Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Peluncuran Buku Bapa Semua Bangsa, Membaca Kembali Pramoedya Ananta Toer, Haul ke-19 Pram
keterangan: dari kiri kanan, Adiba Sofinadya, Mundi Rahayu, dan Janwan Tarigan.

Peluncuran Buku Bapa Semua Bangsa, Membaca Kembali Pramoedya Ananta Toer, Haul ke-19 Pram



Berita Baru, Malang – Puluhan pemuda ramaikan momen peluncuran Bapa Semua Bangsa, Membaca Seabad Pramoedya Ananta Toer, pada Rabu malam, 30 April 2025, di Oase Café & Literacy, Jl. Joyoutomo V Blok F, No. 1, Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang.

Januari lalu, perayaan seratus tahun atau seabad Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dunia asal Blora itu dirayakan di berbagai daerah. Salah satunya, Kota Malang. Pram merupakan sastrawan berpengaruh yang mewariskan narasi sejarah keindonesiaan kita, melalui karya sastra.

Berbagai kelompok, komunitas literasi, atau organisasi menyambut seabad Pram yang bertepatan pada 6 Februari 2025 itu dengan beragam ekspresi dan kegiatan. Adapun, Semilir Media dan Intrans Publishing memiliki cara sendiri dalam merayakan seabad Pram, dengan mengajak anak muda menulis. Kumpulan tulisan itu kemudian dibukukan dalam Bapa Semua Bangsa, Membaca Seabad Pramoedya Ananta Toer.

Alhasil, pada Rabu lalu Semilir Media, Intrans Publishing, Gubuk Tulis, dan Epistemic berkolaborasi meluncurkan Bapa Semua Bangsa untuk pertama kalinya, dengan menghadirkan editor buku, Janwan Tarigan dan guru besar culture studies UIN MalangMundi Rahayu.

keseruan peserta diskusi
keterangan: keseriusan peserta diskusi

Moderator, Adiba Sofinadya, pegiat Gubuk Tulis membuka peluncuran buku dengan hangat dan akrab. Ia mengatakan bahwa Pram adalah sosok yang besar dan berpengaruh di Indonesia dan dunia. 

“Dan, buku ini berisi telaah terhadap Tetralogi Buru, pandangan Pramoedya tentang nasionalisme, sejarah, dan politik Indonesia, kiprah Pram sebagai figur intelektual menghadapi represi rezim Orde Baru, dan pengaruh Pram dalam gerakan literasi dan pemikiran kritis generasi muda,” tambahnya.

Janwan membuka pemaparannya dengan menjelaskan bahwa buku ini lahir sebagai bentuk penghormatan terhadap 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, sosok yang tidak hanya menulis, tetapi juga berjuang melalui tulisan. Buku ini merupakan kompilasi reflektif dari berbagai penulis yang membaca kembali relevansi pemikiran Pram dalam situasi kebangsaan saat ini.

Ia mengutip salah satu pernyataan Pram yang terkenal, “Saya akan menyayangimu jika kamu menulis. Menulislah. Karena hanya dengan menulis, engkau menjadi abadi”. Kutipan ini menurut Janwan mencerminkan semangat Pram dalam menulis sebagai bentuk perlawanan dan penyelamatan sejarah yang tak pernah diberi tempat dalam narasi resmi. 

“Menulis, bagi Pram, adalah alat melawan kelupaan, dan itulah yang digambarkan dalam buku ini lewat berbagai esai yang menelusuri sejarah, ideologi, dan ketegangan identitas dalam karya-karyanya,” tambah pria asal Medan itu.

Peluncuran Buku Bapa Semua Bangsa, Membaca Kembali Pramoedya Ananta Toer, Haul ke-19 Pram

Sedangkan, Mundi Rahayu menekankan bahwa karya-karya Pram selalu mengingatkan kita akan pentingnya melawan ketidakadilan dan penindasan. Dari masa kolonial, orde baru, hingga era kontemporer struktur kekuasaan yang menindas selalu hadir, dan Pram dengan konsisten merekam serta mengkritisinya melalui fiksi yang sangat tajam.

“Buku ini memperlihatkan bagaimana Pram tidak sekadar menulis cerita, tetapi menulis untuk membongkar kuasa.” ungkap Bu Mundi.

Meminjam istilah “writing back to power”, Pram menjadikan sejarah sebagai medan perjuangan intelektual. Esai-esai dalam buku ini menunjukkan bahwa tulisan Pram tetap relevan di era post-truth sekarang, ketika informasi dimanipulasi dan sejarah dilupakan. Di tengah apatisme anak muda terhadap isu struktural, karya Pram memberi daya dobrak yang kuat.

Peluncuran Buku Bapa Semua Bangsa, Membaca Kembali Pramoedya Ananta Toer, Haul ke-19 Pram

Sesi dialog dengan peserta pun gayung bersambut. Galang, salah satu peserta diskusi menyampaikan bahwa karya-karya Pramoedya, sebagaimana tergambarkan dalam buku ini, adalah bentuk dari “ilmu transparansi” tulisan yang tidak menyembunyikan apa pun, tetapi justru membongkar yang disembunyikan oleh kekuasaan. Pram memberi ruang bagi anak muda untuk berani melawan penindasan, terutama dalam konteks hari ini, di era kekuasaan yang semakin terpusat seperti pada masa Prabowo.

Galang menyoroti bagaimana buku ini menjadikan Pram tidak hanya sebagai sosok sejarah, tapi sebagai sumber inspirasi praksis. Esai-esai di dalamnya seolah menjadi alarm bagi generasi muda agar tidak larut dalam politik basa-basi. Karya Pram, menurutnya, adalah pedoman untuk tetap kritis, melawan ketidakadilan, dan mempertanyakan narasi tunggal negara sesuatu yang sangat diperlukan saat demokrasi semakin redup.

Pram, tidak akan pernah habis untuk menjadi obrolan dan pengetahuan. Pram akan senantiasa abadi. Karena, dia menulis, dan tidak hanya menulis, Pram juga mendidik bangsa ini, melawan ketidakadilan, dan terus berjuang untuk kemanusiaan. (Adiba/Iz)