LBH Papua Desak Kasus Kerusuhan di Wamena Segera Diproses Hukum
Berita Baru, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mendesak Kapolda Papua segera memproses secara pidana pelaku kerusuhan Wamena yang menyebabkan 10 korban jiwa.
Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mengatakan alasan polisi bahwa para korban tewas itu merupakan pelaku kerusuhan yang menyerang aparat tidak bisa diterima.
“Pemberian hukum kepada pelaku tindak pidana seharusnya tetap melalui mekanisme yang berlaku, yaitu pengadilan,” demikian dikutip dari keterangan resminya yang dimuat Tempo pada Jumat (3/3/2023).
Gobay mengatakan penembakan oleh aparat kepolisian itu melanggar Pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melindungi semua orang untuk mendapatkan peradilan yang bebas dan tidak memuhi.
Mengutip pasal tersebut, Gobay menjelaskan, “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Dia menyebut bahwa tindakan aparat kepolisian tersebut masuk ke ranah penyalahgunaan senjata api dan tindak pidana pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM berat. Dia pun menyatakan bahwa masalah ini tak bisa diselesaikan melalui mekanisme kekeluargaan, mediasi, atau Restorative Justice.
“Sebab, kasus penyalahgunaan senjata api dan tindak pidana pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh 10 orang warga sipil yang meninggal merupakan tindakan kesalahan pelaku yang relatif berat,” kata Gobay.
Gobay mengatakan penembakan itu memuat unsur kesalahan (schuld) atau niat jahat (mens rea) dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet), terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk) sebagaimana diatur pada Pasal 3 huruf a, angka 4, huruf a, angka 1 Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana.
Gobay juga menilai penyelesaian kematian korban Kerusuhan Wamena secara adat, dengan membayar denda, tak menghapus kewenangan penuntutan pidana.
Sebab, menurut dia, berdasarkan teori hukum pidana kewenangan menuntut pidana baru hilang jika perkara yang sudah diproses dan diproses kembali (Pasal 76 KUHP), pelakunya meninggal (Pasal 77 KUHP), dan kedaluwarsa atau masa penuntutannya berakhir (Pasal 78 KUHP).
“Dengan demikian tentunya melalui fakta pembayaraan denda dalam kasus kerusuhan di Wamena pada 23 Februari 2023 tidak membenarkan memberlakukan Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana karena tindak kesalahan pelaku relatif tidak berat dan tidak menjadi syarat hapusnya kewenangan menuntut pidana,” tutur Gobay.