Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pangeran Ondomoi | Cerpen: Dody Widianto
Ilustrasi: Dia Alazzawi

Pangeran Ondomoi | Cerpen: Dody Widianto



Sejak kematian Setro Kumitir, ada tiga janda yang tiba-tiba jadi gila di kampung kami. Kematian juragan gabah itu memang membuat kaget keluarga dan tetangga, tanpa tanda sakit atau apa. Di hari ketujuh kematiannya, Lastri, istrinya, mendadak hilang kewarasan di pagi harinya. Tanpa busana, ia terus saja berdiri dalam ceracau yang tak bisa diterjemahkan, menatap tajam di depan gerbang balai desa seolah ingin menuntut keadilan.

Tiga kali kejadian aneh itu mengingatkan kami yang abai pada nasihat leluhur. Akibat gempuran teknologi dan kesibukan kami bekerja, hal-hal di luar nalar seolah kami anggap angin lalu. Sekarang, kami mulai percaya pada ular gaib yang konon melingkari desa kami. Jika saat tanggal dua puluh tujuh Rajab tidak diadakan acara nanggap ketoprak (wayang orang) saat merti desa, ular penjaga ini akan marah. Memilih satu nyawa warga untuk diambil jiwa sehatnya sebagai tumbal untuk dijadikan pengikut di alamnya. Mendadak, kami yang tadinya menyepelekan keberadaan ular itu, dengan adanya Lastri yang bersikap aneh, membuat kami benar-benar percaya.

Dalam ingatan kami, dua tahun lalu, akibat hama wereng yang melahap habis area pertanian, hasil padi yang seharusnya melimpah hilang dalam sekejap. Untuk menyambung hidup, kami memakan gaplek (singkong yang dikeringkan). Acara ketoprak yang biasanya diadakan setahun sekali, oleh Pak Kades, acara itu ditiadakan demi menghemat biaya. Tak mungkin warga berani mengambil dana desa dari pemerintah. Zaman sudah berubah. Segala bentuk pelaksanaan pembangunan desa harus ada bentuk pertanggungjawaban di atas kertas. Kami biasa mengumpulkan dana dari swadaya masyarakat. Tahun-tahun selanjutnya, kami hanya menggelar acara merti desa dengan nasi tumpeng selamatan yang digelar di bawah pohon Poh Agung, sebuah pohon yang berkerabat dekat dengan beringin laut, tempat di mana ular gaib itu bersemayam. Sebuah pohon yang menjadi nama desa kami, Poh Agung. Sebelum acara inti digelar, acara ini biasa dimulai dengan doa-doa keselamatan yang dipimpin langsung oleh Kepala Desa di kampung kami.

“Sebuah pelajaran kita ambil hari ini. Janda Lik Awar, Katmini, tiba-tiba hilang kewarasan dan ia menceburkan diri ke dalam sumur Windu. Lalu janda Pak De, Bu Trisno, harus meregang nyawa terseret arus di pinggir kali sebelah pohon Poh Agung. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, dua tahun lalu acara ketropak ditiadakan, ketika itu pula dua tumbal dipinta. Dulu pun aku tak percaya cerita ini. Mirip dongeng dari Eyangku. Namun, apa yang sudah terjadi di waktu lalu patut kita jadikan pelajaran. Kemarin, Setro meninggal. Aku berharap di tahun-tahun depan, siapa yang diberi kelebihan dalam harta, segera berikan untuk acara keselamatan ini. Demi kebaikan kita semua. Harta yang banyak bukankah memang harus disumbangkan untuk yang membutuhkan? Satu wargaku meninggal entah karena apa. Aku tak ingin janda Setro bernasib sama dengan yang dulu. Lebih kasihan tak ada anak. Aku harap semua warga di sini tahu sebuah konsekuensinya jika amanat leluhur ini dilanggar.”

Di tengah kerumunan warga yang melingkari nasi tumpeng, aku mendengar dengan saksama pidato Pak Kades. Ia berdiri tepat di tengah-tengah. Aku yang baru saja beranjak dewasa, bersama bapak dan puluhan warga yang lain, berkumpul di bawah pohon yang begitu rindang dengan akar-akar bergelantungan. Ada tampah besar di bawahnya dengan nasi tumpeng. Urap sayur bayam dan kangkung, tahu dan telur serta tujuh ingkung melingkari nasi itu. Di sebelahnya ada tumpukan samir, daun pisang sebagai alas makan. Kami menunggu acara doa selesai dan menyantap bersama hidangan itu di bawah pohon yang dipercaya sebagai tempat bersemayam leluhur kami. Ular gaib sangat besar yang kami sebut Pangeran Ondomoi. Mulutnya menganga tepat di selatan, depan sumur Windu, sebelah gapura selamat datang. Ekornya mengibas-ngibas di utara perbatasan desa. Bisa dibayangkan besarnya ular itu bisa melingkari dalam jarak delapan ratus meter keliling desa kami. Itu yang pernah Eyang ceritakan padaku. Namun, hanya hati yang suci yang bisa melihat keberadaan ular itu.

Awalnya aku meragukan keberadaan ular itu. Namun, bukankah memang yang nyata dan gaib di dunia ini selalu berdampingan? Pun, jika kucocokkan dengan cerita Eyang, ketika tetangga kampung mengalami kebanjiran, anehnya, kampung kami yang seharusnya ikut terendam karena daratannya lebih rendah, air itu seolah mengalir ke lain tempat. Enggan mampir ke kampung kami. Jika aku mengaitkan dengan hama wereng di kampung kami dua tahun lalu dan ditiadakannya ketoprak, aku jadi berpikir, adakah Pangeran Ondomoi marah setelahnya, lalu mengambil jiwa sehat untuk menjadi pengikutnya?

“Kemarin, atas kesepakatan warga saat musyawarah di balai desa, setengah stok gabah di lumbung milik Setro akan diberikan untuk acara merti desa. Beliau juga tak punya keturunan. Istrinya juga sudah setuju atas nama beramal untuk suaminya di alam baka.” Pak Kades tetiba menambahi perkataan di akhir pidatonya.

Satu-satunya sumber air di kampung kami yang tak akan kering saat kemarau panjang melanda ketika sumur milik warga kering kerontang hanyalah sumur Windu. Sumur itu bersebelahan dengan pohon Poh Agung. Jarak dua meter ke selatan. Terkadang, ada saja orang luar kota yang datang ke tempat kami untuk mengambil sumber air di sumur itu. Air dari sumur Windu dipercaya membuat awet muda dan membuat wibawa orang yang meminumnya lebih meningkat. Setiap tindak tanduk dan ucapannya akan dipercaya oleh masyarakat. Namun, itu tidak berlaku bagi warga kami, toh kami sudah terbiasa mandi dan minum airnya, tetapi, hanya kepada Pak Kades kami merasa manut dan harus melakukan segala perintahnya.

Sudah tiga kali Pak Kades memimpin desa kami. Ia selalu menang dalam pemilihan saat bertanding dengan pesaingnya. Entah kenapa, kami selalu patuh pada nasihat dan perintah beliau. Mungkin sudah selayaknya segala hal harus kami laksanakan sesuai perintahnya jika ingin desa kami maju. Tak ada yang salah. Kami pun rela saat tradisi malam ngeyekan, makan bersama di malam hari sebelum hari pemilihan itu datang, kami berbondong-bondong atas nama sukarela membawa banyak makanan dalam kantong plastik dan kardus ke rumah Pak Kades. Kami tak ingin Kades terpilih nanti dibebani utang biaya pilihan Kades yang ratusan juta. Kades dipilih atas nama aspirasi warga, bukan memelas agar dipilih warga dengan uang. Acara makan-makan ini adalah wujud doa kepada pemilik semesta agar diberikan hasil yang terbaik. Nyatanya, semesta memang selalu menurunkan pulung di rumah Kades. Tiga kali ia terpilih. Ini adalah enam tahun masa terakhir. Kades hanya bisa dipilih untuk maksimal tiga kali pemilihan dalam tiap enam tahun masa jabatan. Selanjutnya, ia tak boleh dipilih lagi.

Berita yang tersebar sampai kudengar di desa kami. Lastri, janda Setro Kumitir adalah mantan kekasih Pak Kades dulu ketika ketiganya pernah dipertemukan dalam diorama cinta segitiga di sebuah kota Jawa Timur. Namun, takdir berkata lain. Cinta Pak Kades bertepuk sebelah tangan. Padahal dari fisik, wajah Pak Kades lebih rupawan. Itu kata orang dan ibu-ibu di desa kami. Namun, ketika itu Pak Kades masih hidup susah. Lastri kepincut Setro Kumitir yang seorang juragan gabah. Ia mengembangkan usahanya lalu pindah ke desa kami. Hingga akhirnya kepindahannya membuat luka di hati Pak Kades tergores lagi. Sekuat tenaga, Pak Kades menanggapi biasa saja. Namun, lewat mimpi yang aneh semalam, aku melihat Pak Kades, dalam kelebat bayangan yang samar, ia berjalan menyusur jalan menuju pohon Poh Agung dalam jarak sekitar dua puluh langkah ke timur dari rumahnya. Rumah kami berhadapan langsung dengan rumah beliau, hanya terpisah jalan. Aku memasang wajah curiga. Berjalan mengendap membuntutinya.

Sampai di depan Poh Agung, Pak Kades seolah mengeluarkan sesuatu dari kantong saku bajunya. Entah apa. Ia duduk bersila. Membakar benda itu di bawah akar-akar yang bergelantungan. Kedua tangannya ia tangkupkan ke dada, lalu bibirnya terucap bergerak pelan seolah sedang merapal mantra, ketika kumelun asap membubung ke angkasa.

Duh, wanita kang memayu hayuning bawana. Becik ketitik ala ketara. Sopo salah bakal seleh. Pet sido edan, yen ora ingsung sing nambani. Niat ingsun matek aji ing jiwane Lastri.”

Aku terhenyak ketika sekuat tenaga menguping. Pak Kades menyebut nama Lastri, bibiku. Dalam degup nada irama jantung yang tak terkendali, mirip deru mesin dalam getar maksimal, aku membalik badan dalam gemetar. Namun, sial, aku tersandung batu yang tertutup ilalang. Dan di antara pagar bambu yang menyusur di tepian kali sebelah Poh Agung itu, aku menahan seringai sakit, berusaha agar tak menimbulkan suara, tetapi Pak Kades lebih dalam naluri alamiahnya.

Sopo iku?”

Aku berusaha merayap perlahan agar tidak ketahuan. Menggunakan tumpu dua siku tangan. Goresan daun ilalang yang perih berusaha kutahan. Berusaha merayap menuju jalan pulang.

“Mau ke mana Le?”

Aku mendongak ke atas. Pak Kades berdiri menghadang. Tubuhku masih menelungkup dalam detak jantung yang kian menderu.

“Kau tak akan mengerti jika cinta lama bisa bersemi kembali. Kau juga belum paham arti sakit hati. Ini mirip lelucon. Tetapi, begitulah kenyataanya. Bu Lik-mu yang menggodaku. Atas nama adat di desa ini, siapa saja perempuan yang menggoda laki-laki sudah beristri, ia akan menanggung akibatnya. Itu sudah tertuang dalam aturan leluhur kami yang tidak tertulis di atas kertas. Sekarang, hanya kau dan aku yang tahu. Kau bisa ingat-ingat itu anak muda. Tidak semua yang kaulihat sebagai keganjilan adalah kesalahan. Kau bisa memilih jalan menerima kenyataan.”

Perlahan, wajah Pak Kades memunculkan bintik-bintik hijau dan putih, melingkupi sampai lehernya. Dari bibirnya keluar sesuatu. Lidahnya perlahan memanjang, menjulur-julur, bercabang. Matanya lalu menyipit dengan bulatan bening mirip biji kelereng yang berkilauan, dan secepat kilat ia membuka mulutnya lebar-lebar, melesatkan mulut yang terbuka itu ke kepalaku.


Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.