Tambal Sulam Kebijakan Pendidikan: Antara Sekolah Baru dan Krisis yang Belum Selesai
Penulis: Musyarrafah S
Di tengah tantangan besar dunia pendidikan nasional yang belum terselesaikan, pemerintah kembali meluncurkan agenda baru: pembangunan Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda. Mengkhusus pada pengadaan Sekolah Rakyat, ketergesaan baru di tengah krisis lama. Program ini diklaim sebagai bagian dari upaya menanggulangi kemiskinan ekstrem melalui peningkatan akses pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2025. Namun, pendekatan yang diambil tampaknya lebih bersifat reaktif dan simbolik daripada strategis dan sistemik.
Kementerian Sosial Republik Indonesia, sebagai pelaksana program, telah menyurati kepala dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk melakukan seleksi calon kepala sekolah Sekolah Rakyat. Rencana awal mencakup pembangunan sekolah berasrama di 53 lokasi di 22 provinsi. Sekolah ini akan menampung siswa, guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidik lain, dengan menggunakan fasilitas milik Kementerian Sosial. Proses rekrutmen guru dan tenaga kependidikan pun telah dimulai.
Di atas kertas, ide ini terdengar menjanjikan. Pendidikan memang merupakan instrumen penting untuk memutus rantai kemiskinan. Namun, pertanyaannya: apakah membangun entitas baru seperti Sekolah Rakyat adalah cara paling efektif untuk menjawab tantangan yang ada? Atau justru menambah kompleksitas kebijakan dan membelokkan fokus dari persoalan pokok pendidikan nasional?
Jika ditelaah lebih dalam, proyek pembangunan sekolah baru ini merupakan cerminan dari pola lama: kebijakan tambal sulam. Setiap kali ada isu krusial, pemerintah cenderung merespons dengan membentuk lembaga baru, unit baru, atau nomenklatur baru—alih-alih memperbaiki dan memperkuat sistem yang sudah ada. Padahal, Indonesia saat ini sudah memiliki banyak jenis sekolah: negeri, swasta, keagamaan, komunitas, sekolah inklusi, hingga sekolah penggerak. Menambahkan entitas baru dalam bentuk Sekolah Rakyat atau Sekolah Garuda justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih fungsi dan fragmentasi kebijakan.
Masalah utama dalam pendidikan nasional bukanlah kekurangan bentuk lembaga, melainkan rendahnya mutu dan ketimpangan layanan pendidikan. Ribuan sekolah di daerah masih kekurangan guru, tidak memiliki perpustakaan, laboratorium, atau akses internet yang layak. Banyak bangunan sekolah rusak, bahkan ada yang harus digabung karena tidak memiliki cukup siswa. Jika anggaran dan energi birokrasi dialihkan untuk membangun sekolah baru, lalu bagaimana nasib sekolah-sekolah yang telah lama menanti perbaikan?
Kekhawatiran lain yang muncul adalah soal ketergesaan dalam pelaksanaan. Proses seleksi kepala sekolah dan guru dilakukan dalam waktu singkat. Apakah sudah ada kejelasan menyeluruh mengenai model kurikulum, sistem manajemen, hingga integrasi dengan Kementerian Pendidikan? Ketergesaan ini menciptakan risiko: sekolah dibangun, guru direkrut, tetapi sistemnya belum siap.
Lebih dari itu, muncul pula persoalan krusial mengenai penyediaan lahan. Pemerintah saat ini tengah mencari lahan belasan hektare di berbagai wilayah untuk mendirikan Sekolah Rakyat. Dana infrastruktur yang seharusnya digunakan untuk renovasi sekolah rusak dan penguatan fasilitas belajar justru dialihkan untuk pembangunan fisik sekolah baru. Hal ini tidak hanya kontraproduktif terhadap efisiensi anggaran, tetapi juga mengabaikan urgensi dari ribuan sekolah yang kondisinya jauh dari layak.
Program seperti Sekolah Rakyat rawan menjadi simbolisme politik semata. Dalam sejarah kebijakan publik Indonesia, tak jarang proyek-proyek dengan nama besar dan semangat heroik di awal berujung stagnasi karena tidak berakar pada kebutuhan nyata dan tidak dirancang dengan visi jangka panjang. Ketika orientasi kebijakan lebih pada pencitraan instan, bukan pada perubahan struktural, maka pendidikan kembali dijadikan alat politik, bukan agenda pembangunan.
Pendidikan adalah proses jangka panjang. Keberhasilan sebuah sekolah tidak bisa diukur dalam satu atau dua tahun, melainkan dalam siklus generasi. Oleh karena itu, membangun sekolah baru bukanlah solusi ajaib yang langsung mengatasi kemiskinan atau ketimpangan pendidikan. Tanpa sistem pendukung yang kuat, seperti pelatihan guru, dukungan teknologi, sistem evaluasi, dan keterlibatan masyarakat, Sekolah Rakyat bisa menjadi lembaga yang berjalan di luar ekosistem pendidikan yang lebih luas.
Apa yang Lebih Mendesak?
Alih-alih membangun sekolah baru, pemerintah seharusnya memfokuskan upaya pada rehabilitasi dan penguatan sekolah yang ada. Ribuan sekolah di Indonesia memerlukan perbaikan fisik, peningkatan fasilitas, dan penguatan kapasitas guru. Jika memang ada aset Kementerian Sosial yang dapat digunakan, mengapa tidak memperkuat kerja sama lintas sektor untuk meningkatkan sekolah yang sudah ada, alih-alih membentuk yang baru?
Perlu pula evaluasi longitudinal kurikulum yang komprehensif. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat justru menciptakan disorientasi bagi pendidik, menjadikan siswa sebagai objek eksperimentasi kebijakan, serta berpotensi menimbulkan kelelahan struktural dalam sistem pendidikan nasional. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan kurikulum di Indonesia lebih sering bersifat reaktif dan politis, ketimbang berbasis pada hasil riset longitudinal atau analisis data empiris dari lapangan. Dalam proses ini, suara guru dan peserta didik sebagai pelaku utama justru jarang dilibatkan secara substansial. Padahal keterlibatan mereka sangat penting dalam menjamin keberhasilan implementasi kurikulum di tingkat mikro. Yang dibutuhkan saat ini bukanlah penciptaan kurikulum baru di setiap periode kepemimpinan, melainkan kontinuitas, konsistensi, serta keberanian untuk melakukan evaluasi kritis terhadap kebijakan yang ada tanpa harus mengganti identitas kurikulumnya. Kurikulum idealnya menjadi produk kolektif yang dirancang secara partisipatif, diuji melalui proses jangka panjang, dan disempurnakan secara berkelanjutan—bukan menjadi instrumen pencitraan individual.
Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda, jika tidak dirancang dengan kehati-hatian dan keterlibatan publik, hanya akan menjadi kebijakan elitis yang gagal menyentuh akar persoalan pendidikan nasional. Kita tidak membutuhkan lebih banyak gedung baru dengan label baru. Yang kita butuhkan adalah perbaikan menyeluruh, sistemik, dan berkelanjutan terhadap lembaga pendidikan yang telah ada. Pendidikan bukan soal siapa yang menciptakan proyek baru, tapi tentang siapa yang berani menyelesaikan masalah lama. Dan masalah itu—sampai hari ini—belum juga tuntas.