KPAI: Jangan Lagi Ada Anak-Anak Terlibat Terorisme
Berita Baru, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Susianah Afandi berharap tidak ada lagi anak-anak yang terlibat melakukan aksi terorisme. Karena itu, semua komponen harus serius memperkuat peranan masyarakat dalam menangkal radikalisme agama. Selama ini, kata dia, beberapa kejadian terorisme di Indonesia sudah terang-terangan melibatkan unsur anak-anak untuk melakukan aksi terorisme.
Pernyataan tersebut disampaikan Susianah Afandi saat menjadi narasumber Dialog Publik bertajuk “Peran Masyarakat Dalam Melawan Radikalisme Dan Terorisme’ di Hotel Maxone, Jakarta Pusat, Kamis (23/1) siang. Dalam diskusi yang dihadiri ratusan mahasiswa tersebut, Susianah menyebut pelaku kasus Bom Bali I tahun 2002 silam salah satunya adalah seorang remaja usia 15 tahun.
“Lalu tahun 2019, pelaku bom baru berusia 17 tahun. dia berasal dari solo, aktif di taklim, ia aktif di gerakan radikal bertujuan untuk masuk lapas agar dijenguk Abu Bakar Baasir karena beliau adalah idolanya. Makanya, kita harus memperkuat doktrin keagamaan yang tidak bertentangan dengan pilar negara,” tuturnya.
Ia menduga, pelibatan anak-anak pada aksi terorisme dilakukan untuk mengelabui petugas kepolisian, agar tidak mudah dicurigai. Kebanyakan, pelaku teroris yang masih remaja tersebut terpapar paham radikalisme karena doktrin guru serta keluarganya.
“Faktor lain, karena kurangnya pemahaman agama anak dan orang tua, kondisi keluarga yang broken home dan komunikasi yang buruk antar orang tua dan anak,” katanya.
Selanjutnya, menurut salah satu komisioner KPAI itu, faktor yang mempengaruhi anak menjadi seorang teroris yakni media sosial, dan ekstrakulikuler agama di Sekolah. Biasanya, anak-anak yang terpapar tersebut cenderung menutup diri, mengkafirkan orang yang tidak sealiran, dan menganggap jihad adalah perang.
Ditempat yang sama, Pegiat Literasi Media Digital, Abdul Malik Mughni, menuturkan paham keagamaan sama halnya seperti mazhab. Karena itu, kelompok radikalis memiliki misi yang kuat agar bisa menguasai berbagai lini. Puncaknya, kelompok jihadis tersebut melawan pemerintah dan mewujudkan impiannya membentuk negara dengan sistem yang bertentangan dengan demokrasi.
“Dibeberapa daerah di Indonesia ada yang daerah khusus yang telah di kuasai oleh sekelompok orang dengan menjauhi masyarakat, menciptakan lapangan kerja sendiri dan selalu mengoreksi cara keberagaam kelompok lain dengn menbid’ah bid’ahkan,” ujarnya.