Pemanfaatan Biomassa dalam Co-Firing Dapat Memicu Ketimpangan dan Kerusakan Ekosistem
Berita Baru, Jakarta – Upaya global untuk mengurangi penggunaan energi fosil terus digalakkan melalui berbagai inisiatif, termasuk co-firing, yang menjadi salah satu solusi dalam menghadapi perubahan iklim. Namun, di Indonesia, implementasi co-firing ini menghadapi tantangan serius yang mengancam ekosistem dan masyarakat adat.
Analisis terbaru dari Copernicus Climate Change Service menunjukkan bahwa suhu rata-rata global pada bulan Juli 2023 mencapai 1,4°C di atas suhu rata-rata pra-industri, menjadikannya bulan terpanas dalam sejarah. Untuk mengatasi perubahan iklim ini, Indonesia mulai memanfaatkan biomassa sebagai bahan bakar alternatif dalam proses co-firing.
Co-firing adalah proses pembakaran dua jenis bahan bakar secara bersamaan, dengan biomassa sebagai salah satu bahan bakarnya. Di Indonesia, biomassa yang digunakan dalam co-firing berasal dari empat sumber utama: limbah industri, limbah pertanian atau perkebunan, sampah rumah tangga, dan hutan energi.
Namun, Trend Asia dan Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan bahwa Indonesia akan membutuhkan 2,3 juta hektar lahan baru hingga tahun 2030 untuk memenuhi kebutuhan biomassa dalam co-firing.
“Pemanfaatan biomassa yang tidak bijaksana bisa menyebabkan tekanan besar pada ekosistem, mengancam keanekaragaman hayati, serta merugikan masyarakat adat,” ujar Amalya Reza Oktaviani, Program Manager Bioenergi Trend Asia seperti dikutip dari rilis resmi FWI, Kamis (22/8/2024).
Amalya menjelaskan bahwa di Kalimantan Barat, pembangunan hutan tanaman energi (HTE) yang masif berpotensi merusak hutan alam dan menghilangkan ruang hidup masyarakat adat. “Pemanfaatan biomassa seringkali hanya menjadi dalih untuk merampas tanah masyarakat adat dan petani kecil,” tambahnya.
Manajer Tim FWI, Anggi Putra Prayoga, juga menyoroti bahwa bisnis kayu di Indonesia sedang mengalami stagnasi, sehingga pemerintah mendorong pembangunan hutan tanaman energi melalui program multi-usaha kehutanan. “Konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis, bukan untuk transisi energi yang sebenarnya,” jelas Anggi.
Di sisi lain, Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), menyatakan bahwa ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia semakin parah, terutama akibat dominasi korporasi besar. “68 persen daratan Indonesia dikuasai oleh satu persen kelompok pengusaha dan korporasi besar, sementara 99 persen masyarakat lainnya harus berebut sisa lahan yang ada,” ungkap Dewi.
Ketimpangan ini, menurut Dewi, semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada petani kecil, seperti UU Cipta Kerja. “Lebih dari 16 juta rumah tangga petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, yang menyebabkan peningkatan pengangguran di pedesaan,” tambahnya.
Dewi menekankan bahwa situasi ini adalah kelanjutan dari warisan kolonial, yang sering disebut sebagai “kapitalisme agraria,” di mana ketimpangan dan pencabutan hak atas tanah terus berlanjut.