Sindikat | Cerpen D. Hardi
Pemandangan klise. Tamu undangan menyalami sepasang mempelai dan berucap selamat sedang keduanya gigih mencetak lengkungan bibir bahagia berjam-jam lamanya tanpa jeda. Seperti seringai manekin yang pernah membuatku menjerit ketika balita.
“Lihat senyuman itu, kelihatannya tersiksa,” Mui bisik-bisik di belakangku.
Melirik para undangan, rasa-rasanya itu sentimen yang hanya datang dari jiwa pencemburu. Orang-orang ini terpandang. Tipikal borjuis. Kebahagiaan lahir batin niscaya terjamin hingga pernikahan emas. Tapi aku mafhum untuk setiap sinisme yang rekah dari bibir Mui yang entah bagaimana, selalu terlihat kemilapan.
“Duh, lupa bawa amplop.” Jok meraba-raba saku, gelisah.
“Bagus.” Mui menukas.
“Setelah puluhan resepsi?” dengusku bergelagat tak bicara.
Antrean di depan melesap. Giliran kami melangkah, menuju takhta pelaminan.
“Selamat bu, pak, semoga pernikahan putranya langgeng bahagia, dikaruniai cucu-cucu yang sehat sempurna …”
“Oh, terima kasih doanya,” tutur sang ibu coba mengingat-ingat dan tak menemukan sesuatu yang dicari dari wajahku, wajah tembam Jok, wajah lucu Mui.
“Selamat ya,”
“Wah pangling lo aku.”
“Semoga cepat dikasih momongan. Jangan tunda-tunda.”
Setali tiga uang. Kedua mempelai saling pandang, mengingat-ingat dan tak menemukan sesuatu yang dicari dari wajahku, wajah tembam Jok, wajah lucu Mui yang sekarang dicuri-curi pandang para suami. Mungkin salah satu bertanya pada yang lain, itu siapa, teman kantor? Kerabat jauhmu? Atau jangan-jangan pacar lama? Ah, siapa pun sejatinya diundang untuk perayaan hari bahagia, bukan?
Mata kami berbinar-binar. Hidangan syur prasmanan bertelanjangan di meja.
***
Seperti kemarin dan sebelumnya, kami bertiga keluar dari acara pesta dengan sentosa. Misi berhasil.
“Bersatu karena patah hati, patah hati untuk bersatu!” Aku, Jok, Mui bertumpuk tangan meneriakkan motto sebelum membubarkan diri setelah menenangkan cacing-cacing di perut.
Begitulah. Sekali perjamuan terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Kami sindikat pemburu resepsi. Toleransi nol keraguan. Di mana janur kuning berkabar, di situlah kami berkibar. Sejak sama-sama patah hati, kami punya kegemaran baru yang lumayan purba: pemakan segala. Sayang, status bokek menghalangi. Aku karyawan biasa di minimarket. Mui operator telepon yang setiap harinya berurusan dengan pelanggan bawel. Sedang Jok, perancap kesepian yang sesekali mengerjakan apa saja menyerupai tulisan untuk koran demi honor recehan. Kami butuh kesenangan. Sedikit adrenalin. Kami sepakat berkoalisi permanen lintas ideologi, tak sekadar manifesto basa-basi. Maka inilah kami: sindikat patah hati yang tak berminat menambah anggota lagi.
Namun jika dipikir-pikir lebih mendalam, apa yang kami lakukan sesungguhnya tak lebih proyek balas dendam.
***
“Mengapa tuhan menciptakan lapar?” Jok merebah di sofa, membaca halaman buku tentang bagaimana caranya menulis yang baik tanpa membaca.
“Mengapa orang gampang melibatkan tuhan untuk hal yang mestinya bisa selesai dengan makan,” kataku, malas berfilosofi ria. Selain lapar, Jok pernah bertanya hal serupa tentang manusia, ubur-ubur, cacing kremi, Hitler, mimpi, dan sebagainya.
“Itu dari kutipan kan?” sambar Mui, memamah kacang yang kulitnya dibiarkan rondah-rondih di meja, “itu kutipan, kan?” ulangnya lagi, seakan butuh penegasan.
“Tentu saja itu kutipan,” jawabku mengipasi egonya.
“Lapar adalah garis demarkasi yang membedakan manusia dan binatang,” Jok entah bertujuan ke mana.
“Yang kita perbuat bukan kriminal,” Mui menimpali, “aku tak pernah dengar orang ditangkap karena tak diundang acara resepsi. Orang tak diundang menerobos istana, iya.”
Nah! Semakin banyak tamu, tuan rumah senang, kan. Prestise naik.
“Selama ini kita memikirkan diri sendiri. Banyak orang kelaparan di luar sana.” Kali ini Jok terdengar lebih tua dari usianya.
Cerita sedih ini mungkin dangkal secara ontologis. Jok ditinggal kawin kekasih—yang telah bersamanya sejak bangku sekolah. Dia memilih hibernasi, memencil diri di kamar sumpek beraroma kretek berteman buku-buku loakan dan bantal yang setahun sekali dicuci, dan guling yang … aku membayangkan lelucon cabul soal itu meski apa pun tentang kesepian dan kesedihan ditinggal kekasih bukan hal sepele baginya alih-alih gurauan belaka. Awalnya kesulitan. Dia benci acara resepsi.
“Kau bisa menghemat untuk beli cerita-cerita stensilan. Lumayan.” Mui merayu. Apa salahnya. Belajar sandiwara. Praktik lapangan basa-basi. Setiap metode kami coba; survei, riset, penyamaran, rencana B. Nyali modal utamanya. Ketika eksperimen sukses, sisanya pengalaman. Lama-lama repetisi. Profesional. Kadang kami berlagak juri lomba masak di televisi; tiga borjuis kontinental yang mulai akrab dengan appetizer, main course, dessert meski menunya tak jauh-jauh dari ayam kecap, rolade, siomay, kentang balado, plus semangka. Bila sedang mujur kadang es krim.
Mui penggemar fanatiknya. Tiba di lokasi, mata elangnya langsung memburu stan es krim. Kalau absen, ia bakal sensitif seharian. Mui ahli dalam seluk-beluk ini, “Ada banyak jenis es krim di dunia, lebih banyak dari fase manusia purba sebelum jadi kamu,” lidahnya lembut menjilam lelehan. Aku jadi teringat lelucon seksis Jok; dessert terbaik adalah bibir indah perempuan. Saat kutanyakan beda es krim dan gelato, Mui mengandaikan: “Seperti cinta dan sayang.” Apakah itu bahasa pertanda, aku bukan penerjemah sinyal. Bukan hakim garis.
Aku hanya tahu, kami adalah pemuda-pemudi paling sial seantero jagat. Kegandrungannya pada es krim seperti keasyikan Jok pada buku; itu cukup melupakan sejenak rasa sedih perceraian ayah ibunya. Kehilangan model panutan, Mui patah hati. Ia mulai berpacaran dengan seorang lelaki—tentu bukan salah satu dari kami—dari sekolah lain. Selepas perpisahan, kami berpencar. Masa awal kuliah tak terlalu penting untuk diceritakan. Kami mencoba kehidupan sendiri. Sampai suatu hari, tiba-tiba Mui menelepon dengan suara terisak. Hanya terisak saja. Aku dipaksa menemaninya menonton La La Land berdua. Aku tak begitu suka drama. Malam itu Mui banyak diam. Hanya terdiam saja.
“Nasibku begitu mirip tokoh Sebastian. Semua lelaki sama!”
Aku hampir mendendangkan lagu Basofi Sudirman, ketika menyadari lampu lalu lintas tinggal kelap-kelip. Suara-suara memantul jernih. Jalanan sedikit basah oleh amuk gerimis. Pendar merkuri memalun sisa-sisa renyai. Kami mematung di atas tunggangan bersama benak masing-masing. Aku lupa kapan persisnya, apakah itu bersamaan waktu dengan kabar mengenai Jok atau setelahnya, karena sejak ibu terbujur kaku di bathtub dengan darah bercucuran sewaktu umurku masih belasan, daya jangkau ingatanku seperti memendek. Bahkan ia menolak kehadiran bapak untuk sekadar menjadi kenangan di kepala.
***
Tersenyum anggun berselimut gaun, Mui memantau sekeliling ketika aku dan Jok merunduk, selundupkan makanan ke dalam kantong hitam.
“Serasa Mission Impossible.”
“Bukan. Kita Robin Hood. Semuanya kita bagikan ke pemulung dan pengamen. Untuk sekali seumur hidup, mereka nikmati kudapan katering nomor satu di kota ini.”
“Mulia sekali.”
“Hidup mulia atau mati kena azab: ‘perut membuncit tergoreng dadakan akibat rakus’.”
“Masih lama diskusinya?” Mui melirik dongkol. Hati-hati ia membuka tas selempang berlogo LV lokal.
Selesai. Waktunya beranjak, melangkah pelan di antara para undangan, membantu usus menggiling nasi kebuli, sapi lada hitam, sate taichan, puding cokelat, salad buah, zupa zupa yang telah bercokol nyaman di perut. Acara begitu longgar. Sejak datang, para tamu langsung dipersilakan ke area buffet.
“Kita perlu salaman?” Jok berbisik.
“Sebentar.” Kulihat Mui takjub memandangi cahaya matahari yang lolos dari celah pucuk-pucuk pinus. Cuaca begitu cerah. Meja-meja kayu, buket bunga warna-warni, lampu-lampu kecil menggantung di antara pepohonan. Dekorasi flora menghiasi sudut-sudut tenda, diselingi jerait reranting, alang-alang, hiasan bintang yang bertaburan. Suara alam melebur syahdu bersama alunan jazz dari wedding band. Pesta pernikahan seperti ini yang Mui dambakan. Aku masih mengingatnya kala itu.
“Kayak zaman kemping dulu, ya.” Kataku memecah lamunannya. Mui menggeragap, “Kita perlu salaman?”
Aku dan Jok saling pandang.
Tak jauh dari tempat kami berdiri, antrean tamu di pelaminan terlihat lengang. Sepasang mempelai tertawa renyah. Raut Mui pelan-pelan berubah. Pandangannya terpaku ke arah mempelai.
“Kalian ingat siapa yang menikah di depan tadi?”
“Tommy-Ladya kalau tak salah.” Jok sedikit ragu. Ada yang tak beres.
Mui gegas beranjak dengan sikap aneh. Kami berjalan mengikutinya dari belakang, menuju pelaminan. Hanya beberapa langkah di samping juru foto, tiba-tiba ia berhenti.
“Loh dia, kan?” Tumben-tumbenan kami tak meriset.
“Garda. Tommy Garda.”
Mantan kekasih Mui.
Garda, lelaki itu, tertegun. Perempuan di sampingnya mungkin bertanya-tanya, itu siapa? Teman kantor? Kerabat jauhmu? Atau jangan-jangan pacar lama? Aku bisa membayangkan perasaan Mui saat ini.
“Kamu yakin?” tanya Jok.
Tatapannya bagai bertolak ke suatu entah. Mui menyerahkan tasnya padaku, “Ini hari bahagia. Kita harus memberinya ucapan selamat.”
Mui.
Detik ini rasanya ingin sekali memelukmu, membelai ubun-ubunmu, dan mengatakan kamu hebat, semua akan baik-baik saja, bila tak ingat ungkapan hati Jok tempo lalu di kamarnya yang bapuk:
“Satu-satunya alasan kenapa aku gabung kalian adalah Mui. Sepertinya aku jatuh cinta.”
Aku sedang menggenggam novel Murakami miliknya saat itu.
Hanya menggenggamnya.
D. Hardi. Cerpenis. Karya telah tersiar di berbagai media seperti Kompas, Basabasi.co, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Detik.co, Nongkrong.co, Bacapetra.co, dan lain-lain. Buku kumpulan cerpen berjudul Palindrom (Poiesis/2021) telah terbit.