Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sayang Kini Hari Sudah Malam | Puisi-Puisi Astrajingga Asmasubrata
Sumber ilustrasi: https://noorart.weebly.com/home/category/all

Sayang Kini Hari Sudah Malam | Puisi-Puisi Astrajingga Asmasubrata



Kujahit Lagi Sebuah Baju,
Mungkin Untukmu

Kujahit lagi sebuah baju
Mungkin untukmu, tetapi sepertinya bukan
Tak ada baju yang pas untuk acara pemakaman.
Banyak menerima kabar duka membuatku
Semakin yakin dunia fana belaka. Kupercaya
Akan datang juga giliranku, kapan pun itu
Semoga kau bisa berduka secukupnya.

Sengaja kupilih kain berwarna cerah
Dengan motif bunga ros mekar, agar yang murung
Lekas sumringah, seperti pelukmu
Melerai segala hari-hari buruk yang diciptakan
Oleh kegagalan juga kematian.

Kujahit lagi sebuah baju
Mungkin untukmu, tetapi sepertinya bukan
Dalam tubuhmu ada kehangatan
Yang bergelora di lubuk malam. Helai rambutmu
Di sela-sela jemari tangan adalah tanda
Semua hal baik ada dalam genggaman. Kupercaya
Ketika akhirnya datang juga giliranku
Semoga kau bisa berduka secukupnya.

Dengan atau tanpa baju itu
Mungkin dariku, tetapi sepertinya bukan
Seluruh kenangan tak akan pernah padam.

Saya Mengganti Pembalut

Sebenarnya saya ini makhluk tangguh, tak ada
Waktu untuk mengeluh atau mengutuk keram
Yang melilit perut. Sialnya, saya telanjur dicap
Lemah lantaran sebuah siklus normal bulanan.

Saya ini sekadar punya berkah yang tak mudah,
Semisal dipuja sekaligus dicaci. Hidup dengan
Bayang-bayang mitos & pamali, bahkan berkubang
Dalam patriarki adalah rutinitas yang harus dijalani.

Sesungguhnya saya memang makhluk tangguh.
Bukankah tak ada mimpi buruk pada nasib yang
Tertidur, nasib yang mendupak saya minggat
Dari mimpi sendiri seperti rahim yang tak dibuahi.

Sayang Kini Hari Sudah Malam

Selamat malam. Setelah mematikan lampu
Di kamar anakmu, kau ingat bahwa semua
Baju seksi hadiah dari semua lelakimu kini tak
Muat lagi dan susumu yang dulu ranum plus

Harum, kini terlihat alum dan tak mesum.
Bahkan kau merasa tambun untuk sekadar
Melangkah dengan anggun. Seperti biasa
Kau teguk teh kamomil sebelum berangkat tidur

Yang tenang dalam penghabisan yang renta.
Hanya saja high heels perak di sudut kamarmu
Selalu membujuk agar kau berani memandang
Kaki yang gemetar menopang tubuh gempal

Dan bukankah itu yang kau benci akhir-akhir ini?
Sebab kau menyukai mawar, sebab kau dengar
Gemericik air saat ibumu menyiram taman kecil
Yang selalu membikin ingatanmu menggigil

Seperti menangis di bawah guyuran hujan.
Ketika remaja kau ditaksir seorang bandar pasir
Dan ia amat tahu bahwa kau bukan betina binal
Di panggung dangdut tujuhbelasan, yang fasih

Kobarkan hasratnya yang setengah teler itu.
Selamat malam. Sebelum pulas terpejam kau
Mengangankan diri sebagai piano antik yang tak
Boleh dimainkan meski oleh jemari pianis tampan

Dan mereka bergumam, / Betapa percuma diriku ini /.

Salty

Kita sama melarat
Tak perlu sampai jadi penjahat.

Hidupku milik mereka
Yang berlimpah cuan, tetapi kesepian.
Kau cuma oknum yang pintar
Bersepakat dengan pelanggar.

Aku dikelilingi tangan-tangan nakal
Lebih dari sekadar remas dan gerayang
Sedangkan kau sekadar salaman
Yang menyimpan sejumlah nominal.

Penampilanku nyaris bugil
Adalah siasat paling real
Sesuai petuah lama:
Buatlah penasaran agar diperjuangkan.

Kau punya citra hebat
Dengan pangkat di pundak
Sekali tunjuk yang bersalah
Langsung takluk minta rempug.

Aku dilatih tak memilih cinta
Agar tak ada istilah cuma-Cuma
Bukankah semua punya harga?

Dan kau wujud jemawa
Dalam seragam mentereng nan gagah
Tetapi kudu balik modal
Tak peduli apa pun risikonya.

Sebuah Adegan Dalam Film Drama
Dengan Engkau Sebagai Pemerannya

Aku mencium harum haru, gumam lampu
Yang mencangkung di ujung gang
Saat seseorang melintas menjinjing tas
Bayangannya gemetar seperti teratai mekar
Dimainkan deru angin usai hujan

Aku mendengar kelam kelu, gumam waktu
Yang termenung di tembok kusam
Saat seseorang membuka pintu tanpa salam
Diamnya membendung desah seperti dupa
Di meja sembahyang berjejer foto mendiang

Aku melihat senyum semu, gumam mirat itu
Yang menyimpan virtue di sudut kamar
Saat seseorang membaringkan tubuh
Pejamnya membebat nyeri seperti simulakra
Di mana sesal tak ada, dari percuma ke tiada

Pada Awal Bulan Sebelas

Pada awal bulan sebelas kita pernah berpapasan di
Jalan sehabis hujan.

Langit kunyit tua dan pijar merkuri putih gading
Seperti dekor panggung terbuka

Sesekali klakson mengaung,
Antrean kendaraan, dan lengking peluit petugas
Dari persimpangan terdengar basah.

Saat aku menghindari genangan,
Dengan langkah panjang,

Ingatanku melihat ke belakang, ke manik-manik rintik di
Rambutmu yang tergerai

Merah kehitam-hitaman, juga menyeruak harum padma
Yang ditapis halus angin.

Aku menghentikan langkah seakan yakin, meski jauh
Punggungmu masih bisa dikenali,

Sebab kenangan yang hidup di luar waktu
Bukan prisma kaca menampilkan banyak warna;

Masa lalu adalah biji buah yang tak remuk
Dicerna lambung burung, lalu tanah memeramnya
Dan hujan mengubahnya jadi tunas.

Tetapi punggungmu entah lenyap ke mana,
Hanya riuh klakson beruntun

Seakan menyadarkan lamun
Atau ada sesuatu yang telah terbantun?

Langit membungkus kota dengan kertas karbon
Lalu menuliskan sebuah lelucon:

Pada awal bulan sebelas kita tak pernah berpapasan
Di sini, di jalan sehabis hujan ini.


Astrajingga Asmasubrata, lahir di Cirebon,  3 Maret 1990. Pendidikan terakhir SMP Negeri 1 Astanajapura (2005). Pernah membaca puisi di ASEAN Literary Festival (2015) dan biodatanya termaktub dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi, 2017). Bekerja sebagai barista di Kafe MainMain, Yogyakarta. Penyair telah menerbitkan buku: Ritus Khayali (Ganding Pustaka, Yogyakarta), Miryam Dan Bayangan Dari Yang Berlalu (Taresi Publisher, Bekasi), Instalasi: Pandangan Yang Miring (Penerbit CV. Basabasi, Yogyakarta), Belok Kiri Jalan Terus (Sublim Pustaka, Palembang).