Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Nisan dalam Kaca | Cerpen Yustinus Yuan

Nisan dalam Kaca | Cerpen Yustinus Yuan



Setiap tengah malam aku selalu diajak kakak ke kamar yang gelapnya bukan main. Tempat itu seperti ruang dengan sebuah kaca yang berpantulan awan gelap tanpa bintang dan bulan. Dia berdiri bertatap muka dengan kaca itu. Dia mulai menyalakan lilin di antara kegelapan. Aku merasa gugup saat apinya mulai membara. Tubuhku berkeringat dingin, menggigil menghadapi keadaan. Bagaimana tidak, karena sedari tadi aku dibiarkan terdiam, berdiri di belakangnya, bahkan dia juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Cahaya lilin bergoyang-goyang di pantulan kaca memperlihatkan raut mukanya yang tampak mengerut sembari memandangiku dingin.

“Aku ingin mati,” itulah kalimat pertama yang diucapkannya lirih. Tapi setelah itu berganti tawa, karenanya aku menganggap kakak hanya bercanda, meski seungguhnya aku tercengang dengan kata-katanya tadi. Sudah sering kali kami berdiskusi di sini setiap malam, saling melempar pendapat tentang kehidupan. Tetapi jika perihal kematian, baru kali ini.

“Apakah bunuh diri menurutmu berdosa?” tanyanya kemudian. Aku curiga dengan pertanyaan itu dan tentu saja takut. Bingung bagaimana menjawabnya. Jika salah ucap, perbuatan kakak bisa terpengaruh oleh perkataanku. Jika sampai hal itu terjadi aku akan merasa terpukul bahkan mungkin aku tak bisa menerima kepergiannya. Dari pantulan kaca lemari, mata kakak terlihat tajam, seakan semakin lama, semakin lekat. Sementara jalannya waktu seperti lambat berlalu. Sembari mencoba memperhatikannya, aku juga menenangkan diri dari tatapan mata yang bagiku seperti menjerumuskan ke dalam hening yang suram. Tapi akhirnya aku memberanikan diri untuk menjawab juga.

“Kak, kematian akan datang sendiri, jangan kau mencarinya. Jangan buat itu sia-sia,” jawabku berlagak bijak.

“Menurutmu, kematian itu sendiri tidak sia-sia?” tanya kakak.

“Maksud Kakak?”

“Manusia lahir itu hanya untuk menunggu mati.”

“Terus?”

“Sudahlah, aku lelah,” katanya. Tiba-tiba nyala lilin itu surut, dan bergoyang-goyang menyesuikan udara, hingga akhirnya benar-benar mati tersapu angin, dan mengembalikan kegelapan. Hal itu bisa sebagai pertanda dia menyuruhku keluar.

Tak biasanya percakapan kami berakhir secepat itu, bahkan kini aku sudah sampai di kamarku sendiri. Aku mengira kemungkinan besar, jalannya waktu lebih memihak kegetiran dibanding kesunyian. Aku sekarang telah menyadari, saat itu sebenarnya jiwaku justru sedang dikuasai oleh keadaan ruangan yang sepi itu, tapi jalannya waktu tidak mengalami keadaan serupa.

Aku berbaring di tempat tidur, terdengar hewan berkokok memanggil langit biru. Ayam itu menghadapi kebingungan, mungkin lantaran dia bertanya lewat langit mana cahaya bisa datang. Aku pun begitu, masih merasa heran, jarum jam dinding kamarku, terasa berlari, hingga malam cepat berlalu. Kini aku ingin tidur karena rasa kantuk menguasaiku. Rasa lelah yang sedari tadi baru terasa. Aku memejamkan mata untuk memfokuskan rasa itu, setelah benar-benar nyaman, seiring waktu aku mulai terlelap dalam kesendirianku.

Aku bermimpi berada di ruangan gelap dan kecil, yang hanya bisa memuat diriku entah bagaimana aku bisa berada di sana. Dari pandanganku, di mimpi itu aku sedang menaungi tubuh yang lain. Terlihat jelas dari pantulan kaca, tubuh asliku muncul dari cahaya yang sangat menyilaukan. Tanpa dapat bergerak aku berhadapan dengan kaca yang seakan sepenuhnya tertuju pada sesosok di sana. Dia berjalan mendekat, dan menatapku. Aku mulai sadar bahwa aku terpaku dalam jiwa raga yang terus menerus mengaung dengan bebas. Entah mengapa di saat aku mencoba berbicara melalui pikiran untuk menjelaskan keadaanku sekarang ini, keheningan menguasaiku. Tempat itu begitu sunyi, melebihi sunyinya kamar kakak. Aku berusaha memanggilnya, namun dia justru memalingkan muka ke arah tempat tidur. Di sana ada seseorang yang terbaring. Rupanya orang itu tidak asing bagiku.

Aku terbangun dari mimpi, dan hari telah siang. Sebenarnya aku jarang bermimpi. Mungkinkah karena aku terbiasa tidur usai tengah malam. Aku beranjak dari kasur, berjalan menuju kamar mandi untuk pipis. Setelah itu, saat aku keluar kamar, kulihat pintu di ruangan kakak dalam keadaan terbuka. Seingatku pintu itu hanya akan terbuka di saat tengah malam.

Waktu itu bau tidak sedap menyerang pernapasanku, udara terasa pengap dan lembap. Suasana malam tak begitu dingin, bahkan air yang aku siramkan sehabis pipis dan menyentuh kakiku tak terasa begitu dingin. Hanya membekas dan tak menyerap suhu udara sekitar. Lalu aku perhatikan ruangan kakak terbuka lebar dan terang, bahkan seakan menjadi salah satu sumber cahaya bagi kegelapan di ruang lain. Tapi hal itu tidak membuatku yakin karena sebelumnya aku merasa ruangan kakak dalam keadaan tertutup rapat.

Saat dulu aku melewati kamar itu, terdengar suara kakak memanggilku. Dia menyuruhku masuk. Aku melihat sekeliling sembari mendekat, sudah lama sekali aku tidak ke dalam, ternyata ruangannya sudah berubah, tampak tidak terawat, dan banyak awang-awang yang menghiasi langit-langit kamar. Kakak memanggiku lagi dan menyuruhku berdiri di belakangnya. Lalu dari situ kakak bercerita. Dia memberitahu tentang larangan untuk tidak masuk kamar jika pintu dalam keadaan tertutup, begitu juga sebaliknya jika pintu terbuka aku boleh masuk.

Kini berbeda keadaannya. Udara membaur pada suhu normal, namun hanya pintu kamar itu masih terbuka. Aku ingin mencoba menengok ke dalam, namun ada kecemasan yang kurasakan tentang pangggilan kakak seperti malam kala itu. Sebenarnya aku tidak begitu takut, tetapi ruangan di sana tampak gelap, entah mengapa itu mengingatkanku kejadian semalam.

Malam itu sebelum aku benar-benar tertidur, aku merasa seperti ada yang janggal telah terjadi. Aku seperti mendengar ada suara pintu tertutup, ada juga suara kurang begitu jelas sedang bersahutan, begitu juga ada suara yang memanggilku. Aku meyakini itu suara kakaklah, yang bersamaan dengan suara-suara asing yang lainnya.

Sekarang akhirnya aku memberanikan diri masuk, tetapi sebelum aku beranjak, terdengar suara kaca pecah dari dalam. Cepat-cepat aku pun berlari masuk untuk memastikan keadaan. Aku tidak melihat pecahan kaca sedikit pun di ruangan itu. Tetapi ada yang janggal, pintu lemari yang biasa untuk berkaca kakak telah hilang, memperlihatkan di dalamnya yang tidak berisi. Aku melihat lemari itu lebih teliti lagi, tampak kaca ovalnya hilang sempurna. Tidak ada bekas yang menempel di sana.

Tiba-tiba terdengar suara benturan pintu yang sangat keras, bersamaan dengan itu mataku diselubungi warna putih yang sangat menyilaukan. Begitu aku sudah bisa melihat dengan jelas, aku sedang berada di suatu tempat yang sepi, banyak berjajar nisan dengan berbagai riwayat kematian. Ada beberapa nisan yang baru, namun pemandangan di pemakaman itu masih sama seperti dulu. Yang paling aku kenali adalah kedua nisan yang saling berdampingan, terukir tahun yang sama, dengan motif layaknya rumah yang menandakan keutuhan sebuah keluarga. Aku sedang berdiri di salah satu nisan tersebut. Sementara kakak kulihat berada di luar sedang mengunci pintu.

“Baiknya kita mati dengan tenang,” kata kakak. Tiba-tiba aku teringat saat mimpi mewujudkan tubuhku di kamar kakak dalam keadaan jiwa dan raga terpisah. Kala itu, keberadaanku terasa sedang di dalam sebuah kotak kecil menyerupai peti, terjebak di dalam dengan keterdiamanku yang menyelubungi ragaku, namun setengah jiwaku masih berkeliaran.

“Berhentilah bermimpi,” lanjutnya. Tiba-tiba aku juga ingat saat mengunjungi kamar kakak siang itu. Aku jadi berpikir, sebenarnya apa yang kulihat tentang lemari tersebut adalah sama, tak berbeda, saat apa yang kulihat dalam mimpi, sebuah lemari yang ruangannya gelap, sepi, dan sempit.

“Terimalah kematian untuk bisa hidup.” Setelah aku mendengar perkataan kakak, dia tidak lagi ada di sana dan meninggalkanku dalam kesendirian.


Nisan dalam Kaca | Cerpen Yustinus Yuan

Yustinus Yuan, Kelas 11/SMAN 2 Surakarta. Anggota termuda Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar.