Ada Manuver Elit Politik-Bisnis di Balik Wacana Tiga Periode Presiden | Opini: Atha Nursasi
Atha Nursasi
Geliat protes dari massa aksi beberapa hari terakhir di berbagai daerah kian masif. lautan massa memenuhi jalan utama menuju gedung-gedung pemerintahan bersamaan dengan wacana penundaan pemilu digulirkan oleh para selebritis istana (Politisi-Pebisnis) dan didukung para fans fanatiknya. Bahkan, terus nyaring didengungkan sekalipun suara itu menyakiti kuping dan mengiris nurani publik. Nampaknya, protes ini berpotensi terus berlanjut seturut nyanyian tiga periode dan perpanjangan masa jabatan untuk Jokowi terus dibunyikan, bahkan makin fulgar adanya. Tentu caranya tidak tunggal, tetapi berbagai cara, apapun bentuknya. Yang sudah terlihat misalnya, sang lord memobilisasi organisasi Perangkat Desa, APDESI untuk mendukung Presiden tiga Periode.
Sebuah aksi yang tidak main-main. Memperlihatkan wacana tersebut mesti terjadi apapun resikonya. Lebih-lebih kelompok pengekor dan simpatisan fanatik yang tergabung dalam aliansi pro jokowi telah nekat mendukungnya, mengharuskan kita tetap waspada. Terlebih para pengusung dan pendukung wacana tersebut semakin getol berseru sambil lalu membangun kekuatan dilingkaran mereka.
Para Elit di Balik Wacana.
Sekalipun presiden kembali mengerem setelah sebelumnya mewajarkan wacana tersebut, namun upaya itu tetap harus dikawal. apalagi kekuatan modal dari para elit di lingkarannya yang kian mengakar tidak bisa dianggap sepele. mereka bisa saja mengabaikan pernyataan sang presiden dan terus bermanuver lebih cepat. Dikutip dari Kumparan News (7/04/22), dalam sidang paripurna yang digelar pada Selasa, 5 April 2022. Presiden menegur jajaran kabinetnya agar “tidak lagi membicarakan wacana penundaan pemilu. Ia meminta seluruh jajaran kabinet fokus menangani masalah warga”, tandasnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, pernyataan penguasa selalu mengandung ketidakpastian. Hari ini menolak, esok bisa saja menerima. Atau tak bersikap di awal tetapi diakhir justru mendukung, adalah sebuah dinamika perpolitikan yang telah mengakar kuat dalam perkembangan demokrasi prosedural. ‘Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan-kepentingan kekuasaan mereka”. Demikian sepenggal kalimat yang menggambarkan situasi perpolitikan kita.
Belakangan, manuver para elit-politik predatoris ini tak lagi dibelakang pintu, tetapi telah dengan terang, dan tanpa malu tentunya. acana sesat perpanjang masa kekuasaan presiden masih jadi headline di berbagai kanal pemberitaan media, nasional bahkan local. Perihal aliansi kekuasaan dibalik wacana tersebut, Indonesia Corruption Watch, beberapa hari lalu mempublikasi catatan para elit dibalik wacana penundaan pemilu, Mereka terdiri dari pimpinan partai sekaligus pebisnis, pimpinan organisasi koalisi rezim hingga dari kalangan partai politik. berjejer dari ketua umum partai Golkar, Ketua Umum Partai Kebangkita Bangsa, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, termasuk Ketua Umum Partai Nasdem yang berpendapat ada kemungkinan tiga periode presiden.
Diluar para petinggi partai, beberapa nama yang kerap mendiskusikan wacana penundaan pemilu dengan sang lord diantaranya: mantan sekjen Partai Golkar sekaligus mantan napi koruptor, Idrus Marham; Gubernur lembaga ketahanan Nasional dan mantan Sekretaris Kabinet Jokowi Periode pertama, Andi Wijayanto; Ketua MPR, Bambang Soesatyo ketua MPR; Yahya Cholil, meski menolak menyeret NU ke urusan politik tetapi mendukung wacana penundaan pemilu; dan direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari. Sosok yang membuat Jok Pro, sebuah organisasi kerelawanan yang dibentuk untuk mendukung masa jabatan tiga periode untuk Jokowi. Keberadaan para elit penguasa dibalik wacana gila ini semakin mengkonfirmasi kepentingan besar dibaliknya: Pertahan kekuasaan dan akumulasi laba.
Keberadaan para elit politik dibalik wacana gila ini cukup wajar dan rasional. terlebih, penguasaan sumberdaya alam oleh para elit oligarki sejauh ini begitu dominan. di sektor perkebunan misalnya, Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan, 25 taipan sawit menguasai 5,1 juta hektar. “1 perusahaan sawit bisa menguasai 1,2 juta hektar. Sementara Jatam menyebut, 44 persen daratan Indonesia sudah dikapling oleh operasi pertambangan. sementara itu, proyek strategis nasional dirancang dan dioperasikan bersama dengan pihak swasta syarat konflik dan perampasan. KPK misalnya, mencatat bahwa penguasaan sumberdaya alam di sektor perkebunan seperti sawit, 10 perusahaan menguasai lebih dari 2,5 juta hektar. Sedangkan, 2,1 juta pekebun sawit memiliki 4,7 juta hektar sisanya. Lebih dari 40 juta hektar hutan dimiliki perusahaan. “Sementara 1,7 juta yang dimiliki masyarakat.” demikian pula sektor pertambangan, menurut data ICW, paling tidak terdapat empat perusahaan besar menguasai sektor tambang batu bara yaitu Bumi Group, Indika Group, Adaro Group, dan Toba Group. Kesemua perusahaan itu memiliki hubungan erat dengan orang-orang di pemerintahan.
kondisi ini Menurut para pengusung teori oligarki, seperti Robison dan Hadiz (3004) misalnya, berpendapat bahwa oligarki, sebagai suatu bentuk pengorganisasi kekuasaan yang ditandai oleh fusi antara kekuatan ekonomi dan politik dalam menjalankan proses akumulasi kekayaan dan otoritas serta upaya pertahanan kolektifnya. kekuatan ekonomi dan politik terbentuk karena corak akumulasi kapital sangat bergantung pada akses dan kontrol terhadap institusi publik serta proteksi dari negara. Selama dua periode kepemimpinan Jokowi, rakyat tanah air cukup kenyang dengan suguhan berita dan kajian tentang kepentingan para oligark. dari penguasaan mereka terhadap sumber daya alam secara dominan, pembajakan institusi KPK melalui revisi payung hukumnya, Cerita para penegak hukum yang terlibat suap dengan para cukong, hingga rangkaian revisi undang-undang guna menyesuaikan kepentingan bisnis para cukong, sebut saja Undang-undang Minerba dan Omnibus Cipta Kerja. Tentu yang paling membahayakan sekali lagi adalah mengusung perubahan amandemen.
Selain itu, revisi terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mesti dipahami sebagai bagian dari skenario elit oligarki. Terutama dalam kaitannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Omnibus Ciptaker sebagai Inkonstitusional bersyarat. Dan banyak lagi kisah-kasih pembajakan institusi publik serta kebijakan negara oleh aliansi predatoris yang dapat kita jangkau secara lebih mudah. Yang semua itu, menggambarkan pembajakan demokrasi secara masif-terstruktur. Tujuannya sekali lagi untuk memperkokoh kekuasaan dan menumpuk kekayaan tanpa batas.
Tak Selalu Bertentangan.
Nyanyian penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tak lebih dari sekedar dinamika pertarungan kepentingan para elit oligarki. sementara problem kerakyatan seperti kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kelangkaan minyak goreng. kedua bahan pokok yang semestinya mudah diakses oleh semua orang secara mudah dan terjangkau, justru langkah dan tak terjangkau. sebuah kondisi yang tidak wajar bagi bangsa yang kaya dengan sumberdaya alamnya bukan?. Tetapi dalam langgam demokrasi liberal yang hampir seluruh institusinya didominasi oleh kekuasaan oligarki, protes rakyat, sekalipun dengan cara yang demokratis dan konstitusional, pun mesti ditimbang resikonya. terutama menyangkut keamanan dan keselamatan mereka. berbagai kisah tentang kriminalisasi, intimidasi serta tindakan kekerasan negara melalui aparatnya cukup menyejarah.
Perampasan agraria, kerusakan lingkungan, korupsi, HAM, serta konflik sosial lainnya begitu subur. sementara negara beserta para pengelolanya tak pernah benar-benar mau menyelesaikannya. bersamaan dengan itu, kelompok pro demokrasi yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat justru dipinggirkan: Kriminalisasi, Intimidasi, peretasan hingga ragam tindakan tak demokratis lainnya adalah cara paling sering. atas nama pembangunan dan keamanan, hak asasi sah saja dilanggar. selain itu, dan paling menyakitkan adalah sejumlah konflik di atas pada saat tertentu (di musim politik: pemilu/pilkada) akan dijadikan komoditas oleh para elit politik-birokrat dan elit ekonomi tentunya.
Pada akhirnya, diskursus tentang wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan hingga amandemen konstitusi seperti dikisahkan di atas, dapat kita tangkap sebagai suatu skenario pertahanan kekuasaan dan pelipatgandaan kekayaan melalui pendayagunaan institusi demokrasi beserta aturannya. pembajakan institusi demokrasi secara terus menerus inilah yang membuat demokrasi dijalankan tak harus selalu bertentangan dengan oligarki. inilah masalahnya. dalam sebuah artikel berjudul “Dominasi Oligarki dalam Demokrasi di Indonesia Membuat Pelemahan KPK tak Terhindar”, Mudhoffir dan Hadiz (2021) berpendapat bahwa, “sebenarnya oligarki dan demokrasi tidak harus bertentangan; bahkan keduanya bisa saling menunjang dalam suatu model demokrasi yang bersifat illiberal”. ketiadaan pertentangan secara inheren diantara keduanya membuat demokrasi, seperti kata Fukuoka, (2013: 52-56), disebut Demokrasi oligarki. sebuah tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil.
Daftar bacaan:
Baca, Mudhoffir dan Hadiz tentang Dominasi Oligarki dalam Demokrasi Indonesai Membuat Pelemahan KPK Tak Terhindarkan, publikasi tahun 2021.
Fukuoka (2013) dalam syamsudin Haris, Membongkar Relasi Oligarki di Kota Batu, 2019
lihat Rahmady, “Gemah Ripah Oligarki Sumber Daya Alam”, https://www.ekuatorial.com/2020/08/gemah-ripah-oligarki-sumber-daya-alam/
Penulis adalah Pegiat Isu Korupsi dan Lingkungan di Malang