Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pertalian Harsawijaya dan Yikomusu | Cerpen: Risen Dhawuh Abdullah
Ilustrasi: susantrudinger

Pertalian Harsawijaya dan Yikomusu | Cerpen: Risen Dhawuh Abdullah



Kau telah mengetahui akibatnya, bila berangkat perang bersama pasukan Mongol dan kemenangan berhasil digenggam. Siasat itu membuat sebagian sisi hatimu tidak dapat menerima. Sisi kesatriamu. Setelah isi kepalamu kau peras habis-habisan, kau sadar jika cara itu merupakan satu-satunya siasat yang jitu. Sementara itu kesumat masa lalumu belum terobati.

Balas dendam bukan tujuanmu satu-satunya. Kau mempunyai tujuan lain, akan penyerbuanmu dari bagian selatan Kotaraja Kediri. Sebagai penerus dari trah Wangsa Rajasa beban di pundakmu begitu berat, meneruskan keturunan sekaligus mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai Singhasari yang namanya sampai ke Swarnabhumi.

“Andai saja Dewata memberikan kemurahan, berupa sekali saja kesempatan meminta, aku akan meminta supaya tanggung jawab ini dilimpahkan pada orang lain,” ucapmu kepada Tribhuwana, salah satu istrimu pada saat dalam pelarian menuju Sumenep di sebuah penginapan. Manusiawi, seorang kesatria bukan berarti tanpa perasaan melankolis.

Setelah kau diberikan Tanah Tarik, sesungguhnya hatimu dikuasai oleh pesimis yang hebat. Terus merasa bahwa kau kecil dan tak punya lagi daya, hadir sebagai hantu dalam hari-harimu. Tapi kau selalu berupaya dengan segenap tenaga untuk tidak menampakkan akan bentuk-bentuk pesimismu. Tanah Tarik? Menyebut dua kata itu, mau tidak mau kau teringat dengan Ardaraja. Kau yakin bahwa dialah yang bermain dalam keputusan, sehingga kau beserta dengan punggawa lainnya diberi Tanah Tarik.

“Apa pantas keturunan trah Wangsa Rajasa, bersikap seperti ini? Bukalah matamu, Kakanda. Rakyat yang setia kepada Singhasari, mereka membangun Tanah Tarik ini siang malam, membuat subur tanahnya yang gersang dengan keringat mereka. Percayalah kepada saya Kakanda, semuanya tidak akan sia-sia.”

Ucapan Tribhuwana tidak kau tanggapi. Bagaimana mungkin kau dapat merebut kembali Singhasari dengan kekuatan yang apa adanya? Nambi mengucap kata padamu, ia membenarkan saja apa yang kau gelisahkan. Menggunakan kekuatan saat itu untuk menggempur Kediri merupakan hal yang mustahil dilakukan. Kau telah mendapat laporan dari abdi setiamu, kalau kekuatan rakyat yang masih setia kepada Singhasari hanya tersisa kurang lebih lima ribu orang. Itu pun tidak semuanya mempunyai olah kanuragan. Kau bisa-bisa mati konyol kalau menabuh genderang perang dengan Kediri.

Ranggalawe meyakinkanmu bahwa merebut Kediri bukan menjadi hal yang mustahil, hanya saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Artinya persiapan juga harus benar-benar matang. Mantan punggawa Singhasari yang berpaham kalau kekuatan kanuragan adalah segala-galanya itu juga bersedia membentuk semacam kelompok khusus yang nantinya untuk melatih para rakyat setia Singhasari. Dengan sedikit rasa tidak percaya kalau itu bisa terjadi, kau pun menyambut baik kebersediaan Ranggalawe.

***

Benar-benar tidak pernah kuduga. Rencana-rencana yang telah tersusun secara matang hilang begitu saja. Dalam bayanganku, apabila tuntutan dari negeriku kembali tidak dipenuhi—untuk takluk—Kertanegara yang sombong itu, dua ribu pasukanku akan langsung menyerang tanpa ampun untuk meluluhlantakkan Singhasari. Laporan yang kudapatkan dari rekan Meng Chi, cukup meyakinkanku bahwa pasukanku dapat memporak-porandakan prajurit Singhasari. Kami, negeri Mongol telah terkenal tangguh dalam hal peperangan.

Awalnya aku tidak yakin saat menanyakan jalan yang mengarah ke kediaman raja Singhasari kepada seorang yang tinggal di pinggir pantai wilayah Tuban. Orang itu mengatakan kalau negerinya tidak lagi dipimpin oleh Kertanegara. Raja itu telah tiada setelah kerajaan lain mengambil alih. Orang itu bersedia dihukum mati, apabila perkataannya dusta. Maka aku membawanya ke perkemahan untuk mengetahui lebih jauh perihal apa yang sebenarnya terjadi.

Berperang dengan negeri baru akan sangat lucu—kami tidak mempunyai urusan dengan kerajaan yang baru. Bisa saja aku memerintahkan pasukan untuk menyerbu, tapi itu bukanlah tindakan yang tepat. Lagi pula pasukan yang kupimpin ditugaskan supaya selalu siaga untuk perang, apabila Kertanegara menolak takluk.

Aku memberitahu sudah tidak ada Singhasari, hanya kepada beberapa orang kepercayaanku saja. Hal ini kulakukan untuk meminimalisir adanya kegaduhan di lingkunganku. Dari keterangan orang yang kubawa ke perkemahan yang kudirikan di Pacekan, ternyata masih ada kerabat Kertanegara yang masih hidup, yaitu Harsawijaya. Menantu Kertanegara. Orang itu telah diberi Tanah Tarik oleh raja yang baru sebagai bentuk takluk dan setia.

“Sebaiknya kita mengirim surat kepada Wijaya, Panglima,” ucap Jenderal Kau Hsing. “Kita meminta pertanggungjawaban.”

Maka kulayangkan surat kepada Harsawijaya, dengan perantara utusanku. Saat utusanku kembali, aku lega, Harsawijaya ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Ia bersedia mempertanggungjawabkan perbuatan mertuanya, asalkan aku mau membantunya untuk merebut kembali Kediri. Dalam surat balasannya, Harsawijaya mengatakan, apalah artinya bila ia menyerah, tapi ia tidak mempunyai kekuasaan?

Jenderal Kau Hsing membenarkan apa yang Harsawijaya sampaikan. Hati kecilku sebenarnya tidak dapat menerima, bila harus membantu Harsawijaya merebut kembali Kediri. Apakah Harsawijaya dapat kupercayai? Bila melihat isi suratnya, rasa-rasanya Harsawijaya tidak main-main. Bagaimana kalau ia membokong? Namun, Jenderal Kau Hsing berhasil meyakinkanku dengan mengingatkan tugas berlayar ke tanah Jawa ini. Aku pun akhirnya bersedia membantu tanpa keraguan.

Pasukan kami beberapa ada yang tewas. Agak disayangkan memang, tapi penyerahan diri Harsawijaya lebih penting. Namaku akan semakin harum di depan Kaisar. Begitu perang selesai, dengan gagah prajurit kami langsung mengemaskan harta rampasan perang, terutama yang berasal dari istana Kediri. Perhiasan begitu banyak. Aku tidak melarang mereka, toh ini adalah buah hasil kerja keras mereka. Lagi pula, bila tidak ada kami, apa mungkin pasukan Harsawijaya menang? Ini bukan serakah. Kami berhak atas harta itu.

Namun, ketika kabar itu datang, seakan dunia telah runtuh. Bajingan kau Wijaya! Aku menyesal dan sedikit beradu mulut dengan Jenderal Kau Hsing. Orang-orang Harsawijaya telah melakukan pembantaian terhadap prajurit yang kusertakan untuk mengawal Harsawijaya. Istana Kediri yang kami diami dikepung oleh orang-orang Harsawijaya. Mengapa aku tidak menuruti hati nuraniku? Kami begitu sudah pengalaman dalam hal siasat, mengapa begitu mudahnya kecolongan?

Sempat kubuat rencana—karena aku menyesal telah membantu—akan memukul balik pasukan Harsawijaya. Namun, baru akan kurencanakan pukulan balik itu, kabar itu malah datang padaku. Ternyata orang-orang Harsawijaya telah membokong lebih dulu. Aku menjadi ingat, saat setelah kemenangan berhasil didapatkan, Harsawijaya tidak ada di istana Kediri—aku begitu percaya saja apa yang diucapkan Banyak Wide, kalau Harsawijaya sedang mengejar beberapa orang penting Kediri yang belum ditaklukkan. Aku menduga pada saat itulah ia mengumpulkan beberapa orang untuk merencanakan pembokongan terhadap kami.

“Kita tidak mungkin lagi melawan mereka, prajurit kita sudah banyak yang mati karena siasat mereka. Maka satu-satunya pilihan adalah kembali, kita harus perhitungkan untung dan ruginya. Kita akan berlayar ke utara lebih dulu, menuju Borneo. Di sana kita akan mencari bekal untuk pulang, sebab dengan bekal kita yang ada saat ini tidak akan cukup untuk sampai di tujuan. Sementara kita tidak mungkin mencari bekal di Jawa,” ucapku.

***

Kau menyadari kalau semua siasat yang sudah dijalankan bukan sepenuhnya dari kepalamu. Jika ditanya siapa yang paling berjasa membuat siasat yang sedemikian mengesankan, adalah Banyak Wide. Ialah orang yang mendorongmu untuk menyingkirkan sifat kesatria yang bersemayam pada dirimu. Terbukti, siasatnya cemerlang. Sedari awal, kau telah mengetahui akibatnya, bila berangkat perang bersama pasukan Mongol dan kemenangan berhasil digenggam.

Setelah kemenangan sudah berhasil diraih, tugasmu belum selesai. Banyak Wide memang tidak pernah menyarankan untuk menyerahkan diri dan mengirim surat penaklukan—lagi pula bila hal itu kau lakukan, tetap tidak dapat membersihkan nama besar Kertanegara di negeri seberang. Siasat itu dibuat agar kekuasaan kembali kepada yang berhak. Tugas selanjutnya adalah memukul balik pasukan Mongol. Kau menyesal telah mengucap janji kepada Banyak Wide, bahwa jika siasatnya berhasil, kau akan memberikan separuh kekuasaanmu. Setelah pertemuan dengan Banyak Wide, kau benar-benar menyesal.

“Orang-orang berlomba-lomba mencari kekuasaan dan keuntungan, tapi aku? Bagaimana andaikata Ken Arok masih hidup dan melihat semua ini?” sesalmu. Semuanya sudah terjadi.

Kau tidak mungkin menarik kembali ucapanmu ke Banyak Wide, sebab ucapan seorang raja adalah sabda. Lagi pula, mau dikemanakan harga dirimu? Ya, walaupun Banyak Wide tidak begitu menanggapi janjimu. Kau pun selain menyayangkan sebagian kekuasaanmu akan beralih kepadanya, juga muncul pikiran yang membuatmu khawatir. Kekhawatiran semacam apa?

Sementara rakyatmu begitu mengelu-elukanmu. Mereka seperti baru saja terbebas dari hukuman berat. Sesungguhnya tidak ada satu pun orang yang tahu akan penyesalanmu dan apa yang sedang mengganggu pikiranmu, bahkan istri-istrimu sendiri. Besok adalah tanggal 15 bulan Kartika, tahun 1215 Saka, seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagimu. Kenyataannya kau merasa waktu menjelma ribuan panah yang siap mengarahkan ke dadamu.

Kekhawatiranmu cukup berdasar. Setelah kau berikan separuh wilayah kekuasaanmu kepada Banyak Wide, timbul pertanyaan, bagaimana jika ia menyiapkan kekuatan setelah itu untuk meruntuhkan kekuasaanmu? Seketika kau ingat dengan peristiwa pembuangan Banyak Wide ke Sumenep oleh mertuamu.

Jejak Imaji, 20 Desember 2021


Pertalian Harsawijaya dan Yikomusu | Cerpen: Risen Dhawuh Abdullah

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tahun 2021. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Buku budaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bekerja di baleristan.com. Bermukim di Pleret, Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.