Bamustani Desak Presiden Batalkan UU Cipta Kerja
Berita Baru, Jakarta – Badan Musyawarah Tani dan Nelayan Indonesia (Bamustani) mendesak Presiden RI tidak menandatangani Undang-undang Cipta Kerja, atau membatalkan dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Organisasi petani dan nelayan yang tergabung dalam Bamustani yaitu Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menjelaskan terdapat beberapa hal kontroversial dalam pengesahan UU Cipta Kerja.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menerangkan bahwa terdapat beberapa hal kontroversial dalam pengesahan UU Cipta Kerja. Pertama, kata Henry, proses pengesahan UU Cipta Kerja sangat cepat hanya memakan waktu 7 bulan. Pembahasan bahkan dilakukan ketika DPR memasuki masa reses di Bulan Juli 2020 lalu.
“Kedua, pembahasan UU Cipta Kerja memiliki implikasi besar karena mengubah, menghapus, dan bahkan menambahkan pasal-pasal baru dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Kami melihat terdapat beberapa pasal yang bertentangan dengan konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),” kata Henry dalam keterangan resmi, Rabu (14/10)
Ketiga, proses pembahasan RUU Cipta Kerja abai terhadap situasi dan kondisi pandemi Covid-19. Kebijakan penanganan yang dikeluarkan pemerintah cenderung hanya mengedepankan kepentingan ekonomi dan mengabaikan hak rakyat atas keamanan dan kesehatan.
Henry menjelaskan SPI berpandangan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi, sarat akan kepentingan korporasi, dan sangat berpotensi memunculkan pelanggaran terhadap hak-hak petani, nelayan dan orang-orang yang bekerja di pedesaan.
Senada dengan petani, nelayan juga menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja. Sekretaris Jenderal SNI Budi Laksana menyatakan UU Cipta Kerja membatalkan ketentuan UU 45/2009 tentang Perikanan dan UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
“Sebelumnya nelayan kecil menjadi prioritas dalam pemberdayaan dan keleluasaan para nelayan kecil untuk mengakses sumber daya perikanan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun UU Cipta Kerja mengubahnya,” tutur Budi.
Dari izin-izin yang ada, kata Budi, seperti Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), RUU Cipta Kerja menyederhanakannya menjadi satu izin, yaitu cukup izin berusaha.
“Kemudian untuk pengurusan perizinannya terpusat di Jakarta. Dengan luasnya wilayah Indonesia dan izin yang sama diberlakukan juga bagi nelayan kecil, maka akan terjadi pertarungan yang tidak sehat antara korporasi dengan nelayan kecil,” pungkas Budi.
Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti) juga akan bergerak bersama untuk melawan pengesahan UU Cipta Kerja dan tindakan-tindakan represif pemerintah terhadap ekspresi demokrasi.
“Untuk memposisikan secara hukum isi dari UU Cipta Kerja, kami bersama-sama petani dan gerakan rakyat lainnya termasuk para ahli hukum akan mengambil jalan konstitusional,” terang Presiden Wamti Agusdin Pulungan.
Apabila presiden tidak membatalkan pengesahan UU Cipta Kerja, Bamustani akan mengajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi RI dan terus menyuarakan penolakan melalui aksi-aksi di daerah dan nasional sampai dengan UU Cipta Kerja tidak berlaku. (*)