Delusi Pencapaian Transisi Energi dalam Pidato Kenegaraan Jokowi
Berita Baru, Jakarta – Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2024 mengklaim keberhasilan dalam pembangunan transisi energi yang adil dan merata. Jokowi menyatakan bahwa smelter dan industri pengolahan mineral seperti nikel, bauksit, dan tembaga telah menciptakan lebih dari 200.000 lapangan kerja dan menambah pemasukan negara hingga Rp158 triliun. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan kontradiksi yang tajam.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien menegaskan adanya pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat proyek-proyek transisi energi yang digadang-gadang pemerintah.
“Proyek-proyek ini lebih banyak memberikan keuntungan bagi investor besar, sementara masyarakat lokal menjadi korban dari perampasan lahan, pencemaran lingkungan, dan hilangnya mata pencaharian,” tegas Andi dalam keterangan pers Satya Bumi, Jumat (16/8/2024).
Keuntungan yang dihasilkan dari industri nikel sebesar Rp158 triliun selama delapan tahun terakhir, menurut Andi, tidak sebanding dengan kerugian yang harus ditanggung masyarakat di kawasan pertambangan. Laporan Celios (2024) mengungkapkan bahwa operasional industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara berpotensi menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan hingga Rp3,64 triliun dalam 15 tahun ke depan, serta kerugian nilai tambah ekonomi lebih dari Rp6 triliun.
“Buruknya kondisi udara di sekitar industri nikel juga diprediksi akan menyebabkan 55.600 kematian dan kerugian ekonomi sebesar Rp592 triliun pada tahun 2060,” tegas Andi.
Andi menegaskan kerusakan lingkungan juga tidak terhindarkan, terutama akibat deforestasi oleh perusahaan tambang. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2023 menunjukkan bahwa 329 tambang nikel telah menyebabkan deforestasi seluas 76.031 hektar hutan. Di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, masyarakat adat Bajo menjadi korban dari transisi energi yang lebih destruktif daripada berkeadilan. Laut yang menjadi sumber kehidupan mereka kini tercemar limbah nikel, menghilangkan mata pencaharian dan tradisi mereka.
Menurut Andi sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan bersama kini dieksploitasi oleh segelintir pihak dengan kekuatan ekonomi dan akses politik. “Masyarakat adat yang selama ini menjaga alam dipaksa tersingkir dari tanah leluhur mereka tanpa konsultasi yang layak dan tanpa kompensasi yang memadai,” ujar Andi.
Pidato Jokowi juga menyinggung potensi energi hijau Indonesia yang mencapai 3.600 gigawatt, berasal dari sumber daya alam seperti air, angin, panas bumi, matahari, gelombang laut, dan bioenergi. Namun, faktanya, beberapa proyek energi hijau ini justru merusak ekosistem satwa endemik, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Batang Toru, Sumatera Utara, yang mengancam habitat orangutan Tapanuli.
Ancaman deforestasi semakin nyata dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (RUU KSDAHE), yang memperluas pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan pelestarian alam. Kebijakan ambisius pemerintah dalam meningkatkan bauran biodiesel hingga 50% (B50) juga memicu ekspansi lahan perkebunan sawit baru, yang berpotensi menyebabkan deforestasi sebesar 1,5 juta hektar pada tahun 2039.
“Transisi energi adalah keharusan untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050 sesuai dengan Paris Agreement. Namun, sepuluh tahun rezim Jokowi justru memperlihatkan kehancuran lingkungan dengan dalih transisi energi. Pemerintahan berikutnya harus menghentikan praktik merusak ini dan segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan transisi energi yang benar-benar berkeadilan,” pungkas Andi.