Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Gnosis | Puisi-Puisi Yohan Fikri
Ilustrasi: praticebrupeintre

Gnosis | Puisi-Puisi Yohan Fikri



Gnosis (1)

Di sini,
malam makin langut,
layap luyup ing aluyut.

Di puncak keintiman sepi,
Kau dan Aku
tak saling menampik diri.
Antara pejam dan terjaga,
Aku dan Kau,
tak saling bersengketa.

“O, Gusti,
jangan Kau ragu,
menatah pamor sukma-Mu,
dalam inti tubuh keris-Ku!”

“Sebagaimana
Aku tak pernah gamang,
kepada wujud dan bayang-Mu!”

Telah Aku masuki
bangsal jiwaku sendiri:
tubuh-Ku moksa dalam tubuh-Mu,
napas-Ku memburu,
“fafirruu…fafirruu…fafirruu…”
 menuju-Mu.

Hijab itu kawedhar,
seperti angin pada tirai yang gemetar
: Sumusuping rasa sejati, sejatining rasa.

Lalu tujuh martabat
kini lebur dalam hakikat,
dalam Aku yang kekal,
Kau yang kekal,
dalam Kita yang manunggal.

(2022)

Gnosis (2)

“Batas antara Kau dan aku,
ialah terang pesona,
dan gelap kharisma.”

Kulangitkan doa
di antara lega dan putus asa.
Kubenamkan dosa
di antara sesal
dan sujud yang nestapa.

“Kekasih, telah kuhapus
tatah pada loh batu
di puncak keangkuhan akalku.”

Tatkala mereka
memfanakan kekekalan-Mu,
pada kubah-kubah megah,
patung-patung indah,
cagak kilap pernis,
dan genta yang gigantis,

kukekalkan Kau
melalui singup Musa
di pucuk jabal sina;
kukekalkan Kau
dengan hening Isa
di salib bukit golgota;
kukekalkan Kau
lewat sunyi Muhammad
di sakral lambung hira’.

(2022)

Makrifat Jawi

Di atas gembur tubuh Ibu,
di pucuk runcing rumpun srikuning,
aku sujudkan segala jumawa pada Bapa,
yang bertakhta di dampar angkasa.

Junjunganku tak semayam
di beku batu arca, di pokok pohon purba,
pamor bilah pusaka yang kujamasi
pada sejumlah sasi yang aku takzimi.

Dia, berdetak di jantung bentala,di jembar dada angkasa. Dan dari suralaya, Dia tembangkan firman dalam gatra dan pada.

Sajadah hamba, bukan permadani beludru, Tuan.
Hanya lusuh tikar daun lontar,
dikepang dengan jemari yang khatam
mengenyam segala takdir yang telah ginaris.

Maka padamu, Mullah, aku katakan:

Kalaulah iman adalah ageman, tak aku kutuk
jubah dan imamahmu, tetapi larik
pada surjan itu, kadung jelma galur suratan,
tinakwil dalam sumsum dan darahku!

(2022)

Kasidah Hanacaraka

Gusti,
Kau yang semayam
di hampar batang-batang padi,
di laut paling sanubari,

jadikan bulir-bulir peluh kami
sebagai tasbih, dan tetesnya
wirid seputih ganih.

Gusti,
Kau yang bertakhta
dalam senyap dan suara,
dalam firman dan juga sabda,

jelmakan gatra dan pada
dalam pupuh-tembang kami,
sebagai kekudusan doa-doa.

Kami tak mengerti,
apa yang tegak
di balik alif-Mu, makna titik
di lengkung huruf ba’-Mu.

Tetapi, kami
— yang lusuh dan berdebu,
selalu tahu,
Kau tak teraba, tetapi ada di mana-mana

: di ceruk huruf ha, di lubang huruf na,
di celah huruf ca, di teguh huruf ra,
di seluruh rahasia,
ketaksaan hanacaraka.

(2022)

Ruang Kubus

Dalam ruang kubus sakral ini,
“aku gentar dan telanjang,”
cahaya dan suara, seluruhnya dilucuti.
“aku nangis, dan mengerang.”

Kusentuh kasar pada lantai,
dan gelap seperti kabut pekat,
menihilkan batas pada langit-langit,
dan sudut dinding-dinding batu.

Di sini, di ruang kubus sakral ini,
“sunyi adalah kemegahan,
yang perlahan melampah ke lubuk sejarah.”
Sejarah yang telah dipugar

gedung-gedung raksasa, hotel-hotel bintang lima,
pusat-pusat belanja, dan 21.000 proyeksi cahaya.

(2022)

Di Puncak Tahannuts

Ia dengar dentang genta
bergema di dinding dan langit-langit garba.
Seakan lonceng raksasa ditabuh keras-keras,
sebagai hembas badai, menghantam punggung padas.

Suara nirwujud-nirdawat
antara sunyi khalwat, melingkup ruang dan masa,
jisim dan jiwa; desau angin gurun di luar sana,
bisu batu-batu, dan seluruh benda di singup lambung Hira’.

Lalu seseorang tiba, mengucap sepatah titah,
“Bacalah!” sampai titah ketiga.
Seseorang itu, lelaki berjubah, yang sama sekali
tak pernah Ia lihat sepanjang jazirah.

“Tetapi aku tak kuasa!” Ia menjawab, seperti pasrah.

Di antara geletar pada lutut dan gigil rasa takut,
musim menghunus dingin di puncak tahannuts.
Tetapi, peluh itu menitik juga sebesar biji kurma,
dan lalu napasnya memberat di palung dada.

“Kata-kata, Gusti, tak akan jadi sakti,
kecuali ia diilhami oleh bunyi!”

Kemudian, Ia membaca firman dengan terbata,
sebelum pulang pada sepasang lengan, tebal selimut beludru,
dan api pada pendiangan yang setia terjaga,
demi menepis gigil kudus pada ringkih tubuhnya itu.

(2022)

Dari Puncak Bukit Itu, Ia Melihat Kota
Telah Jadi Perca-Perca Kaca         
: Pendeta Tanimoto

16 Agustus 1945…

Ia melihat,
seorang ibu tua berjalan tertatih;
seorang bayi, di dekapannya tampak merintih.
Ia melihat raut yang terluka.
Ia melihat mata yang trauma.
Ia seakan menghadap: sebentang lanskap neraka!

“Shu Jesusu, awaremi tamai!”

Lalu pendeta itu pun lantas terbirit
ke arah bukit, dan di pucuk gumuk, ia saksikan
segala yang bikin remuk sekujur dada,
serupa perca-perca kaca
: kota telah jadi rata, debu tebal menyebaki udara,
dan kabut pekat, menikamkan ajal
ke dinding kerongkongannya.

Tak banyak yang dapat ia ingat, tak banyak!
Hanya sirine yang telah karib di cungkup telinga,
tubuh berbanjur keringat,
di suatu pagi yang cerah dan hangat,
selepas perjalanan mendaki ke kaki bukit Koi.
Setelah itu, kematian tiba sebagai kilatan cahaya,
menetakkan maut ke seluruh penjuru kota.

“Shu Jesusu, awaremi tamai!”

Ia terkenang,
istri dan anaknya yang malang;
ia teringat, rumah-rumah ibadat,
dan limbung nasib jemaat.

“Shu Jesusu, awaremi tamai!”

“Tuhan, dengan bahasa doa mana lagi akan Kau ampuni,
dosa-dosa peperangan anak-anak-Mu ini?”

(2022)


Yohan Fikri, lahir di Ponorogo, November 1998. Belajar di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Puisi-puisinya tersiar di sejumlah media, dan memenangkan pelbagai kompetisi menulis. Buku puisi perdananya dekat-dekat ini akan terbit, berjudul “Tanbihat Sebuah Perjalanan.” Dapat disapa melalui instagram @yohan_fvckry.