WALHI Somasi Mendag Soal Tingginya Harga Minyak Goreng
Berita Baru, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyampaikan keberatan administrasi yang ditujukan kepada Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi terkait tindakan factual kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di Indonesia.
Somasi yang dilayangkan WALHI tersebut dilakukan karena mereka menilai negara gagal mengatasi persoalan langka dan tingginya harga minyak goreng.
“Kelangkaan minyak goreng serta praktik korupsi persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya yang menjerat Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan tiga perusahaan dari grup Wilmar Grup, Musim Mas dan Permata Hijau Grup adalah secuil potret buram industry sawit Indonesia. Lebih dari itu, persoalan lain yang luput dari riuh pembicaraan ini yaitu kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik agrarian, perampasan tanah-tanah masyarakat, kebakaran hutan dan lahan, banjir serta longsor sebagai kausalitas dari massifnya ekspansi sawit di Indonesia,” Kata Uli Siagian Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Jumat (22/4/2022).
Uli menjelaskan, saat ini luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 14,9 juta hektar. 9 juta atau 60% dari luasan tersebut adalah sawit milik perkebunan swasta besar yang dikuasai oleh 25 grup perusahan sawit, sedangkan 2,74 juta Kepala Keluarga petani Indonesia hanya mengelola 5 juta hektar sawit rakyat (BPS;2019). Hampir 80% dari hasil sawit Indonesia di ekspor untuk memenuhi konsumsi global. Selain menjadi minyak goreng, dan produk-produk konsumsi serta kecantikan lainnya, proporsi terbesar CPO digunakan menjadi bahan bakar biodiesel baik luar maupun dalam negeri.
Menurutnya, menjadi negara pengekspor terbesar sawit nyatanya membuat kita harus banyak kehilangan apa yang kita miliki. Perubahan bentang hutan (deforestasi) menjadi perkebunan monokultur sawit dalam skala besar ini menyebabkan fungsi hutan sebagai penata air menjadi hilang.
“Akibatnya banjir dan longsor semakin sering melanda saat intensitas hujan mulai tinggi. Saat musim kemarau, krisis air bersih juga terjadi dimana-mana, dan juga kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi setiap tahunnya. ekspansi izin sawit yang massif juga meningkatkan konflik di kampung-kampung. Perampasan tanah, kriminalisasi, kekerasan, intimidasi terus terjadi di kampung-kampung. Konflik yang telah berlangsung lama, antara rakyat dan korporasi yang belum selesai. WALHI mencatat sepanjang tahun 2021 setidaknya sebanyak 58 kasus kriminalisasi, 34% diantaranya adalah kasus di sector perkebunan dan kehutanan,” jelas Uli.
Meskipun demikian, Uli menegaskan potret gelap industry sawit Indonesia, pengurus negara tetap memberikan fasilitas lebih bagi korporasi sawit. Hasil investigasi Tempo menyebutkan bahwa 80% dana sawit dari ekspor CPO dinikmati oleh grup-grup besar salah satunya adalah WILMAR grup untuk program biodisel. Sedangkan petani kecil sangat sulit mengakses dana ini.
“Melihat persoalan-persolan yang dihasilkan industry sawit hari ini, sudah seharusnya pengurus negara mengambil tindakan untuk mengevaluasi seluruh perizinan sawit di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat, tanahnya harus Kembali kepada rakyat. perusahaan yang terbukti melanggar aturan hukum harus dicabut dan ditagih tanggungjawab pemulihannya,” kata Uli.
Dia juga menambahkan “sekarang, seharusnya tidak boleh ada lagi izin perkebunan sawit baru. Moratorium izin sawit harus diperpanjang untuk memproteksi wilayah-wilayah Kelola rakyat yang ada, serta memproteksi hutan-hutan Indonesia. Sebab jika tidak, kita akan semakin membayar mahal dan kehilangan banyak hal dari massifnya industry sawit ini.”