KLHK Siapkan Langkah Penuhi Komitmen NDC
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan sejumlah langkah guna memenuhi target komitmen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan nasional (nationally determined contribution/NDC) di sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong mengatakan dalam rangka implementasi NDC tahun 2020-2030, Indonesia telah menetapkan peta jalan yang menjadi arahan bagi para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi yang ditetapkan.
Menurutnya, untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FoLU), implementasi NDC ditempuh melalui sejumlah langkah, yaitu melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), baik pada lahan mineral maupun gambut.
“Pada pengelolaan hutan lestari dilakukan melalui penanaman di Hutan Tanaman Industri (HTI), penerapan Reduce Impact Logging (RIL), dan Silvikulur Intensif (SILIN),” kata Alue dalam konferensi pers virtual tentang Indonesia’s Forest and Other Land Use (FoLU) Net Sink by 2030 di Jakarta, Rabu (21/7).
Selanjutnya, tutur Alue Dohong, upaya rehabilitasi dilakukan baik dengan rotasi maupun non rotasi. “Pengelolaan lahan gambut juga menjadi salah satu upaya dengan merestorasi gambut dan perbaikan tata air gambut,” terangnya.
Ia juga menyampaikan, implementasi NDC juga menimbulkan penyesuaian aspek pembangunan bidang kehutanan melalui sejumlah tindakan korektif (corrective measures).
“Pertama, penurunan signifikan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, melalui berbagai aksi langsung misalnya moratorium sawit dan implementasi penghentian pemberian perizinan berusaha pada hutan alam primer dan lahan gambut,” ujarnya.
Kedua, lanjut Alue, pencegahan permanen kejadian kebakaran hutan dan lahan dan mengatasi pengaruh negatifnya pada lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.
“Ketiga, aktualisasi prinsip biogeofisik termasuk daya dukung dan daya tampung lingkungan, karakteristik DAS dan kehati, dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, internalisasi prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan ke dalam penyusunan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-2030,” ungkap Alue.
Adapun yang keempat, menurut Alue, pencegahan kehilangan keanekaragaman hayati dengan konservasi kawasan serta perlindungan keanekaragaman hayati.
“Kelima, menyelaraskan arah kebijakan KLHK ke depan, dengan mempertimbangkan konvensi internasional, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Perubahan Iklim Paris Agreement, Aichi Target Biodiversity, Pengendalian Degradasi Lahan dan berbagai konvensi internasional lainnya,” katanya.
Terakhir, kata Alue, membangun ketahanan iklim dengan restorasi, pengelolaan dan pemulihan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan pengendalian deforestasi. Ketujuh, mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan kayu, ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis masyarakat.
“Jadi hal ini merupakan inisiatif kita dalam sektor kehutanan yang akan dicapai pada tahun 2030. Oleh karena itu, berdasarkan implementasi dan ‘corrective measures’ di atas, maka Indonesia optimis dengan target ‘FoLU Net Sink’ pada 2030,” ujar Alue.
Sementara, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Laksmi Dhewanthi juga menjelaskan, dalam mendukung target FoLU Net Sink, sejumlah strategi utama aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK ) dari sektor kehutanan yang dilakukan
“Pertama, perbaikan sistem pengelolaan sumber daya lahan dan hutan dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di semua wilayah hutan. Kedua, peningkatan adopsi praktik pengelolaan hutan lestari di hutan produksi,” ungkapnya.
Ketiga, lanjut Laksmi, percepatan pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat serta pemanfaatan kayu perkebunan untuk memenuhi permintaan kayu sehingga mengurangi ketergantungan pemenuhan kebutuhan kayu dari hutan alam.
“Keempat, optimasi perencanaan tata ruang, pemanfaatan lahan tidak produktif serta peningkatan produktivitas dan intensitas penanaman sehingga mengurangi tekanan terhadap hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan ekspansi lahan pertanian,” tuturnya.
Kelima, kata Laksmi, konservasi dan peningkatan rosot karbon melalui restorasi ekosistem hutan produksi, dan rehabilitasi lahan penghentian pemberian perijinan berusaha baru atau konsesi di lahan gambut. Keenam, perbaikan sistem pengelolaan lahan gambut.
“Ketujuh, percepatan adopsi teknologi budidaya rendah karbon. Kedelapan, penguatan peran konservasi melalui pemulihan ekosistem berbasis kemitraan konservasi, dan pengelolaan stok karbon di kawasan konservasi,” tuka Laksmi.