Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Nasirun – “Larut dalam Warna” (145x145 cm_Oil on Canvas_1997).
Nasirun – “Larut dalam Warna” (145×145 cm_Oil on Canvas_1997).

Di Balik Tokoh: Memoar Nasirun (2)



Membela Bakat Seni

Kecintaan Nasirun pada kerja menggambar mendorongnya pindah ke Yogyakarta untuk bersekolah di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia). Dia menumpang tinggal di mushola kecil (langgar) daerah Tempel, Gondanglenggis, karena tidak memiliki uang untuk menyewa kos. Sehari-hari Nasirun menghabiskan waktunya dengan bekerja di sawah, bersekolah, dan menggambar. Nasirun dapat jatah makan sebagai upahnya bertani, namun untuk memperoleh uang dia menjual hasil gambarnya di Jalan Solo. Dia membuat beragam kartu ucapan Idul Fitri, Natal, Tahun Baru, atau Ulang Tahun.

Saat menemui ibunya di rumah, Nasirun menyampaikan bahwa ia ingin melanjutkan sekolah. Padahal sebenarnya dia sudah bersekolah waktu itu, hanya saja belum jujur pada ibunya. Mendengarkan permintaan Nasirun, almarhumah menjawab “Begini saja, saya sudah bilang saya tidak punya uang. Kamu saya bekali bismillahirrahmanirrahim yang tidak akan pernah habis seperti uang.” Dengan malu Nasirun menyadari kekeliruannya, tetapi juga tetap mencari cara agar bisa mendapatkan uang demi membayar sekolah. Akhirnya, Nasirun meminta izin ke ibunda untuk menjual pintu rumah. Pintu itu terjual seharga 70 ribu yang ia gunakan sebagai bekal sekolah hingga lulus SSRI. Setelah dijual, pintu yang seharusnya menghubungkan ruang tengah dan dapur tersebut ditutup dengan kain sarung oleh sang ibu sebagai pembatas antar ruangan.

Meski masih belum menyadari bakat seninya, Nasirun yang begitu cinta menggambar harus mengambil keputusan-keputusan beresiko pada waktu ia bersekolah di Jogja. Tanpa kecintaannya pada kesenian, mustahil Nasirun mau menjalani hidup yang penuh terjal dan tantangan di usia remaja. Pasca peristiwa menjual daun pintu rumahnya, ia telah berjanji pada diri sendiri agar tidak mengganggu ibunya lagi dengan persoalan uang. Bahkan ketika Nasirun melanjutkan studinya ke ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), dirinya berjuang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya sendiri tanpa bantuan keluarga.

Sejak di masa kecil, Nasirun memiliki kebiasaan yang ia merasa itu merupakan bagian dari bakat keseniannya. Nasirun suka tanpa alasan membeli barang atau lebihnya makanan dari pedagang apapun yang lewat di depan matanya. Dirinya sendiri menyadari bahwa itu adalah sebuah keanehan. Sehingga kerap kali apabila ia pulang ke rumah membawa makanan yang baru dibeli, lalu ditanya sang ibu mengapa ia membeli makanan padahal sudah ada makanan di rumah, Nasirun hanya akan menjawab bahwa ia diberi gratis. Lebih seringnya, setelah ia membeli suatu makanan, ia akan memberikan lagi makanan tersebut kepada temannya. Sebab ia hanya berkeinginan membeli, bukan untuk menikmatinya.

Barangkali kebiasaan tersebut yang bertahun-tahun kemudian Nasirun maknai sebagai suatu kepekaan. Tanpa itu, ia pun sangsi dapat mempunyai bakat seni. Seorang seniman, tidak hanya dapat sekadar menggambar, akan tetapi mampu untuk menangkap realitas dengan batinnya. Sebagai cara untuk menginterpretasikan berbagai peristiwa yang terjadi maupun yang dialami, lalu memanifestasikannya ke dalam sebuah karya. Itulah kepekaan atau keharuan yang teranugerahi pada diri seorang seniman.

Dari kiri ke kanan: Samuel Indratma, Kartika Affandi, Nasirun (Photo by Jalaroso Papang).
Dari kiri ke kanan: Samuel Indratma, Kartika Affandi, Nasirun (Photo by Jalaroso Papang).

Melampaui Batasan Manusiawi

Peristiwa daun pintu menjadi begitu bersejarah bagi Nasirun. Pengalaman itu memberikannya energi agar semakin mengasah bakat seninya. Dia memutuskan melanjutkan sekolah ke ASRI. Sebelumnya dia pernah mendaftar di ITB, namun memutuskan untuk mengundurkan diri karena tidak bisa memenuhi persyaratan administrasi yang mengharuskannya mencantumkan jumlah penghasilan orang tua. Saat almarhumah masih hidup, selain dibekali dengan bismillahirrahmanirrahim, beliau juga menasehati Nasirun mengamalkan lahaulawalakuataillabillah. Itu yang memberi kekuatan dan semangat pada dirinya di kala menghadapi bermacam situasi sulit dan pahit.

Ketika masuk di ASRI pada 1987, Nasirun mendapat keberuntungan karena meski latarbelakangnya adalah seni terapan (applied art), dia berhasil diterima di seni murni (fine art). Meski memang tidak mudah dalam proses penyesuaiannya. Tekad Nasirun begitu kuat untuk bersekolah di ASRI, hingga dia dengan nekat mendatangi Bank Punakawan untuk menemui direktur bank tersebut, R. Surjono. Nasirun meminta tolong kepada beliau agar mau menalangi dulu biaya kuliah perdananya. Tetapi malang, R. Surjono yang mantan tentara itu mengusir Nasirun dari kantornya. Dia menunjuk tulisan di pintu kaca, “Tidak Menerima Sumbangan.”

Dalam perjalanannya, Nasirun mengalami jatuh-bangun agar bisa membiayai sekolah dan hidup sehari-hari. Rumah kontrakan yang ditinggali Nasirun semasa kuliah tidak berisi barang apapun, kosongan, bahkan sebuah lampu diberikan oleh seorang tetangganya yang menaruh kasihan. Kelak setelah Nasirun sukses, tanah dan bangunan di daerah Sumberan tersebut dibelinya sebagai pengingat pengalaman pahit di masa lalu. Nasirun mengalami satu semester bisa bayar kuliah, dan semester selanjutnya terpaksa cuti karena tidak mampu membayar. Demi mencari penghidupan, Nasirun bekerja membuat desain batik pada beberapa pengusaha batik seperti Adilaga, Astuti, sama Ardianto.

Di tengah bekerja, belum sempat memperoleh cukup penghasilan, brand-brand batik tersebut mengalami kebangkrutan. Peristiwa roda kehidupan tersebut menyentak Nasirun begitu rupa karena seperti Astuti dan Adilaga yang berjanji membayar studinya sebagai ganti desain batik yang ia buat, justru menjual barang-barangnya kepada Nasirun. Entah itu absurditas kesenian ataupun kebudayaan, kejadian-kejadian itu menguatkan sensivitasnya. Bahkan pernah suatu masa, oleh sebab tekanan hidup yang bertubi-tubi Nasirun mengalami keterguncangan batin yang menariknya ke dimensi lain.

Berbagai problematika yang dihadapi Nasirun seperti kebutuhan makan sehari-hari, membayar uang semester, membiayai ujian praktik, pikiran tentang keluarga, sampai upaya mencari jati diri menghantamnya begitu rupa hingga dia mengunci diri di dalam rumah. Bagaikan sedang berkhalwat. Pernah pada suatu tengah malam Nasirun tanpa sadar mengetuk rumah di sebelahnya, melantur. Si tetangga menyuruh Nasirun kembali ke kontrakannya agar tidur. Keesokan hari, tetangga yang khawatir itu menanyakan keadaan Nasirun apakah dia stres karena tidak pernah beraktivitas di luar rumah.

Tekanan hidup membuat Nasirun tidak keluar rumah selama hampir 40 hari. Hanya terus-menerus melukis dan tidak mau berhenti sebelum dia jatuh tertidur kelelahan di depan kanvas. Dalam ketertekanan tersebut Nasirun sering mendengar suara-suara dari dimensi lain. Seperti bunyi gamelan, alunan shalawat, dan sebagainya. Dia seakan memasuki dunia yang bukan lagi semata dunia manusia. Dia mengalami kondisi transenden. *Bersambung