Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Guru honorer dari Kabupaten Bekasi melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara saat melintas di Cawang, Jakarta Timur, Kamis (12/10/2023)(ANTARA/Fakhri Hermansyah)
Guru honorer dari Kabupaten Bekasi melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara saat melintas di Cawang, Jakarta Timur, Kamis (12/10/2023)(ANTARA/Fakhri Hermansyah)

Protes Kebijakan Cleansing, Koalisi Masyarakat Serukan Perlindungan Hak Guru Honorer di Jakarta



Berita Baru, Jakarta LBH Jakarta, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), serta Aliansi Guru Honorer Muda menutup pos pengaduan bagi guru honorer yang terdampak kebijakan cleansing di Provinsi DKI Jakarta pada Senin (29/7/2024). Meskipun ada upaya pengembalian guru honorer untuk mengajar dari Pj. Gubernur dan Plt. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, hasil dan data dari pos pengaduan tetap penting untuk dipublikasikan guna mengukur dampak kebijakan ini yang dinilai penuh pelanggaran hukum dan HAM.

Dalam kurun waktu tujuh hari, sejak pos pengaduan dibuka pada 17 Juli 2024, terkumpul 149 laporan pengaduan. Dari jumlah tersebut, 77 guru honorer diberhentikan dan 72 lainnya diberitahukan bahwa mereka akan terdampak cleansing. Sebanyak 188 guru honorer terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan 28 lainnya memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Sebanyak 139 guru honorer memiliki ijazah S-1 dan 10 lainnya berijazah S-2, dengan 12 di antaranya sudah tersertifikasi.

Penyebaran kasus paling banyak terjadi di Jakarta Utara dengan 49 guru terdampak, diikuti Jakarta Barat (34 guru), Jakarta Timur (30 guru), Jakarta Selatan (21 guru), dan Jakarta Pusat (15 guru).

“Pola permasalahan yang diadukan meliputi hilangnya hak atas pekerjaan karena diberhentikan melalui kebijakan cleansing. Para guru honorer diberitahu mengenai cleansing dan diberhentikan di hari yang sama,” ujar Muhamad Sobur, Korlap Aksi dan pengacara korban.

Ia menambahkan bahwa kebijakan ini mengubur mimpi para guru untuk mendapatkan kesempatan pengembangan karir dan mengintimidasi mereka agar tidak mempersoalkan cleansing ini.

Data yang terkumpul menunjukkan bahwa kebijakan cleansing tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Menurut Pasal 66 UU ASN, istilah yang digunakan seharusnya adalah “penataan”, yang meliputi verifikasi, validasi, dan pengangkatan. Oleh karena itu, istilah “cleansing” bertentangan dengan asas legalitas dan UU ASN.

Selain itu, kebijakan cleansing ini dianggap melanggar hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UUD 1945, serta UU HAM No. 39/1999.

“Pelanggaran ini terlihat jelas dari diberhentikannya para guru honorer, sehingga mereka kehilangan pekerjaan, penghidupan, dan kesempatan untuk mengembangkan karirnya sebagai seorang guru,” kata Sobur.

Hingga kini, para guru honorer belum mendapatkan kepastian kerja dan kesempatan pengembangan karir yang jelas. Pj. Gubernur DKI Jakarta dan Plt. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta didesak untuk menyampaikan permintaan maaf secara publik dan menjamin kesejahteraan serta kepastian kerja para guru honorer. Selain itu, evaluasi dan sanksi terhadap Plt. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta juga diharapkan guna mencegah kejadian serupa di masa mendatang.