Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Hak Angket DPR
(Foto: Kompas)

SETARA Institute: Revisi UU Pilkada Tunjukkan Vetokrasi dan Ancaman Terhadap Supremasi Konstitusi



Berita Baru, Jakarta – SETARA Institute mengkritik revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang baru disetujui oleh Badan Legislasi DPR RI. Revisi ini, yang diklaim sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan calon kepala daerah, dinilai sebagai bentuk vetokrasi yang meminggirkan aspirasi publik demi kepentingan elit politik.

Menurut SETARA Institute, revisi UU Pilkada yang dilakukan dalam waktu hanya tujuh jam ini melanggar prinsip-prinsip hukum baik materiil maupun formil.

“Revisi ini menunjukkan bahwa elit politik memveto aspirasi publik dan interpretasi konstitusi yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024,” ungkap SETARA Institute, Rabu (21/8/2024).

Revisi tersebut dianggap tidak mematuhi putusan MK, yang seharusnya berlaku sebagaimana undang-undang—final, mengikat, dan self-executing. “Ketidakpatuhan DPR terhadap putusan MK adalah pelanggaran hukum yang tidak hanya menabrak tatanan konstitusional tetapi juga merobohkan prinsip checks and balances,” tambah SETARA Institute.

Perubahan yang dilakukan DPR juga dinilai menyimpang dari tafsir konstitusi, khususnya terkait syarat pencalonan calon kepala daerah dan usia calon gubernur. “Tafsir yang diberlakukan DPR bertentangan dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi dan menunjukkan bahwa kepemimpinan konstitusi di Indonesia semakin rapuh,” tegas SETARA Institute.

SETARA Institute mengkhawatirkan bahwa ketidakpatuhan ini mengancam supremasi konstitusi dan menggerus kepemimpinan konstitusi. “Kehendak elit politik yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat telah mengabaikan aspirasi publik dalam perumusan kebijakan,” ujar SETARA Institute.

Revisi UU Pilkada ini, menurut SETARA Institute, menjadi indikasi bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia semakin rapuh, menjauh dari mandat republik, dan mengabaikan pusat perumusan legislasi yang seharusnya melibatkan aspirasi rakyat.