar berniat melakukannya. Itu sekitar lima tahun yang lalu ketika ia masih tinggal di rumah suaminya, ketika ia masih terjebak dalam rumah tangga yang semakin lama semakin terasa tak masuk akal baginya. Sebagai seorang istri ia dibebani tugas untuk mengurus rumah dan ibu mertuanya yang sakit-sakitan. Bahkan, untuk hal ini, ia sampai terpaksa berhenti bekerja padahal ia baru saja memulai karier di sebuah perusahaan jasa ternama ketika itu. Suaminya yang memaksanya berhenti bekerja. Dan belakangan ia tahu, ibu mertuanya yang sakit-sakitan itulah yang mendesak suaminya agar memaksanya berhenti bekerja. Ibu mertuanya itu memang seorang perempuan yang kolot dan bodoh. Dalam benaknya, sudah semestinya seorang perempuan melakukan tugas-tugas domestik ketika ia menjadi seorang istri. Ibu mertuanya itu tak bisa membayangkan anak menantunya menghabiskan banyak waktunya di luar untuk bekerja sedangkan anak semata wayangnya yang dibanggakannya itu memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang menurutnya sangat baik.

Aiko bertahan di rumah itu hingga tahun keempat. Dua tahun pertama sebenarnya tidak begitu buruk sebab suaminya, meskipun ia sama kolotnya dengan ibu mertuanya itu, tak pernah memperlakukannya dengan kasar. Namun perlakuan kasar itu mulai diberikan suaminya memasuki tahun ketiga. Hari-harinya di kantor sepertinya terus memburuk dan ia melampiaskan kekesalan dan kemuakannya itu di rumah, kepada Aiko. Hampir setiap hari Aiko mendapati dirinya dikata-katai kasar oleh suaminya itu; beberapa kali ia bahkan pernah ditampar atau dipukul dan pernah juga suatu kali ia dicekik hingga ia hampir benar-benar kehabisan napas. Dan seakan-akan itu belumlah apa-apa, ibu mertuanya yang sakit-sakitan itu pun ikut-ikutan mengasarinya. Tentu saja perempuan itu tidak bisa mengasarinya secara fisik sebab ia lumpuh dan nyaris sepanjang hari hanya berbaring di kasurnya, tetapi lidahnya bisa sangat tajam dan kadar serta intensitas ketajamannya meningkat berkali-kali lipat di tahun ketiganya di rumah itu. Pernah ia berpikir bahwa perempuan tua itu sebenarnya kesal kepada anaknya, hanya saja ia tak sampai hati melampiaskannya kepada orangnya langsung, dan ia pun menyasar Aiko sebagai alternatif. Sungguh sebuah keputusan yang aneh jika itu benar. Dan sementara Aiko berharap situasi neraka ini segera berakhir, dan kehidupan rumah tangganya perlahan-lahan membaik, apa yang dihadapinya setiap harinya sama sekali tak tertuju ke arah sana.

Dan puncaknya adalah malam itu; sebuah malam di mana suaminya menyetubuhinya dengan kasar. Itu pemerkosaan. Aiko sama sekali tak menginginkan hubungan badan namun ia terlampau tak berdaya untuk melawan; ia takut suaminya itu akan kembali memukulinya atau bahkan mencekiknya dan kali itu mungkin saja ia akan benar-benar mati. Sehabis persetubuhan yang buas itu, suaminya pergi begitu saja ke ruangan lain tanpa mengatakan apa pun. Di tempat tidur, Aiko terbaring menelungkup dan begitu lemas. Tatapan matanya kosong. Mulutnya sedikit terbuka seperti tengah melepaskan sesuatu yang entah apa—mungkin energi kehidupannya sendiri. Di ruangan lain itu suaminya menyalakan televisi dan membesarkan volumenya dan Aiko bisa mendengar dengan cukup jelas kata-kata yang dimuntahkan televisi itu. Ia sendiri pun ingin muntah. Ingin sekali, tetapi ia menahannya. Dan ketika ia sudah tak bisa menahannya lagi ia bergegas ke toilet yang jaraknya sebenarnya cukup jauh dari kamarnya itu. Di perjalanan ke toilet ia sempat menoleh dan mendapati suaminya tengah duduk di sofa menonton televisi dalam keadaan telanjang. Di dalam hatinya, Aiko menyumpahi suaminya itu agar cepat mati.

Di dalam toilet, setelah puas muntah-muntah, Aiko menatap lekat muntahannya itu seakan-akan cairan menjijikkan tersebut memiliki mata dan tengah balik menatapnya. Entah dari mana ide gila ini berasal, tapi Aiko sempat berpikir untuk membenamkan kepalanya ke muntahannya di kloset itu, dan terus membenamkannya hingga dalam sampai ia mungkin kehabisan napas dengan sendirinya. Tentu itu tak dilakukannya. Setelah membersihkan muntahannya itu ia keluar dan langsung menuju ke kamar mandi. Di kamar mandi, sambil membersihkan ofuro[2] dan menunggu air panas mengisinya penuh, ia membayangkan dirinya menyusut dan terus menyusut dan lambat-laun ia pun tenggelam dan akhirnya mati. Tubuh Aiko memang tidak menyusut, tapi setelah ofuro itu penuh ia benar-benar mencoba menenggelamkan dirinya di sana; ia biarkan bagian atas tubuhnya berada di dalam air cukup lama sampai-sampai ia mulai merasa tidak nyaman dan terancam dan akhirnya ketakutan dan ia pun bangkit. Malam itu ia tak jadi mati. Ia ingin mati, ingin sekali mati, tapi ia ternyata tak punya cukup keberanian untuk menghabisi dirinya sendiri.

___

Kenapa di novel yang sedang akan ditulisnya itu Aiko terpikir untuk menghadirkan adegan di mana si tokoh utama menjatuhkan dirinya dari sebuah jembatan penyeberangan? Itu karena beberapa waktu yang lalu ia membaca sebuah cerita berjudul “Taman Bermain”. Ada adegan seperti itu di cerita tersebut: si tokoh utama, seorang perempuan yang sampai cerita berakhir pun namanya tak dikemukakan, tengah berpikir untuk meloncat dari sebuah jembatan penyeberangan ketika dua tokoh lain—keduanya juga perempuan—memergokinya dan menghampirinya dan membujuknya untuk membatalkan rencananya. Dan mereka berhasil. Dan beberapa lama setelahnya ketiga perempuan ini duduk mengobrol di sebuah famiresu[3]. Anri-chan, si tokoh yang digambarkan memiliki semacam sinar yang memancar dari dirinya, yang sanggup membuat si tokoh utama menekan hasrat bunuh dirinya dalam sekejap, meminta si tokoh utama bercerita, menjelaskan kenapa ia sampai ingin bunuh diri. Setelah menyimak penjelasan si tokoh utama Anri-chan menuturkan cara pandangnya atas kehidupan. Menurutnya, kehidupan yang dijalani manusia itu seperti taman bermain; orang-orang sudah membeli tiket dan berada di sana dan mereka punya pilihan untuk menggunakan tiket itu dan menikmati wahana-wahana yang ada. Tentu saja ada kemungkinan saat mencoba sebuah wahana orang-orang itu tak menikmatinya, atau bahkan menderita, tapi itu risiko yang harus diambil. Menurutnya, masih lebih baik menggunakan tiket yang sudah kadung dibeli itu daripada tak menggunakannya sama sekali.

Si tokoh utama, yang pada dasarnya adalah orang yang pesimistis dan pemurung, tidak begitu saja menelan bulat-bulat apa yang dituturkan Anri-chan. Tapi ia memenuhi permintaan Anri-chan untuk terus bertahan hidup, di mana untuk memastikannya mereka mengatur janji untuk bertemu dua minggu sekali di famiresu itu. Di setiap pertemuan itu mereka mengobrol dan mengobrol, tentang apa saja, dan tentu Anri-chan selalu menjadi pusat—pasalnya di antara mereka bertiga hanya ia yang pembawaannya riang. Lama-kelamaan si tokoh utama menyadari bahwa ia tertarik kepada Anri-chan. Ia menyayangi Anri-chan seperti seorang kakak menyayangi adiknya. Sementara itu si perempuan yang satu lagi, yang dipanggilnya Yamamoto-san, didapatinya memosisikan Anri-chan seperti seorang kekasih. Kelak ada konflik yang ganjil di antara mereka bertiga ini, di mana pada satu titik kedekatan mereka merenggang sebab Anri-chan memutuskan untuk menikah dengan seorang gaijin[4], seorang lelaki dari Indonesia. Anri-chan menikah dengan lelaki itu; Yamamoto-san menghilang; si tokoh utama dihadapkan pada dilema antara tak mencampuri urusan pribadi Anri-chan atau menarik keluar perempuan itu dari kehidupan rumah tangganya yang sangat buruk. Anri-chan akhirnya mati; ia menggantung diri di rumahnya dan si tokoh utama sendirilah yang menemukannya dan kemudian menurunkan jasadnya yang telah dingin. Beberapa bulan sebelumnya Anri-chan resmi bercerai dengan suaminya dan lelaki itu pulang ke Indonesia dan menikahi seorang perempuan di sana dan kemudian membawa si perempuan itu ke negeri ini.

Cerita yang muram. Aiko bahkan nyaris tak merasakan adanya optimisme di sepanjang cerita berlangsung. Kalaupun toh optimisme itu ada, ia terlalu samar dan terlalu lemah; tidak cukup kuat untuk mengatasi kemuraman yang membayang-bayangi si tokoh utama dengan pekat. Untunglah Aiko membaca cerita ini ketika kondisi kejiwaannya sedang baik. Ia tidak merasa terganggu atau apa. Yang ia rasakan, terutama di bagian yang menggambarkan puncak penderitaan Anri-chan, adalah rasa empati yang bercampur kasihan. Anri-chan mengalami kekerasan demi kekerasan dari suaminya yang gaijin itu. Namun bukannya memberontak dan pergi seperti yang dilakukan Aiko, Anri-chan justru bertahan di dalam rumah tangganya itu dan akhirnya ia pun dicampakkan dan sangat hancur. Sempat Aiko bertanya-tanya akankah ia pun seperti itu seandainya empat tahun lalu ia tidak memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah suaminya—juga rumah tangganya—dan menempuh kehidupan baru kota ini.

Empat tahun yang lalu itu, bisa dibayangkan, kondisi kejiwaan Aiko sudah sangat buruk. Ia juga jadi kurus dan terlihat lemah. Ia tak tahu lagi kenapa ia ada di rumah itu kenapa ia mengurus ibu mertuanya yang sakit-sakitan itu kenapa ia masih saja menjalani hidup sebagai istri dari si lelaki yang masih terus saja mengasarinya itu. Ia seperti ada di sana, namun tak benar-benar ada di sana. Dan ia benar-benar merasa sendirian sebab ibunya meninggal di awal tahun keempat rumah tangganya sedangkan hubungannya dengan ayahnya dan kakaknya sedari dulu tak pernah baik. Aiko ingin menghilang, ingin pergi dan menghilang, tetapi ia tahu itu tak mungkin, setidaknya sampai suatu hari ia menemukan informasi soal agensi-agensi “bawah tanah” yang biasa mengurusi hal-hal semacam itu.

Agensi-agensi ini semi-ilegal. Keberadaannya memang diakui oleh masyarakat, juga negara, namun jasa yang ditawarkannya kerap dipandang sebagai sesuatu yang negatif oleh banyak orang. Sederhananya inilah jasa yang ditawarkannya itu: memfasilitasi orang-orang yang ingin melarikan diri atau menghilang; membantu orang-orang itu memperoleh tempat tinggal baru, identitas baru, pekerjaan baru, kehidupan baru. Identitas si pemilik dan para karyawannya dijaga ketat sebab selalu ada kemungkinan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh akivitas bisnis mereka ini akan mencoba menyerang mereka dan bahkan membunuh mereka. Sebuah profesi dengan risiko yang sangat tinggi, dengan kata lain. Namun bagi para kliennya, termasuk Aiko, keberadaan agensi-agensi ini begitu penting. Agensi-agensi ini menyediakan jalan keluar bagi orang-orang seperti Aiko; orang-orang yang sudah putus asa dengan hidup yang dijalaninya tetapi sesungguhnya masih berharap ada alternatif lain yang bisa dicoba. Tarif yang dikenakan untuk jasa yang unik ini memang mahal, tapi setimpal dengan apa yang akan diperoleh dan dirasakan kemudian: kehidupan baru, perasaan terbebas dari belenggu. Agensi-agensi ini seperti penyelamat, seperti pahlawan. Tak peduli banyak orang melihat mereka sebagai aib, Aiko sangat bersyukur dan berharap agensi-agensi ini akan terus ada.

Empat tahun yang lalu, sebagai klien, Aiko difasilitasi untuk pindah ke kota ini. Saat ini pun Aiko bahkan masih ingat betapa tegangnya ia saat orang-orang dari agensi itu berada di rumahnya dan membantunya menyiapkan apa-apa yang mau ia bawa. Untungnya Aiko belum punya anak. Ini sedikit-banyak memudahkan orang-orang itu, juga dirinya sendiri. Suaminya sedang berada di kantor dan belum akan pulang hingga berjam-jam kemudian. Satu-satunya hambatan adalah kehadiran ibu mertuanya yang sakit-sakitan itu, yang bisa sewaktu-waktu memanggilnya, memintanya melakukan ini dan itu.

Dengan tiga unit mobil, satu di antaranya mobil boks yang cukup besar, orang-orang dari agensi itu mengantar Aiko dan barang-barang bawaannya ke kota ini. Perjalanan yang sangat jauh, memakan waktu hampir sebelas jam. Tentu saja di sepanjang perjalanan itu Aiko mematikan ponselnya dan pihak agensi pun telah memberinya nomor baru yang siap diaktifkan kapan saja. Di rumah, ibu mertuanya terbaring sendirian. Aiko sempat memikirkannya dan begitu terganggu oleh hal ini, namun ia mencoba mengabaikannya dan fokus pada kehidupan baru yang tengah menantinya di kota tujuan. Aiko membayangkan suaminya itu terkaget-kaget mendapati rumahnya terlihat lengang dan Aiko tak di sana, dan ibu mertuanya mungkin berulah dan membuatnya kesal, dan akhirnya ibu-anak ini pun saling memarahi satu sama lain. Di wajah Aiko terbersit sebuah senyum yang sangat kecut. Sementara ia memandangi hal-hal di luar jendela yang seperti bergerak melewatinya, di dalam hatinya ia bergumam: semoga saja setelah ini aku bisa menjalani hidupku sebagai aku. Selama empat tahun rumah tangganya itu, Aiko merasa, ia hidup bukan sebagai dirinya melainkan sebagai dirinya-yang-diinginkan-orang-lain.

Dan paling tidak sejauh ini Aiko bisa mengatakan bahwa di kota ini, dengan kehidupan barunya ini, ia menjalani hidupnya sebagai dirinya. Tentu ia tidak bisa sepenuhnya menjadi dirinya di setiap saat sebab bagaimanapun ada situasi-situasi yang memaksanya untuk hadir sebagai dirinya-yang-diinginkan-orang-lain. Tapi Aiko kini menentukan batas toleransi yang ketat. Ia, misalnya, tidak akan lagi membiarkan dirinya dibelenggu dan dikasari seperti dulu. Di kota ini, di mana selama enam hari dalam seminggu ia bekerja di sebuah salon kecantikan, Aiko telah bertahun-tahun ini membiasakan dirinya membaca buku di waktu-waktu senggangnya, terutama buku-buku yang menawarkan cerita yang rumit dan pelik dan ditulis oleh seorang perempuan. Dua tahun lalu ia mulai mencoba menulis cerita-ceritanya sendiri, dan sekitar enam bulan kemudian ia memberanikan diri untuk mengirimkan cerita-ceritanya itu ke media cetak. Sejak saat itu, sudah ada enam ceritanya yang terbit di empat media cetak berbeda. Aiko merasa ia bisa berkarier sebagai penulis, dan ia pun terpikir untuk coba-coba menulis novel saja.

Dan kini ia sedang dalam upaya memulai novelnya itu. Malam dengan jalan yang ramai dan dingin yang biasa. Malam dengan banyak bunyi dan cahaya dan orang-orang yang berlalu-lalang. Aiko membayangkan novelnya itu dibuka dengan adegan di mana si tokoh utama berdiri di jembatan ini, dengan situasi seperti ini, dan ia memegang ponsel. Si tokoh utama memandang jauh ke depan, memikirkan betapa konyolnya menjalani hidup tetapi bukan sebagai dirinya.(*)

—Bogor, 23-25 Februari 2020


Neraka adalah Kehidupan Itu Sendiri

Ardy Kresna Crenata menulis cerpen, puisi, esai, tinjauan buku, dan novela. Buku termutakhirnya adalah sebuah kumpulan cerpen kolaborasi berjudul Tagami Mariko & Bunuh Diri Para Robot (Rua Aksara, 2020), di mana ia, bersama Bagus Dwi Hananto, masing-masing menawarkan lima cerpen berlatar Jepang. Ia bekerja di NovelMe sebagai male editor.


[1] Pesan elektronik.
[2] Bathtub ala Jepang.
[3] Dari family restaurant.
[4] Orang asing..