Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mas Inung
Mas Inung (kanan) dalam talk show BERCERITA ke-79 yang dipandu Rinda Rachmawati (kiri).

Mas Inung dan Potret Sendu Moderasi Beragama di Dunia Maya



Berita Baru, Tokoh – Seiring berkembangnya teknologi informasi, dunia maya tidak lagi bisa dianggap sebagai bagian dari dunia nyata. Dunia maya memiliki logika, pola interaksi, dan dampaknya sendiri yang khas.

Bagaimana anak-anak muda hari ini belajar agama melalui media sosial adalah contohnya. Menurut Mas Inung Founder Arrahim.id, dalam mengonsumsi narasi agama di dunia maya mereka lebih fokus pada kemasan ketimbang identitas penceramah.

Dalam dunia nyata, boleh jadi anak-anak muda tersebut adalah bagian dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, tapi ketika sudah masuk di dunia maya, kesadaran identitas tersebut hilang. Konsekuensinya, mereka pun tidak terlalu tertarik pada latar belakang penceramah.   

“Kita bisa cermati, begitulah yang terjadi. Saat masuk di media sosial, kita ini pribadi-pribadi tanpa identitas,” katanya dalam gelar wicara Bercerita ke-79 Beritabaru.co, Selasa (11/1).  

Dengan ungkapan lain, identitas seorang penceramah di dunia nyata—seperti tokoh yang disegani di kelompok tertentu—tidak terlalu berpengaruh di media sosial. Yang lebih penting adalah bagaimana pesan keagamaannya dikemas dan disampaikan.

Kecenderungan seperti ini, lanjut Mas Inung, memiliki dampak yang berbahaya. Sebab narasi agama yang dominan di dunia maya adalah konten agama yang sarat kekerasan.

“Coba kita bayangkan, anak-anak muda itu kalau ingin tahu soal sesuatu, termasuk agama, mereka masuk ke dunia maya. Mereka mencari dan belajar di situ. Lalu, karena yang menguasai dunia maya adalah mereka yang kaku dalam memahami agama, apa yang akan mereka dapat? Persis. Mereka akan mengonsumsi konten agama yang keras,” jelasnya.

“Yang untuk ini jugalah, saya dan beberapa teman merasa terpanggil untuk mendirikan Arrahim.id sebagai media yang komitmen untuk menebar narasi agama Islam yang ramah,” imbuhnya.

Antara keyakinan dan ekspresi

Mas Inung mendirikan Arrahim.id berkaitan pula dengan fenomena menguatnya sentimen keagamaan di dunia maya. Sentimen ini, kata Mas Inung, dipicu oleh ketidakmampuan beberapa pihak untuk membedakan antara keyakinan dan tindakan.

Memiliki keyakinan yang berbeda dengan orang lain adalah boleh, termasuk merasa bahwa keyakinannya lebih benar. Akan tetapi, yang tidak diperkenankan adalah mengekspresikannya dalam bentuk kekerasan.

Kekerasan di sini secara umum bisa dibagi menjadi dua, yakni kekerasan verbal atau menghina keyakinan pihak lain dan kekerasan fisik seperti menendang sajen di tempat sakral atau bahkan merusak rumah ibadah.

“Berbeda keyakinan itu boleh, harus malah, tapi yang tidak boleh adalah ketika perbedaan itu diekspresikan melalui kekerasan,” ujar Mas Inung.

Di aras ini, Mas Inung juga menyitir soal representasi. Baginya, sekelompok orang yang percaya pada satu Tuhan dan memeluk agama yang sama, siapa pun tidak bisa memandang mereka sebagai sesuatu yang homogen.

Meski agama sama, Islam misalnya, mereka tidak bisa disamakan begitu saja. Pasalnya, di sepanjang sejarah agama mana pun, interpretasi atas agama selalu berbeda-beda. Jadi, ketika ada pihak yang memiliki kecenderungan demikian, sama halnya ia berpegang pada mitos.  

Implikasinya, ketika ada seseorang melakukan suatu kejahatan dan mengatasnamakan Islam, maka sebenarnya itu bukan perbuatan Islam atau semua masyarakat Muslim, tapi cukup satu orang itu.

“Gampangnya, ketika ada orang melakukan sesuatu mengatasnamakan Islam, dia sama sekali tidak mewakili keyakinan saya atas Islam,” paparnya dalam diskusi yang ditemani oleh Rinda Rachmawati, host Beritabaru.co.

Anak muda dan dunia maya

Sayangnya, narasi agama yang berkembang di dunia maya didominasi oleh model yang seolah masyarakat Islam itu homogen. Pembingkaian yang dipakai adalah solidaritas.

Seolah, tegas Mas Inung, ketika sudah bicara solidaritas, maka apa pun yang dilakukan Muslim di belahan dunia mana pun dan seburuk apa pun, Muslim lainnya harus mendukungnya, padahal bukan seperti itu cara kerjanya.

Dalam konteks ini kemudian Mas Inung berpandangan bahwa narasi pembanding perlu dibuat dan dipercepat penyebarannya. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap anak-anak muda (usia 18 – 30 tahun) di kota-kota besar di Indonesia, tiga (3) besar ustaz favorit mereka jatuh pada tokoh dari kalangan di luar NU dan Muhammadiyah.

Menariknya, anak-anak muda tersebut mengaku, mereka berasal dari kelompok NU dan Muhammadiyah. Adapun ustaz dari dua kelompok terakhir ini justru menempati urutan paling rendah.

“Ini menunjukkan bahwa narasi pembanding di dunia maya mutlak dibutuhkan agar anak-anak muda memiliki sosok kiai idaman yang memang sesuai dengan Islam yang ramah,” jelas Mas Inung.