Orang-Orang Sasak dalam Wayang
Orang-Orang Sasak Dalam Wayang
(Opini, Lamuh Syamsuar)
Langgar.co – Di masa-masa awal saya duduk di bangku sekolah dasar, saya sedikit heran oleh salah seorang teman kelas saya bernama Martinjun. Saya heran, mengapa namanya sedemikian berbeda dengan nama teman-teman pada umumnya. Belakangan saya menemukan lebih banyak lagi nama-nama unik semacam itu. Sebut saja seperti Sirtupilaili, Repatmaja, Umar Maya, Kelasuara, Taptanus, Sentanus dan nama-nama unik lainnya.
Tidak berhenti sampai di sana, dalam beberapa kesempatan, jika masyarakat ingin mengungkapkan ketampanan atau kecantikan seseorang, maka mereka dengan segera merujuk nama sosok “Jayengrana” jika orang yang dimaksud itu laki-laki dan “Dewi Rengganis” jika ia perempuan.
Awalnya, minimnya narasi-narasi kebudayaan adiluhung seperti khazanah Wayang Menak di lingkungan saya, membuat saya tidak terlalu mempersoalkan nama-nama yang saya anggap di luar kebiasaan itu. Meskipun saya tidak percaya pada sesuatu yang berangkat dari ruang kosong. Barulah belakangan ini saya mulai memikirkan nama-nama itu, setelah saya memberi perhatian terhadap anasir-anasir tentang dunia pewayangan.
Eksistensi Wayang Kulit Menak di Lombok
Tradisi atau kebudayaan yang berkembang di pulau Lombok, pulau yang dihuni oleh mayoritas Suku Sasak ini, merupakan kebudayaan yang terbentuk dari perpaduan budaya Jawa dan Bali.
Sederhananya hal ini dapat dibuktikan dari bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi, yakni Bahasa Sasak. Di dalam Bahasa Sasak, kita bisa mendapati istilah yang identik atau yang berlaku di daerah Bali dan Jawa. Demikian halnya dengan tradisi sastra dan atau seni pertunjukan wayang kulit.
Bedanya, jika kecenderungan Jawa dan Bali memainkan Wayang Purwa yang masih dipengaruhi oleh anasir-anasir dari epos besar Ramayana dan Mahabarata. Maka wayang Sasak lebih cenderung memainkan wayang yang seluruhnya di ambil dari Serat Menak.
Serat Menak merupakan naskah gubahan Para Sunan atau penyebar Islam, di masa-masa awal Islam masuk ke Nusantara. Dimana isi Serat Menak sepenuhnya mengadopsi Hikayat Amir Hamzah, dari Persia.
Pada umumnya Wayang Menak, berkembang di daerah pesisir maupun di pedalaman Nusantara. Seperti di wilayah Sumatra, Sulawesi, di sebagian wilayah Jawa Barat seperti Sunda. Tidak terkecuali di Pulau Lombok.
Konon Wayang Menak diperkenalkan ke daerah Lombok, menggantikan Wayang Purwa semenjak “Rupa Candra Sasi Nabi” yang dalam Canda Sangkala berarti tahun 1111 Hijriah. Adapun jika dikonversi ke penanggalan Masehi mendekati tahun 1669 Masehi. Tahun ditulisnya serat menak oleh Yasadipura.
Menurut Kun Zahrun Istiani, Staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia di UGM. Jika karya sastra pra-Islam lebih cenderung bersifat ekslusif atau hanya bisa dinikmati oleh kalangan istana saja. Maka Wayang Menak lebih cenderung bersifat inklusif dan universal. Karena Wayang Menak, telah disesuaikan pengemasannya dengan tradisi-budaya setempat, tanpa mengurangi spirit kemanusiaan dan pesan ketauhidan yang ditawarinya. Sehingga tak heran jika Wayang Menak bisa diterima dengan mudah dan meluas oleh hampir semua lapisan masyarakat.
Wayang Menak sendiri mengisahkan kisah hidup seorang raja dari Negeri Mekah yang sudah memeluk agama Islam yang nantinya menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan lain sembari mendakwahkan Islam. Raja tersebut bernama Raden Jayengrana yang tidak lain adalah Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad S.A.W, putra ke-12 dari Abdul Muthalib.
Raden Jayengrana sangat dihormati dan disayangi oleh rakyat, serta disegani oleh lawan maupun kawan, karena memiliki sifat welas asih dan kemampuan atau kesaktian luar biasa hingga dalam beberapa kesempatan Jayengrana mendapat berbagai julukan antara lain Amirul Mukminin (yang berarti pemimpin orang-orang mukminin), Wong Agung Menak (yang berarti sosok yang agung), Jayangpulagon (yang berarti kesatria yang selalu memenangkan peperangan), Jayengsatru (yang berarti sosok yang selalu bisa mengalahkan musuh-musuhnya), dan banyak lagi julukan lainnya.
Dikisahkan juga bahwa Jayengrana memiliki banyak istri. Kecenderungan istri-istri yang dinikahi oleh Jayengrana merupakan putri raja dari kerajaan yang ditaklukkannya. Sebut saja semisal Munigarim, istri pertamanya yang merupakan putri kedua dari Prabu Nursiwan dari Kerajaan Medayin. Dan nantinya Wong Agung Menak menikahi Marpinjun yang tidak lain adalah adik Munigarim. Marpinjun sendiri dinikahi Jayangrana setelah Munigarim meninggal.
Kemudian Sirtupilaili merupakan putri dari Pandita Sirtu Alam yang dinikahi oleh Raden Jayengrana. Sedang Kelaswara adalah istri Jayengrana yang merupakan putri dari Prabu Kelan Jali, Raja Kerajaan Kelan. Dan dari perkawinan ini nanti lahir seorang putra bernama Repatmaja. Repatmaja yang nantinya menikahi Dewi Rengganis, seorang putri raja yang terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya. Konon, kesaktian Dewi Rengganis diperolehnya setelah ia diasuh dan dibesarkan oleh jin dari kerajaan gunung, kerajaan Dewi Anjani pada masa kecilnya.
Sedang Umar Maya adalah nama tokoh putra Tembi Jumaril dari Talkandangan. Ibunya bernama Siti Mahya, saudara tertua Abdul Mutalib (ayah Jayengrana). Jadi, Umar Maya adalah Paman Jayangrana. Umar Maya merupakan tokoh protagonis yang selalu menyertai Jayangrana. Intensitas kehadarian Umar Maya menyertai Jayangrana melebihi dua tokoh kembar Taptanus dan Santanus, keponakan Raja Adis dari Negeri Yunani. Umar Maya memiliki kesaktian dan keahlian seperti: bisa terbang, bisa mengobati berbagai macam penyakit, bisa menghilang dan mampu menulis di atas lempeng baja dengan jemarinya.
Saya sungguh kagum dengan masyarakat Suku Sasak yang sangat lekat dan mencintai dunia pewayangan. Bagaimana tidak, mereka mengaktualisasikan kecintaan mereka kepada wayang lewat pemberian nama keturunan atau buah hati mereka dengan nama-nama tokoh pewayangan Menak. Walaupun nama-nama itu sangat terkesan sederhana, kolot atau dianggap tidak islami. Namun, jika ditelisik lebih dalam, justru nama-nama yang seperti itu malah menunjukkan suatu spirit keislaman. Islam yang sudah mendarah daging dalam sejarah masyarakat Suku Sasak.
Lamuh Syamsuar, Lahir di Lombok Tengah, 1987. Menyelesaikan Studi S1 di IKIP Mataram. Puisi-puisinya pernah disiarkan di Suara NTB, Lombok Post, Jurnal Sastra Santarang, Bali Pos, Banjarmasin Post, Harian Rakyat Sultra, Riau Pos dan Basabasi. co. Buku puisi terbarunya, Mata Damar (Yogyakarta, 2019).