Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Komitmen Kemanusiaan dalam Konteks Demokrasi dan HAM

Komitmen Kemanusiaan dalam Konteks Demokrasi dan HAM



Komitmen Kemanusiaan dalam Konteks Demokrasi dan HAM

Haryanto Cahyadi
Researcher di Lingkar Studi Sintesa


Konflik terbaru antara Tiongkok dan Australia mengenai kartun satir, berkaitan dengan publikasi laporan kejahatan perang pasukan Australia selama bertugas di Afghanistan pada 2009-2013, menyuguhkan potret kedua pihak yang berseteru ini pada komitmen penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dalam konteks demokrasi dan HAM (Hak Asasi Manusia).

Komitmen Kemanusiaan dalam Konteks Demokrasi dan HAM
Gambar kanguru mengenakan dasi kupu merah memegang timbangan berisi iblis dan malaikat di samping kanan dan terlihat pisau dengan ceceran darah. (Sumber: internet).

Kebebasan Berekspresi

Konflik bertolak dari kartun satir dari Tiongkok yang dicuitkan melalui twitter seorang diplomat Tiongkok, Zhao Lijian, sebagai kecaman atas kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan Australia terhadap 39 warga sipil dan para tahanan Afghanistan dan menyerukan pertanggungjawaban atas aksi brutal itu. Alasannya toh berpijak pada komitmen penegakkan martabat kemanusiaan secara universal, terutama kebebasan berekspresi dalam demokrasi dan penghargaan atas HAM. Bukankah komitmen nilai seperti itu justru yang selama ini sangat dihormati dan diagungkan oleh negara-negara Barat termasuk Australia?

Cukup mengejutkan bahwa Australia dan sekutunya kemudian menanggapinya dengan keras. Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, turun-tangan langsung mengecam cuitan kartun satir, menilainya sebagai sesuatu yang palsu dan jahat, dan menuntut permohonan maaf kepada Tiongkok. Perancis membelaan sekutu mereka dan mengeluarkan kecaman. Juga muncul pandangan pro dan kontra yang cukup luas di media massa (lihat antara lain di daftar referensi) dalam menanggapi peristiwa tersebut.

Komitmen Kemanusiaan dalam Konteks Demokrasi dan HAM
Dalam kartun ini, Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, berada di sudut bendera sambil menutupi mayat-mayat dengan bendera nasional Australia, sambil mengarahkan kalangan wartawan dari berbagai negara untuk menggunakan tombak dan meriam ke arah seorang anak berpakaian merah dengan punggung menghadap kamera, dan kanvas di depan anak itu yang penuh dengan warna darah. Kartun ini menyindir Morrison sekaligus menyembunyikan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Australia di Afghanistan, sekaligus menghasut opini publik internasional untuk membidik sasarannya ke Tiongkok. Ada kata di bagian bawah komik: maaf!! (Sumber: istimewa).

Kecaman dan tuntutan dari Australia dan sekutunya pun menyulut reaksi balik tidak hanya dari Tiongkok tetapi juga suara-suara dari pihak Afghanistan sendiri. Reaksi balik muncul dari salah seorang pencipta kartun satir Wuheqilin. “Morrison mestinya tidak melampiaskan amarahnya pada Zhao (Lijian), atau saya, tetapi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh para tentara Australia di Afghanistan.” Kedutaan Besar Tiongkok di Perancis pun mengecam Perancis karena negara yang mendaku mewarisi semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan ini ikut-ikutan bergabung dengan Australia. “Perancis bukannya mengutuk kekejaman perang yang mengoyak dan membinasakan warga sipil, tetapi malah ikut-ikutan menuduh pihak-pihak yang mengecam kekejaman itu. … Mengapa negara yang dengan tegas membela ‘hak atas karikatur’ justru tidak dapat menerima hak yang sama untuk seniman muda Tiongkok? Ke mana gerangan kebebasan berekspresi yang didukung Prancis?”

Harian Afghanistan Times dalam opininya menyatakan bahwa perang kata-kata atas kartun itu mengandung makna tragedi dalam arti sebenarnya, atau tepatnya pengabaian atas pembunuhan warga sipil Afghanistan. “Badai amarah memang meningkat sesudah cuitan kartun satir Tiongkok itu, akan tetapi lebih baik pejabat Australia memohon maaf kepada Afghanistan atas pembunuhan di luar hukum terhadap warga Afghanistan tidak bersalah dalam perang yang tidak manusiawi itu. … Tentara Australia-lah yang justru merendahkan citra negara mereka dengan membunuh warga tak berdosa di Afghanistan. … Yang terbaik yang bisa dilakukan oleh Canberra adalah melakukan penyelidikan atas kejahatan perang dengan cara yang paling transparan.”

Nah, bukankah reaksi keras Australia dan sekutunya dan reaksi balik yang tidak kalah keras, terutama suara-suara dari Afghanistan, justru mengungkap sikap dan pola pikir khas standar ganda Barat, terutama Australia dan sekutunya, dalam kebebasan berekspresi?

Kejahatan Perang: Pelanggaran HAM Berat

Pihak Departemen Pertahanan Australia secara terbuka telah mengakui dalam sebuah laporan bahwa beberapa anggota pasukan khusus Australia (SAS) telah membunuh 39 warga sipil maupun tahanan Afghanistan, termasuk anak-anak (dua anak laki-laki berusia 14 tahun antara lain dimasukkan ke dalam kantong tas dan dibuang ke sungai setelah leher mereka digorok) selama 2009-2013, setidaknya dalam 23 peristiwa pembunuhan. Australia menganggap peristiwa tersebut cukup diselesaikan melalui “peradilan biasa” menurut aturan hukum domestik Australia.

Tetapi apakah kejahatan perang seperti itu cukup diselesaikan dengan “model persidangan domestik” seperti itu? Bukankah kasus itu terkategorikan sebagai pelanggaran HAM berat? Bukankah hal itu sudah sepantasnya diselesaikan dalam lingkup yang lebih tepat, atau tepatnya Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)? Apa alasannya? Mari sejenak kita dengarkan suara “pihak ketiga” tentang fakta horor yang sesungguhnya di balik perang dalam arti “biasa-biasa saja” berikut ini.

Sahar Ghumkhor, sebagai perempuan Afghanistan diaspora, tinggal di Australia dan meneliti pada bidang silang ras, gender, dan psikoanalisis, menulis di Aljazeera, tentang sesuatu yang mewakili gambaran besar tentang perang Australia di Afghanistan dan karena itu sangat pantas untuk dibaca tanpa mata berkedip:

Warga Australia terus-menerus merasa yakin bahwa mereka telah berperang dalam sebuah perang yang baik di Afghanistan, meski banyak bukti menunjukkan hal sebaliknya. …

Laporan tentang kejahatan perang pasukan khusus Australia menggambarkan kebiasaan biadab “berdarah-darah”, tatkala para prajurit muda pasukan khusus diperintahkan oleh komandan senior mereka untuk melakukan “pembunuhan pertama” dan “kebiasaan untuk merahasiakan”, yang menandai para saksi tetap bungkam dan para pembunuh tetap saja menutupi kejahatan mereka dengan menyembunyikan senjata-senjata dan radio-radio di dalam tubuh-tubuh orang mati.

Meski rincian kejahatan sudah diungkap luas, masih ada rasa enggan ganjil di Australia untuk menjelaskan kekerasan dan menelusuri asal-usulnya yang rasis itu. Liputan media lokal tentang terbongkarnya peristiwa itu bernada defensif.

Pakar militer, akademis, dan kesehatan mental yang tampil di layar TV Australia menyangkal tuduhan tersebut dengan menyatakan tentang integritas militer dan kekhawatiran atas pengaruhnya pada citra dan moral tentara. Pejabat dan komentator Australia mencoba menampilkan kejahatan perang seperti itu sebagai tindakan atas beberapa “apel jelek” seperti dilakukan Amerika dengan penyiksaan dan pembunuhan terbuka di penjara Abu Ghraib di Irak.

Bahkan ketika horor kejahatan perang terungkap jelas dan skala kejahatan perang serta praktik keji ini tidak dapat disangkal, kenaifan orang kulit putih masih sangat sulit ditebus. …

Nada tuli dan narsisme mereka sungguh kejam. …

Tetapi yang paling mengejutkan saya sebagai seorang Afghanistan yang tinggal di Australia tatkala menyaksikan kegagalan ini terungkap dengan jelas adalah bagaimana liputan atas penyelidikan di TV Australia berakhir dengan promosi penyaluran bantuan kesehatan mental untuk para anggota militer dan keluarga mereka. Sikap seperti itu yang diperlihatkan mereka selama satu tahun aksi protes terhadap para lelaki berseragam yang telah meneror penduduk sipil dan menikmati impunitas yang terjadi di seluruh dunia.

Sikap seperti itu adalah bagian dari kabut memukau atas apa yang disebut “perang melawan teror” mengubah warga sipil menjadi “kehancuran menyeluruh” atau tuduhan sebagai teroris, kawanan monster menjadi sosok pahlawan, pejuang kemerdekaan menjadi teroris …

Ketika bukti atas kejahatan perang yang menggemparkan ini meningkat, orang Barat, termasuk Australia, tetap saja berpegang pada fantasi rasis bahwa mereka berperang “perang yang baik” di Afghanistan …

Dalam “jantung kekelaman”, potret seperti ini tidak menyuguhkan makna apa-apa, hal itu hanya jubah-jubah untuk kawanan monster dan negara yang telah melahirkannya. Bagi banyak orang Afghanistan, itulah penyingkapan sebenarnya atas penyelidikan yang dilakukan oleh Australia.

Komitmen Kemanusiaan dalam Konteks Demokrasi dan HAM
Repro cuitan twitter seorang diplomat Tiongkok, Zhao Lijian. Pesannya berbunyi: “Terkejut dengan pembunuhan warga sipil dan tahanan Afghanistan oleh tentara Australia. Kami sangat mengutuk tindakan seperti itu, dan menyerukan agar mereka bertanggung jawab.”
Cuitan ini disertai potongan gambar dari Gambar 2: sebuah kartun politik yang menyindir kekejaman tentara Australia, karya “Wuhe Qilin”. Dalam gambar kartun ini terlihat bendera Australia menindis bendera Afghanistan, maknanya “menelan”. Di tengahnya ada seorang remaja sedang menggendong seekor domba dan seorang tentara Australia sedang memegang pisau pendek di leher seorang remaja. Karakter dari komik ini adalah: Jangan takut, kami akan membawa damai untukmu. (Sumber: internet).

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Afghanistan menyatakan dalam situs website mereka bahwa mereka telah bekerja sama dengan pemerintah Australia untuk menyelidiki kesalahan tentara Australia di Afghanistan untuk memastikan para pelakunya diidentifikasi dan dibawa ke pengadilan.

Menurut mantan duta besar Afghanistan untuk Tiongkok, Sultan Ahmad Baheen, tindakan tentara Australia yang membunuh warga sipil Afghanistan harus dikutuk. Kecaman Tiongkok atas perilaku brutal tentara Australia di Afghanistan juga dipuji oleh Harian Afghanistan Times sebagai ‘teladan bagus’.

Tiongkok adalah negara kuat yang pasti punya pengaruh di kawasan tersebut. Tindakan seperti itu akan memberikan jaminan bahwa tidak ada negara lain akan mengikuti kejahatan seperti yang telah dilakukan oleh tentara Australia. … Warga Afghanistan menyambut baik langkah Tiongkok tersebut tidak hanya dalam urusan mengutuk kasus tersebut tetapi juga bersikap keras terhadap pembunuhan di luar hukum di Afghanistan.

Berdemokrasi Tanpa Standar Ganda

Dari uraian tentang fakta di atas, dapat dipetik pesan menarik berikut. Pertama, perlunya menegakkan demokrasi tanpa bias standar ganda, entah karena alasan kedaulatan nasional atau alasan-alasan lain yang sifatnya kabur. Belajar dari spirit demokrasi Barat sejak dari permulaan embrionya pada tradisi politik Yunani dan Romawi klasik sampai dewasa ini, salah satu dari sekian unsur yang dijunjung tinggi adalah nilai kebebasan dalam mengungkapkan pendapat. Medianya bisa berbagai ragam, melalui ungkapan lisan seperti tuturan dan pernyataan maupun perdebatan dan polemiknya, atau melalui ungkapan non-lisan seperti tulisan dan seni rupa dan seni pentas, termasuk dalam bentuk karikatur yang mengusung pesan menyindir secara halus maupun secara sarkas. Dalam konteks ini, Australia sebagai salah satu pewaris tradisi Barat yang luhur seperti itu sebenarnya tidak perlu merasa tersengat oleh rangkaian kartun satir Tiongkok itu sejauh kebebasan berekspresi tidak dipahami dalam pola dan standar ganda.

Kedua, penghargaan atas HAM tanpa bias standar ganda. Bentuk-bentuk crimes againt humanity (kejahatan melawan kemanusiaan) dalam skala berat tidak bisa diterima sebagain suatu pengecualian yang berlaku istimewa untuk satu atau dua pihak atas alasan apa pun. Dengan semangat seperti itu, seruan Tiongkok untuk mengupayakan pertanggungjawaban atas kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan khusus Australia tatkala bertugas di Afghanistan patut dipahami sebagai bentuk penghargaan dan kepedulian Tiongkok atas HAM dalam konteks universal. Australia tidak perlu tersengat atas seruan tersebut, tetapi patut berterima kasih kepada Tiongkok atas kepedulian mereka terhadap nilai universal yang selama ini justru sangat dijunjung tinggi dan diagungkan oleh Barat.

Sejauh Australia mampu memetik pesan apresiatif Tiongkok di balik kartun satir, tanpa bias standar ganda, tentang nilai kemanusiaan dalam konteks kebebasan berekspresi dan penghargaan HAM universal, diyakini bahwa konflik baru-baru ini pun segera teratasi. Selanjutnya, Tiongkok dan Australia dapat menjalin kembali kemitraan secara lebih kokoh dan menjadi kekuatan strategis untuk mewujudkan masa depan bersama.*


Referensi Selektif
https://www.kompas.com/global/read/2020/03/05/224948470/as-taliban-dan-afghanistan-akan-diselidiki-terkait-kejahatan-perang
https://www.kompas.com/global/read/2020/11/12/171925270/australia-selidiki-dugaan-kejahatan-perang-tentaranya-di-afghanistan
https://www.kompas.com/global/read/2020/11/19/134808470/terkuak-bukti-bukti-tentara-australia-bunuh-39-warga-afghanistan-secara
https://www.kompas.com/global/read/2020/11/20/204045670/saksi-kejahatan-perang-australia-di-afghanistan-semua-benar
https://www.kompas.com/global/read/2020/11/27/150001570/muncul-laporan-kejahatan-perang-di-afghanistan-australia-bekukan-13
https://dunia.rmol.id/read/2020/12/02/463873/prancis-bela-australia-kecam-keras-foto-satir-china-katanya-bela-hak-atas-karikatur-tapi-kok-kecam-karya-seniman-muda
https://www.globaltimes.cn/content/1208543.shtml
https://www.globaltimes.cn/content/1208489.shtml
https://www.globaltimes.cn/content/1208549.shtml
https://www.sohu.com/a/435659355_120244154
https://www.sohu.com/a/435659355_120244154
https://www.aljazeera.com/opinions/2020/12/3/australian-war-crimes-and-racist-fantasies-in-afghanistan