Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

PMII
Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Ahmad Latif. (Foto: Serikat News)

PB PMII Tolak Rencana Amandemen UUD 1945



Berita Baru, Jakarta – Ketua Umum MPR RI, Bambang Soesatyo santer menyuarakan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) untuk segera direalisasikan, menjadi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebelum masa Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) berakhir di 2025.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Bidang Advokasi Kebijakan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Ahmad Latif, menilai sangat beresiko jika amandemen UUD 1945 dilakukan. Sehingga, sebagai organisasi Mahasiswa terbesar, ia memandang penting untuk PMII terus melakukan pengawasan dan pengawalan.

Latif menilai, realisasi amandemen UUD 1945 dalam waktu dekat memiliki risiko politik besar. Menurutnya, amandemen berpotensi menjadi penguatan oligarki, hegemoni kekuasaan, dan juga pelemahan sistem demokrasi yang sudah dibangun.

“Masyarakat harus melakukan check and balances terhadap Pemerintah dan Parlemen,” kata Latif, Jumat (19/11).

Menurutnya, para politikus yang pro-amandemen menyatakan bahwa agenda itu hanya untuk menghidupkan kembali pokok-pokok haluan negara (PPHN), namun hal tersebut sulit untuk dipercaya.

Partai politik saat ini, lanjut Latif, sangat berperan besar untuk menyetujui agenda tersebut. Pasalnya, hanya sepertiga anggota MPR yakni anggota DPR dan DPD bisa dilakukan.

“Diketahui, anggota DPR berasal dari partai politik. Amandemen UUD 45 bukan hanya wacana yang dibuat untuk mengisi bahasan opini saja. Sangat jelas bahwa amandemen sudah dibahas dan sudah melakukan proses konsolidasi di lingkaran elit politik,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa realisiasi amandemen menjadi penting dan sangat perlu diawasi. Sebab, segala bentuk perubahannya akan mempunyai dampak yang terkait arah masa depan bangsa. Selain itu, menyangkut perihal dengan haluan dan perumusan ketatanegaraan Indonesia.

Bentuk perurabahan UUD 45 yang sudah dilakukan sejak tahun 1999, 2000, 2001, 2002, juga perlu dicermati bersama bahwa perubahann yang ada tidak hanya sesimple dalam perumusannya.

“Perlu ada kajian dan perumusan secara bersama melibatkan berbagai element termasuk masyarakat tidak hanya partai politik, MPR ataupun DPR,” ungkapnya.

Dia menilai, penambahan masa jabatan presiden menjadi isu yang diangkat dan mencuat dalam amandemen tersebut. Hal itu sangat tidak bisa diterima dan harus ditolak. Perubahan nanti akan menjadikan perpecahan bahkan menuju chaos di elemen paling bawah.

“Penambahan masa jabatan presiden akan mengubah tatanan generasi masa depan bangsa. Dikhawatirkan, akan kembali merusak janji reformasi yang sudah diperjuangkan sejak lama,” tukasnya.