Ketimpangan Kekuatan Politik di Parlemen, IPC: Lemah Peran Check and Balances
Berita Baru, Jakarta – Indonesian Parliamentary Center (IPC) menggelar diskusi publik bertema “Dekonsolidasi Demokrasi: Asimetri Kekuasaan Politik di Parlemen”. Diskusi ini mengungkap hasil pemantauan IPC sepanjang tahun 2024, yang menunjukkan ketimpangan kekuatan politik di parlemen serta ancaman melemahnya prinsip demokrasi di Indonesia.
Data IPC mencatat, hasil Pemilu 2024 menunjukkan dominasi besar koalisi pemerintah yang menguasai 68,9 persen kursi parlemen. Di sisi lain, koalisi non-pemerintah yang terdiri dari PDIP dan NasDem hanya memiliki 31,1 persen kursi.
“Ketimpangan ini menunjukkan melemahnya peran check and balances yang seharusnya menjadi pengontrol kekuasaan pemerintah di DPR,” ujar IPC dalam siaran persnya yang diterima Beritabaru.co, Selasa (24/12/2024).
Ketimpangan ini, menurut IPC, dipengaruhi oleh koalisi besar pemerintah yang dikenal sebagai KIM Plus. Dominasi ini tidak hanya melemahkan fungsi penyeimbang, tetapi juga memberikan ruang bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan. “Koalisi besar ini memudahkan pemerintah meloloskan kebijakan tanpa pengawasan yang memadai. Demokrasi tidak hanya membutuhkan legitimasi elektoral, tetapi juga kontrol yang kuat dari parlemen,” tambahnya.
Masalah Penggantian Anggota DPR
Selain ketimpangan kekuatan politik, IPC juga mencatat 51 kasus pergantian anggota DPR sebelum pelantikan pada 1 Oktober 2024. Sebagian besar kasus ini terjadi karena anggota DPR yang mengundurkan diri mencalonkan diri dalam Pilkada Serentak 2024, termasuk 20 orang calon gubernur, 7 calon bupati, 2 calon wali kota, dan 8 orang yang diangkat menjadi menteri. Selain itu, terdapat 6 kasus pemberhentian anggota oleh partai tanpa alasan yang jelas.
“Fenomena ini mencerminkan kuatnya kendali partai politik terhadap anggotanya. Baik itu dalam pemberhentian anggota maupun dalam memberikan ‘restu’ untuk menempati posisi strategis. Kendali ini jelas memengaruhi representasi politik di parlemen,” ungkap IPC.
Kinerja DPR: Dominasi Pengawasan yang Lemah
Hasil pemantauan IPC juga menunjukkan bahwa pada masa sidang I tahun 2024-2025, DPR telah mengadakan 166 rapat, dengan mayoritas berupa rapat pengawasan: 62 kali rapat kerja, 57 kali rapat dengar pendapat, 20 kali rapat internal, dan 16 kali rapat dengar pendapat umum. Namun, efektivitas pengawasan ini dinilai lemah, dengan 67 persen rekomendasi DPR kepada mitra kerja masuk kategori tidak tegas.
“Ketika fungsi pengawasan DPR lemah, maka keseimbangan kekuasaan semakin sulit dicapai. Alih-alih menjadi penyeimbang pemerintah, DPR justru lebih sering menjadi alat untuk melegitimasi kebijakan pemerintah,” kata IPC.
Dampak pada Demokrasi
Ketimpangan kekuatan politik ini juga berdampak pada disfungsi DPR dalam beberapa isu strategis, seperti kenaikan PPN menjadi 12 persen, penggusuran warga di Rempang, dan wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi dekonsolidasi demokrasi.
“Jika situasi ini terus berlanjut, kita berisiko berada dalam fase competitive authoritarianism, di mana institusi demokrasi seperti DPR hanya menjadi simbol, tanpa fungsi pengawasan yang nyata,” jelas IPC, mengutip teori Steven Levitsky dan Lucan Way.
Rekomendasi IPC
Berdasarkan temuan tersebut, IPC merekomendasikan sejumlah langkah untuk menyeimbangkan kekuatan politik di parlemen. Di antaranya adalah membuka kanal partisipasi publik yang lebih luas, memastikan kebebasan berpendapat, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas DPR dalam menyerap aspirasi masyarakat.
“Partisipasi publik harus diperkuat agar DPR dapat berfungsi sebagai representasi rakyat yang sejati, bukan hanya sebagai perpanjangan tangan koalisi pemerintah,” tutup IPC.
Dengan temuan dan rekomendasi ini, IPC berharap demokrasi Indonesia dapat terus diperkuat melalui perbaikan fungsi kelembagaan parlemen dan partisipasi masyarakat yang lebih inklusif.