Penerapan Politik Islam Rahmatal Lil ‘Alamîn di Indonesia
Seorang ahli Indonesia dari Barat yang bernama Ruth T. McVey pernah menulis sebuah artikel yang berjudul Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics. Hal yang sama diungkapkan oleh Wertheim bahwa kaum Muslim di Indonesia adalah kaum majority with a minority mentality. Jika kita berkaca kepada sejarah berdirinya negara Indonesia, pernyataaan tersebut sejatinya perlu dikoreksi. Sebagai penduduk mayoritas di Indonesia yang mencapai angka 87 persen, umat Islam bisa saja memaksakan diri untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan “Syari’at Islam”. Akan tetapi itu tidak dilakukan, bukan kemudian hal itu dianggap kelemahan umat Islam dalam berpolitik sehingga terkesan umat Islam di Indonesia “kalah” oleh desakan pihak yang minoritas.
Pada saat perumusan dasar negara, menurut Andree Feillard, sejarawan Prancis, perundingan yang disepakati oleh tokoh-tokoh Islam pada tanggal 18 Agustus yang memutuskan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, mempunyai arti simbolis, dan pihak Islam menduduki posisi menentukan dalam perdebatan mengenai bentuk Negara Indonesia. Kalangan Islam ini bersedia mencari jalan keluar dengan agama lainnya demi persatuan Indonesia. KH. Wahid Hasyim, seorang tokoh yang mewakili umat Islam pada saat itu tampak menginginkan adanya persatuan ini. Pada saat itu, KH. Wahid Hasyim selalu mengatakan bahwa yang paling dibutuhkan Indonesia saat itu adalah persatuan bangsa yang kuat. Artinya, bahwa umat Islam mendahulukan persatuan bersama dengan pihak lain untuk bersama-sama mendirikan negara, bisa dibayangkan jika pada waktu itu umat Islam tidak melakukan hal demikian, boleh jadi berdirinya negara Indonesia tidak akan terwujud secara paripurna.
Hal tersebut menunjukkan umat Islam di Indonesia sejak awal menyadari bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘ālamîn yaitu rahmat untuk semua orang, semua agama, semua suku, maupun semua ras. Hal ini juga yang akhirnya diyakini oleh umat Islam Indonesia bahwa sebuah pemerintahan negara sejatinya diciptakan untuk semua agama, bukan satu agama.
Islam rahmatal lil ‘ālamîn pada hakikatnya adalah ajaran Islam sendiri. Dalam Alquran surat Al-Anbiyā ayat 107 disebutkan: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam rahmatal lil ‘ālamîn sebagai agama yang damai dan penebar kasih sayang. Dalam mewujudkan tegaknya Islam rahmatal lil ‘ālamîn, umat Islam di Indonesia telah menerapkan 4 prinsip utama dalam Islam.
Pertama, mengambil sikap tawassuth yaitu sikap berada di tengah-tengah (moderat) di antara dua kubu yang berseberangan. Istilah tawassuth terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Sikap moderat ini di Indonesia ditunjukkan dengan tidak memaksakan kehendak mendirikan Negara Islam, akan tetapi nilai-nilai Islam dapat terintegrasi dalam hukum positif Indonesia melalui sistem demokrasi seperti Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Bank Syar’iah, Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Pesantren dan lain-lain.
Kedua, ta’adul yaitu berlaku adil terhadap siapapun, tidak membeda-bedakan berdasarkan kelompok atau golongan. Dalam Alquran surat An-Nahl ayat 90 disebutkan; “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada kamu kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Indonesia telah menjalankan sikap adil yaitu dengan memberi perlindungan terhadap kebebasan beribadah dan memeluk kepercayaan. Hukum tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 E dan 29 yaitu Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Kemudian disambung pasal berikutnya bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Ketiga, bersikap tasamuh (toleran) dan saling menghormati terhadap perbedaan pandangan, keyakinan, adat istiadat maupun budaya baik yang dianut mayoritas maupun minoritas. Dengan tasamuh (toleran), maka akan timbul sikap menyadari bahwa pluralitas dalam kehidupan merupakan kenyataan yang harus diterima. Karena hal tersebut merupakan kehendak Tuhan, seperti dalam Alquran surat Al-Māidah ayat 48: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Sikap tasamuh di Indonesia telah diterapkan, salah satunya adalah semua hari besar agama di Indonesia yang diakui diberikan hari libur nasional walaupun pemeluknya sedikit. Berbeda jauh dibandingkan dengan di Amerika yang katanya negara demokrasi terbesar tetapi tidak menjadikan hari Idul Fitri menjadi hari libur nasional. Padahal, agama Islam di Amerika dianut oleh 5 persen dari jumlah penduduknya. Dari sini saja bisa dinilai mana yang lebih demokrasi antara Amerika dan Indonesia
Keempat, bersikap tawazun atau seimbang yaitu sikap seimbang dalam berkhidmah. Khidmah sesama manusia, serta kepada lingkungan hidupnya. Menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa datang. Dengan tawazun ini, maka timbul sikap menyadari bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mengatur hal-hal berdimensi teologis-spiritual saja, tetapi juga mengatur hal-hal yang berdimensi sosial.
Dengan kata lain, Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablu min Allah), tetapi juga mengatur hubungan sesama manusia (hablu min al-nās), keduanya harus seimbang dan berjalan beriringan. Sikap tawazun telah diterapkan oleh pemerintahan Indonesia, salah satunya ialah adanya Kementerian Agama yang khusus mengatur, melindungi dan menjaga keharmonisan kehidupan sosial keagamaan dalam masyarakat. Lembaga tersebut sangat jarang ditemukan di negara lain.
Sebagai penutup, perlu diketahui bahwa saat ini sedang terjadi gerakan keagamaan yang berwatak puritan-radikal yang berkembang tanpa mengenal batas negara. Gejala ini juga tidak hanya berlaku pada satu agama tertentu seperti Islam. Tapi ia menjadi potret terkini semua agama seperti Kristen, Budha, Yahudi dan lain-lain. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sorotan publik kepada Islam begitu tajam dan lebih menonjol dibanding Gerakan puritan-radikal yang dilakukan oleh umat agama lain. Akan tetapi, menyudutkan Islam sebagai satu-satunya agama yang saat ini dilabeli sebagai agama teroris adalah sebuah tindakan yang tidak bijaksana.
Oleh karena itu, untuk meredam gerakan tersebut, maka perlu kerja bersama semua negara, semua tokoh dunia, semua tokoh agama dan semua pihak yang menginginkan agar perdamaian dunia terwujud, dengan duduk bersama merumuskan solusi terbaik, sehingga tindakan yang akan dilakukan dalam memberantas radikalisme agama tidak memiliki efek dendam berkelanjutan dan menumbuhkan bibit-bibit radikal yang lebih banyak. Bukankah semua pihak ingin penerapan Islam rahmatal lil ‘ālamîn tidak hanya di Indonesia, tetapi juga membumi di seluruh negara di dunia?