Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Halondo | Cerpen: Beri Hanna
Ilustrasi: einarsandvold

Halondo | Cerpen: Beri Hanna



Paman, Alson!

Suatu sore awal bulan Januari, dua tahun setelah kau pergi berperang melawan Jerman; Halondo—si kurus yang dulu menjadi budak kapal—bernasib baik dapat selamat dari amukan ombak laut dan meriam yang meledak-ledak. Dia satu-satunya orang yang selamat membawa mayat Jendral tanpa kekurangan.

Kapten Hock yang mendengar informasi ini, memberikan subsidi serta penghargaan kecil atas dedikasi Halondo dalam penyelamatan yang menurutku lebih seperti mengada-ada.

Sejak Halondo kembali ke desa dan menghambur-hamburkan uang pada setiap perempuan yang ditemuinya, semua orang mengetahui kabar lewat hantu-hantu dan percaya apa yang diceritakan Halondo tidak lebih dari karangan yang buruk.

Bagaimana orang seperti Halondo dapat dipercaya sementara kekeliruan terus berdengung dari kata yang diucapnya? Percaya pada Halondo sama seperti menghitung jumlah biji dalam buah semangka, kita tidak akan pernah mengetahui seluruh jumlahnya dengan pasti, kecuali kedustaan.

Sebab itulah beberapa orang memiliki keyakinan—termasuk aku—kalau Halondo membunuh Jendral demi mendapat dedikasi dan cukup uang.

Menurutku itu benar, karena jika tidak, siapa yang ingin melarat seumur hidup, Paman Alson? Dan Halondo adalah contoh paling mutlak yang menggambarkan perlawanan atas hidup dengan rela melakukan apa saja.

Aku agak sedikit kurang ajar dengan pembukaan seperti itu. Aku yakin termasuk juga kau, akan membencinya seumur hidup bila kuberi tahu hal lain yang menyakitkan. Tidak hanya perbuatan Halondo yang jahat, tetapi kelicikan sewaktu menjadi budak, rupa-rupanya bersamayam dalam tubuh kotornya hingga menjelma seperti kura-kura yang bertahan dengan cangkang sebagai wujud tameng kekuatan seorang laki-laki.

Paman, bukankah kau tahu peribahasa lebih baik hidup menjadi harimau satu tahun ketimbang menjadi kura-kura selama dua puluh tahun. Atau cerita rakyat si kura-kura licik yang menipu burung-burung untuk ikut terbang ke istana di langit demi jamuan makanan? Cerita itu juga pernah ditulis pengarang Chinua Achebe. Entahlah, aku harus mulai dari mana, tapi suatu hari itu, tak seorang pun yang tahu bila Halondo masuk ke kandang ayam seperti seekor ular untuk menelan ayam-ayam ternak dan baru diketahui selama kurang lebih dua pekan setelahnya. Bukankah itu perbuatan yang menjijikkan, Paman Alson? Ia lebih dari seekor kura-kura licik yang pandai bertutur dan bersembunyi.

Kau harus tahu Paman Alson, waktu itu Halondo telah miskin bahkan ia tidak punya setetes whisky untuk menghangatkan tubuh. Memang kita semua orang miskin dan hina. Tetapi, kalau kau pernah melihat mayat hidup bersusah payah berjalan di medan perang dengan wajah hancur tanpa membawa sesuatu di tubuh kecuali darah kental; tetapi masih memiliki jiwa untuk melawan meski dengan cakar palsu dari kuku hitamnya, aku berani bertaruh, jika Halondo yang menjadi mayat hidup dalam cerita ini, ia tidak akan berjuang dengan kesusahpayahannya untuk melawan; pastilah ia sembunyi di balik cangkang kura-kura selama dua puluh tahun, bukan menerkam dalam waktu setahun seperti harimau dalam peribahasa itu.

Tanpa ampun Halondo kami siksa seperti bencinya kami pada beruang yang dulu pernah menerkam orang desa. Itu pernah terjadi saat aku masih belum bisa berhitung dan Paman saat itu sudah ahli memadatkan mesiu ke dalam senapan. Aku jadi ingat—dan memang ingatankulah yang bisa kupercaya sejauh ini—bukankah waktu itu kau yang menguliti si beruang, Paman Alson? Lalu kau juga, ‘kan, yang menyarankan supaya beruang tidak bisa masuk dan mengancam keselamatan—terutama kanak-kanak—untuk membangun pagar dari pohon-pohon jati yang kuat? Sampai saat ini, pagar itu masih kokoh berdiri. Dan di pagar itulah kami mengikat Halondo, berharap itu tempat terakhirnya.

Paman Alson, inilah awal semuanya menjadi berantakan. Aku tidak tahu mengapa, tetapi seolah seluruh angin berembus dari balik punggung Halondo. Pada hari yang sama ketika Halondo babak belur dan hampir mampus, Kapten Hock mendadak pulang—dari panggilan memasok senjata—dan menyalahkan kami semua atas tindakan semena-mena itu. Kapten Hock sendiri yang menurunkan Halondo dari ikatan tali yang melilit—hampir—seluruh tubuhnya. Hingga akhirnya, kami hanya bisa melongo menyaksikan Halondo tidak dihukum, melainkan duduk menenggak whisky di kantor Kapten Hock.

Di mana keadilan? Di mana kebenaran? Apakah Halondo benar seorang pahlawan? Jika pun benar demikian, dia tidak lain seorang pahlawan yang menyimpan kebusukan dalam dirinya. Mengapa aku berani menulis hal demikian, tidak lain karena aku punya dua alasan kuat. Pertama, aku sudah telanjur mencuri kertas dan menggunakan pulpen Kapten Hock lengkap dengan stempel dari kantornya. Kedua karena aku sudah tidak tahan atas ulah Halondo yang semakin hari semakin mengerikan.

Maaf, Paman Alson, kukira memang Bibi Suzan bukan perempuan yang mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku tidak akan mengada-ngada soal ini, sebab kau juga bisa mencari kebenaran apa yang aku tuliskan ini dengan menanyakan seluruh orang desa. Pada lain hari setelah Halondo melenggang bebas seperti orang berkuasa, ia punya semacam sihir lidah yang menyentuh dan, dengan cara seperti itu dia mendekati Bibi Suzan.

Memang Bibi Suzan menolak Halondo pada awalnya. Tetapi, siapa yang menyangka jika Halondo tidak hanya bisa menjelma seperti ular atau membuat Kapten Hock bagai seekor anjing penurut? Halondo juga rayap yang merontokkan kayu-kayu tiang pancung sekali pun, sampai menjadi mata golok yang menebang sesuatu yang telah kau tanam di hati Bibi Suzan. Paman boleh percaya dan tidak, tetapi beginilah kenyataannya.

Aku tahu Halondo telah berkali-kali menggoda dan pada akhirnya, inilah yang kumaksud kau akan membencinya seumur hidup dan syukur bila kau akan memburunya sampai mati sekali pun—seperti itu pula yang aku harapkan.

Paman Alson, maaf aku  harus berterus terang seperti apa adanya. Tetapi ini bukan sebuah rahasia bahwa Halondo pernah mengaku ia tidak benar-benar mencintai Bibi Suzan. Ia hanya memanfaatkan kepolosan Bibi Suzan yang percaya pada omong kosongnya. Ia bilang Paman Alson telah mati. Dan jika pun masih hidup, dapat dipastikan Paman Alson tidak lagi memiliki kelamin. Orang-orang Jerman telah memotong kelamin Paman dan menjadikannya makanan anjing. Paling dapat disyukuri kalau kelamin itu dikirim sebagai wujud dari tubuh Paman yang dapat ditemui Bibi Suzan untuk terakhir kalinya. Tetapi mustahil, seperti mengharap kemenangan pada sebutir peluru, kata Halondo. Lagi pula, rumah tangga seperti apa yang dapat bertahan tanpa alat kelelakian yang sejati? Pertanyaan itu membuat Bibi Suzan goyah dan aku tidak dapat mencegah apa yang terjadi.

Dengan demikian, bukan hanya satu rumah rapuh dan hancur, tetapi satu tanah di desa kita, tertoreh dosa dan kehinaan darinya. Bukan hanya Paman, tetapi juga aku yang kenal Paman Alson luar dalam, merasa sakit hati yang luar biasa pada Halondo.

Meski demikian, aku tidak bisa berbuat sesuatu yang lebih daripada menuliskan surat untukmu ini. Kan sudah kukatakan sebelumnya, bahwa Halondo punya kedekatakan semacam seorang yang punya informasi dan itu mampu membuat Kapten Hock bertindak seperti orang kehilangan akal yang gampang diatur untuk berbuat ini dan itu, sesuai keinginan Halondo. Jadi aku dan orang desa tidak punya kuasa lebih untuk menggulingnya, meski dengan sebuah alasan, sekalipun alasan itu kuat.

Aku yakin dan dapat pula kuduga, sebentar lagi Kapten Hock akan jatuh. Paling syukur ia akan menjadi miskin dan menggelandang atau mati dan tidak akan ditemukan lagi. Kalau sudah begitu, desa kita akan mudah diguling ke sana kemari oleh Halondo dan dia semakin berjaya untuk melakukan apa saja.

Saat ini Halondo sudah punya beberapa pengikut. Entah dengan cara apa dan bagaimana, aku tidak mengetahuinya dengan pasti. Aku bersumpah, Paman Alson, bila sampai terlihat tanda-tanda semua orang berpihak pada Halondo, aku akan menyelinap seperti ular tanpa membuat suara untuk melilit batang leher Halondo sampai ia mampus. Aku harap semua orang kaget menemukan Halondo di pagi berikutnya dalam keadaan dingin dan beku. Tapi jika aku gagal, tentu saja aku yang akan menjadi dingin dan beku—menggantikan posisi kematiannya: seperti yang aku harapkan. Dan bila demikian terjadi, aku tahu Paman akan membalasnya di hari yang tepat, suatu saat nanti.

Inilah yang bisa kutuliskan untukmu, Paman Alson. Semoga kau menerima surat ini masih bersegel dan lengkap dengan stempel dari kantor Kapten Hock.

Maaf dengan kecerobohan kalimat, karena kutulis surat ini dengan tergesa-gesa dan emosi yang tidak terkendali.

Salam, Marie Donhart, keponakanmu di desa!

Arksolan, 18 Feb


Beri Hanna bergiat di Kamar Kata dan Teater Tilik Sarira.