Bhisma Gugur | Puisi-Puisi Yohan Fikri
Puisi: Yohan Fikri
Bhisma Gugur
Langit di atas Kurusetra telah menjelma piala.
Darah adalah anggur yang terus mengucur.
Radang amuk berkilatan di mata Sang Resi tua.
Di antara ringkik kuda dan derap pedati,
Lihatlah itu! Langit menghunus seribu matahari.
“Amba…Amba…lesatkan anak panah itu
Dari gandewa, dan lekas jemput aku di mayapada!”
Ia bergumam dengan mata terpejam,
Ketika dilihatnya mata ajal menyalang
Di lengan Srikandi yang gandewa pinentang.
Dipasrahkannya seluruh tubuhnya bagai
Bunga-bunga padma mekar pada kecupan fajar.
Kemudian senyumnya tersungging,
Pada detik-detik yang genting;
Waktu pamungkas bagi hirup-hembus napas.
Dilihatnya Amba, kekasihnya, sedang melayang di udara,
Kain wiru yang berkibar, dan sebentang selendang
Yang kemudian menarik sukmanya keluar.
Di antara sengguk-tangis dan jagad yang senyap,
Cinta berkelepak di ceruk punggungnya yang bersayap.
Malang, 2021
Durna Gugur
Di hadapan mata jenawi
Dan pucuk mata ganjur,
Anak panah dan lengkung busur,
Dharma musti ditanggalkan,
Sebab dosa tak dapat lagi dibantahkan.
“Aswatama telah mati!
Aswatama telah mati!”
Pekik itu seperti godam
Menghantam hatinya bilur lebam.
Nasib yang retak
tersangkur di ujung tombak.
Diurungkannya mantra bramastra
Sebab bibir hanya kuasa mengigir belaka.Brahmana itu tak tahu—sungguh ia tak tahu,Aswatamayang mati itu,Hanyalah asma seekor gajah,Yang kepalanya remuk dikepruk gada—dan dusta kubu Pandhawa.
Namun hasrat kadung menguap
Dijerang duka perang.
Sementara bayang putra terkasih,
Telah malih serepas buih.
Ia buang gaman di tangan
Dan bersemadi di atas pedati,
Sebelum kematian itu
Bertandang lewat mata pedang
Seorang hulubalang.
Sebelum darah muncrat
Dari leher yang terbabat.
Ia lalu moksa menjadi cahaya,
Terbang melayang menuju nirwana.
Malang, 2021
Dendam Aswatama
Malam kelam oleh dendam.
Di atas tenda, langit menjerit ditikam bulan sabit,
Tatkala di dada seorang panglima
Sedang bergulung mendung bulu serigala.
Lalu dewa mengirimkan mereka sasmita,
Mengirim mereka hamah dan thiyarah,
Antara koak kawanan gagak
Dan kelepak sayap burung hantu,
Kebenciankah itu?
Yang jelma mata anak panah,
Membelah wilayah dan ikatan darah?
Setelah itu, hanya kita dengar
Congklang langkah kuda
Membelah gulita,
Ketika Aswatama menggila
Melesat menuju kemah kubu Pandhawa.
Di dadanya, dendam bagai kelebat
Sayap seribu burung hantu,
Malam itu, “Hutang nyawa musti dibayar nyawa!”
Ia bergumam sebelum menikam Drestajumena,
Setelah itu Srikandi, lalu Banowati,
Juga seluruh pancawala—putra Drupadi.
Kaudengarkah angin dan bara sedang tertawa
Mengeropok seluruh tenda, ketika
Dendam telah lunas pada suatu malam yang pulas?
Ketika Aswatama menuntut balas?
Setelah itu, karma adalah kusta, adalah kusta
: Bacin darah yang ia jilat sendiri dengan pucuk lidahnya.
Malang, 2021
Bambang Sumantri
Sengaja ia pergi subuh hari, sebelum paruh-taji seekor mandung
Tuntas mengais langit pagi. Jagad masih senyap
Dan adiknya—yang buruk rupa itu, di dipan sibuk terlelap.
“Maafkan aku, Sukrasana. Sebab bila kau turut serta, kau hanya bakal
jadi batu pengganjal bagi langkahku menggapai cahaya.”
Ia bayangkan gemilang masa depan bagai cerlang lintang zohal
Berpijar dari Giri Sekar sampai langit Kuta Raja, sebab lelaki titisan wishnu itu,
Ingin jadi terompah bagi laku-lampah Arjuna Sasrabahu.
Maka pada suatu hari ketika pagi masih bayi dan hari belum sempurna,
Bertolaklah ia ke arah utara, ke Negeri Mandaga
Demi memboyong Dewi Citrawati ke Puri Maespati.
Bulan pun lamban seakan nyimak takdir berjalan, dan angin yang purba
—angin yang itu juga, menimpa kulit sutranya, sementara rumput-tanah yang terinjak,
Seperti khidmat menyimak rancak tabla yang berdetak dalam dadanya.
Tetapi kemenangan itu, gempita itu, adalah nira siwalan paling legit di dunia,
Sedang senyum Citrawati adalah manis madu bunga kalindra,
Bagi hati Si Bujang yang terlampau gampang dimabuk kepayang.
“Arjuna Sasrabahu, Rajaku, pulanglah ke Maespati dan relakan Citrawati,
Sebab di gerigi cakra milikku, telah kulihat bayang ajalmu!” Tetapi Sumantri
Telah lena—sungguh telah lena: Keangkuhan adalah kutukan, juga kekalahan pertama.
Tatkala jagad mengerang dan langit terbirit-birit, cakra menyala
Dan rapal mantra triwikrama mengubah Arjuna Sasra menjelma seribu kepala,
Sesal menjadi sepasang kaki denawa yang menginjak kecongkakannya.
Malang, 2021
Tragika Kematian Sukrasana
/di giri sekar/
Telah kutahbiskan diriku sebagai tawa bagi kebahagaiaanmu,
Sebagaimana jatuh air mata bagi segenap duka-lara.
Kau jati aku galihnya, kau sebatang bambu dan aku adalah miangnya.
Merah bagi alir darah, sumsum dan kalsium
Bagi kopong tulang-tulangmu, demikianlah amsal keberadaanku.
Tetapi kini, di Giri Sekar, sepi bagai sehampar padang
Sepanjang mataku memandang. Pagi adalah penjara
Dan malam juga penjara. Kerinduanku padamu adalah benteng baja
Yang tak roboh dihantam apa pun, bahkan oleh sejuta lembing harpun.
Berangkat aku ke Maespati menyusulmu, Kanda.
Tetapi cuma kudapati wajah gundah dan hati yang masygul.
Belati mana yang telah berani menakik nyeri di dalam dadamu?
Kalaulah ia adalah kuku seorang raksasa, bakal kucongkel bola matanya.
Akan kubedah dan kucerabut jantungnya, lalu kuminum perasan darahnya.
Bila itu sebujur keris seorang prabu, percayalah padaku,
Akan kululuh-lantakkan seluruh negerinya bagimu!
/di taman sriwedari/
“Telah tergelecik aku oleh keangkuhanku sendiri, Sukrasana.Sehingga Raja menimpakan murka di atas nasibku. Kini, ia menghukumku.Diutusnya aku memindah Taman Sriwedari ke buritan Maespati.Dan kau tentu mengerti, bukan? Memindah taman itu dari kahyangan,Adalah tindakan yang tiada beda dengan upaya menjaring angin!”
Sukrasana mengerti hati Sumantri bergelebah. Tetapi baginya,
Tugas itu tak lebih susah ketimbang memecah cangkang buah ketapang.
Disihirnya taman Sriwedari seringan biji bunga matahari,
Serupa benih kembang semboja yang rentan terhembus udara.
Di mana pun benih itu kelak jatuh, di sanalah kuncup baru kemudian tumbuh.
Pada suatu hari, yang tak pernah dikehendaki—bahkan mungkin oleh dirinya sendiri,
Di taman itu, Ketika Citrawati dan para dayang Maespati sedang bersukacita,
Menikmati segar udara, dan meruntih bunga-bunga, siang pun pecah
Oleh kedatangan Sukrasana, dan udara sejuk seketika berbau busuk.
/di hadapan ajal/
“Sukrasana, adikku, pulanglah ke Giri Sekar! Kelancanganmu
Datang ke mari tiada beda dengan busuk tai kuda,
Yang kaulempar ke wajahku dengan sengaja!”Ucapnya dengan netra nyalang.
Di dalamnya, telah terpancang tabuh genderang, berkibar bendera perang.
Sebab rasa malu, hari itu, telah menjadi mata sembilu yang memutus tali rahim.
“Sukrasana, tidakkah kaudengar? Pulanglah ke Giri Sekar!”
Nada Sumantri kasar, tubuhnya bergetar. Sementara matanya kian memerah,
Tangan kanannya diam-diam meraih anak panah.
Sedang gandhewa di tangan kirinya, tiba-tiba telah membidik dada.
Kemudian ditariknya tali busur, dan ajal pun deras meluncur.
Setelah itu, barangkali yang tersisa hanyalah sesal—dan hanya sesal.
Tetapi sesal tidaklah mengubah muncratan darah kembali ke batang nadi,
Dan luka akan tetap menganga. Mata yang nanar, bibir yang gemetar,
Dan air mata juga tak akan kuasa mencegah ruh loloskan diri dari jisimnya.
“Kakanda, aku Sukrasana adikmu,” ucapnya setengah terpatah,
Aku telah bersumpah, hidup-matiku bersamamu!”
Kemudian Dewa menitahkan luka menjadi karma, darah yang meluncur
Dari jantung Sukrasana yang terbujur, anak panah yang menujah
Manusia tak berdosa, akan menuntut balas dari ujung taring seorang denawa.
Malang, 2021
Kembang Kepatihan*
“Langit tidak akan pernah bersih kembali, menampakkan bima sakti yang jauh,
Sebagaimana ditulis seorang lelaki tua, dalam sepenggal bait sajaknya.”
Sebab kami tahu, Anjasmara, nasib adalah kutukan
: Jamid sebongkah batu yang melindih ketakberdayaanmu.
Tak habis dikikis oleh sejuta air mata, yang berderai atas nama kesia-siaan.
Barangkali, Tuhan tidak semayam di atas langit Kepatihan, Anjasmara.
Tidak juga di ujung gunung, atau di balik saput kepadatan kabut.
Ia sedang bersulang secawan anggur dengan Kencana Wungu
— ratu yang kelak bakal merenggut seluruh hidupmu itu.
Atau mungkin, Tuhan sedang terlibat kunjungan ke sebuah negeri,
Ia bermain judi, mengumbar kelakar, dan melempar dadu bersama seorang Adipati.
Dan di atas gelanggang, tidakkah kau tahu, apakah taruhan
Yang mereka pasang? — nama kekasihmu, Anjasmara. Tetapi takdir,
Kadung bergulir ke arah di mana peperangan, kematian, dan tangis telah ginaris.
Ada derai yang tak kuasa kami urai, ketika di matamu, kami saksikan
Terbentang peta buta yang tak mampu kami baca. Ketika keloneng genta
Seekor kuda melesat pergi, kelepak sayap kelelawar membelah sunyi,
Dan tapak-tapak itu menjauh ke arah utara—ke arah di mana
Nasib telah kasip: Sesuatu yang telah lewat dan tak berani kau sebut lagi.
Malang, 2021
*Sajak ini terinspirasi dari film pendek tentang kisah Anjasmara dan Damar Wulan yang berjudul “Kembang Kepatihan”, disutradarai oleh Dr. Karkono Supadi Putra, S.S., M.A.
Yohan Fikri, lahir di Ponorogo, 01 November 1998. Alumnus Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang ini.