Motif Dibalik Rencana Amandemen Konstitusi
Oleh : Hadi Prayitno
Direktur Eksekutif The Reform Initiatives (TRI)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang saat ini berlaku telah mengalami empat kali perubahan. Terakhir dilakukan pada dua puluh tahun silam.
Angin perubahan pasca Reformasi tahun 1998 mendesak semua pihak untuk menghapus monopoli kekuasaan, memurnikan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dari politik praktis dan bisnis, mendorong sirkulasi kepemimpinan dengan membatasi masa jabatan Presiden, membuka ruang desentralisasi, dan membangun kembali fondasi kebebasan berekspresi.
Setelah melalui empat kali Pemilihan Umum (Pemilu), sejak 2004 sampai 2019, wacana perubahan kelima konstitusi kembali mengemuka. Tidak ada momentum gerakan sosial yang melatarbelakangi, juga tidak ada kajian ilmiah dari sebuah riset serius yang mendesakkan amandemen. Semua bermula dari manuver fungsionaris partai politik, pimpinan dan sebagian anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ibarat badai tornado, ini arus atas, bukan arus bawah.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menegaskan, amandemen konstitusi kelima belum diperlukan. Lembaga riset ini mengemukakan empat alasan: pertama, legislator lebih baik fokus menjalankan fungsi pengawasan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan pandemi. Kedua, rencana mengembalikan pemilihan Presiden/Wakil Presiden adalah langkah mundur dan akan menurunkan kualitas demokrasi. Ketiga, rencana amandemen tidak menjadi diskursus publik, sehingga belum menjadi kebutuhan hukum masyarakat. Keempat, mengembalikan fungsi MPR untuk menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang harus dilaksanakan Presiden akan merusak sistem presidensial di Indonesia.
Di sisi lain, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada periode 21-28 Mei 2021 menunjukkan bahwa 84,3 persen masyarakat Indonesia menginginkan agar pemilihan presiden dan wakil presiden tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Adapun masyarakat yang mengingingkan pemilihan melalui MPR hanya 8,4 persen.
Menelisik Motif
Wacana amandemen konstitusi menyeruak ke permukaan, yang juga diamplifikasi oleh media massa, setidaknya dikaitkan dengan tugas dan fungsi MPR, serta masa jabatan Presiden.
Diawali dengan semangat romantisme untuk melahirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagaimana era Orde Baru berkuasa 32 tahun, secara otomatis akan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Di mana pada masa lalu, MPR memiliki kewenangan penuh untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta membentuk GBHN untuk dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris MPR. Apabila Presiden dan Wakil Presiden dinilai gagal dalam menjalankan GBHN, maka MPR dapat menggelar Sidang Istimewa dalam rangka mencabut mandat tersebut.
Perbincangan soal GBHN merujuk kepada Keputusan MPR RI Nomor 8 Tahun 2019 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2014-2019. Dimana dalam keputusan tersebut muncul numenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang hanya memuat kebijakan strategis yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur falsafah bangsa Pancasila, serta pengejawentahan UUD NRI 1945.
Saat ini MPR masih melakukan kajian atas PPHN yang diharapkan rampung pada awal tahun 2022 mendatang. Setelah kajian PPHN selesai, pimpinan MPR akan menjalin komunikasi dengan pimpinan partai politik, kelompok DPD, dan stakeholder lainnya untuk membangun kesepahaman tentang urgensi adanya PPHN.
Apabila semua pimpinan partai politik telah sepakat dan menugaskan anggotanya untuk mengajukan amendemen, maka pimpinan MPR akan mengurus teknis administrasi pengajuan usul amandemen konstitusi sesuai pasal 37 UUD 1945.
Implikasi Rumit
Apabila seluruh partai politik atau mayoritas fraksi partai politik dan DPD menyetujui amandemen khusus pada BAB II pasal 2 dan pasal 3 UUD NRI 1945, agenda besar untuk mengembalikan kekuasaan dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara seperti pada masa Orde Baru akan menemukan jalannya.
Pemilihan presiden dan wakil presiden melalui MPR, penetapan PPHN, dan pergeseran sistem pemerintahan presidensial menjadi parlementer merupakan kemunduran tersendiri bagi iklim demokrasi di Indonesia, khususnya dihitung sejak masa Reformasi 1998.
Seiring dengan adanya penetapan PPHN, maka UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) tidak lagi relevan dijadikan rujukan. Masa transisi yang rumit dalam proses perencanaan pembangunan nasional dan pembangunan daerah tidak dapat dihindarkan lagi
Namun begitu, indikasi penolakan dari sebagian fraksi di MPR, sebagian anggota DPD dan berbagai pemangku kepentingan strategis lain berpotensi menghambat agenda politik amandemen tersebut. Potensi kompromi antar elit politik menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam hal ini, amandemen kelima konstitusi UUD NRI hanya akan diarahkan untuk memberikan ruang untuk menambah satu ayat atau bahkan hanya setengah ayat, agar MPR dapat menetapkan PPHN. Di sisi lain, kedudukan MPR akan tetap seperti saat ini, sehingga tidak berimplikasi terhadap perubahan sistem presidensial yang telah berjalan.
Akibatnya, ke depan akan ada TAP MPR tentang PPHN tetapi UU No. 25 tahun 2004 tetap berlaku, dimana Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) akan ditetapkan sebagai pedoman pembangunan nasional berdurasi 20 tahun, sedangkan setiap periode pemerintahan masih akan diterbitkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) melalui Peraturan Presiden.
Amandemen sangat terbatas akan terlaksana, MPR akan tetap menetapkan PPHN, tetapi keduanya tidak memiliki implikasi politik yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dalam jangka panjang.
Agenda Rakyat
Amandemen konstitusi sejatinya adalah agenda seluruh rakyat dan seluruh elemen bangsa Indonesia. Suara dari bawah maupun dari para pemangku kepentingan merupakan pemicu utama. Amandemen tidak boleh hanya didominasi oleh agenda elit politik semata.
Sebenarnya banyak agenda publik yang dapat menjadi pemantik amandemen konstitusi di masa depan, yaitu antara lain: pertama, penataan ulang penyelenggaraan otonomi daerah agar lebih efektif; kedua, calon presiden/wakil presiden dari jalur perseorangan; dan ketiga, revitalisasi transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan integritas keuangan negara.
Sebagai contoh, penyelenggaraan pemerintahan daerah pada 34 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota tidak akan mampu dikendalikan secara terpusat oleh pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri. Lebih strategis apabila kedudukan provinsi diperkuat menjadi wakil pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom.
Agenda ini harus didukung dengan adanya perubahan pasal 18 ayat (1) sampai ayat (4) UUD NRI yang masih meletakkan provinsi sebagai bagian dari daerah otonom. Efisiensi pun akan tercipta seiring hilangnya beban keuangan untuk membiayai 2.207 anggota DPRD provinsi dan 1.122 organisasi perangkat daerah.
Selain itu rata-rata APBD Provinsi se Indonesia yang setara dengan 23 persen dari total APBD Kabupaten/Kota di wilayahnya juga dapat dioptimalkan untuk menambah belanja transfer ke daerah dan Dana Desa (TKDD) setiap tahun.
Di sisi lain tugas dan fungsi provinsi menjadi lebih terfokus pada upaya untuk membina dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan di daerah kabupaten/kota agar dapat mendorong percepatan peningkatan kualitas hidup masyarakat, penanggulangan kemiskinan, dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Tentu saja agenda rakyat lainnya, sebagaimana terkait dengan potensi membuka kran calon presiden dari jalur perseorangan, serta revitalisasi tata kelola keuangan negara juga sangat strategis untuk diperjuangkan melalui amandemen konstitusi.