800 Meter dari Perempatan Tugu Jogja | Puisi-Puisi Agus Manaji
800 Meter dari Perempatan Tugu Jogja
800 meter dari perempatan tugu Jogja, di sisi utara kota
pusat lain semesta, bersama anak-anak berseragam
putih abu-abu aku membaca peta sejarah dan ilmu, tenggelam
dalam ruang-ruang kelas tua dengan daun-daun jendela raksasa
dan papan tulis hitam putih. Menggeliat, agar tak tersisih.
Di tepi keriuhan, sepanjang lurung-lurung sisa
bangunan Princes Juliana School, sebuah lokomotif tua
terparkir di tepi saluran air penuh sampah
tanpa rute dan jadwal keberangkatan
menjadi prasastri kehilangan.
800 meter dari perempatan tugu jogja, siang bersenyawa
dalam gelombang detik-detik pertaruhan: antara aksara,
kata dan makna. Antara pulang ke rumah kenangan
atau mengeja masa depan dalam jadwal padat dalam kelas,
lab computer atau bengkel las.
Setengah kilometer sebelum gapura batas kota
sebuah titik dalam sumbu segaris laut, kraton dan gunung merapi
di sini rambutku memutih dalam lembar-lembar penuh angka
perhitungan, sementara anak-anak itu datang dan pergi
meninggalkan guratan nama-nama penuh cinta
dalam bingkai daun hati di dinding toilet, meja,
dan kursi. Bangunan kolonial ini lebih tua
dari usiaku. Tapi nafasku sengal. Kutegakkan tubuhku
ke langit kota. Tengadah ke langit semesta, menjejakkan diri;
titik dari titik sepi, di rabu keriuhan ini.
30 Agustus 2021
Mencari Titik Api Sunyi
Aku mencarimu.
Aku mencarimu, Lelaki Tua
bermata puisi, salah satu titik api sunyi
kesadaranku pada luka dan sejarah.
Kususuri sekujur kota yang gelisah.
Di perempatan Ngabean, aku berhenti
belum tentukan arah.
Di bawah traffic light, beberapa musisi
jalanan menyanyikan lagu Banyu Langit
dan melintas seorang lelaki bersepeda mirip sekali
dan bayang wajahmu, puisi, terbersit.
Siapa namamu selain rindu? Apa jejakmu
selain puisi? Di kota ini, kecuali hotel dan papan nama
yang menutupi langit, semua telah menjelma jadi puisi.
Tapi jejakmu entah kemana. Kubongkar buku
buku usang di pasar buku Shoping. Kutanya
tukang-tukang becak Prawirotaman
Semua mengenalmu
tapi tak tahu alamatmu. Aku mencarimu.
Aku merindukanmu. Untukku: ijinkan kupanggil
pohon beringin Alun-alun lor dengan namamu.
Sebab rimbun mengingatkanku pada kata-katamu
yang jaga mengeja sudut-sudut muram kota.
Kunamai setiap jalan dengan puisimu
karena kesepianku telah akut
sedang aku tak juga larut.
Bismillah, kubaca doa
sebelum membaca puisimu
Alhamdulillah, rinduku mengalir
bersama arus kali Code; menyaksikan kota
menyaksikan kehidupan sepanjang lembah
agar gerakku berpindah. Juga syahadah.
30 Agustus 2021
Menciptakan Hutan
Kautangisi luka tanpa cinta, sehabis pohon
pohon rubuh bersalin riuh. Tapi, kau terus berjalan
menyisir tepi, sembari menciptakan hutan
pekarangan rumah: tak ingin kehilangan
nafas kesabaran pada mulut-mulut daun.
Berpaling sejenak dari wajah manusia,
menyelami sel-sel kambium pecah mencatat tabiat
musim dan gairah alam. Diam-diam, perlahan,
melukis jazirah pada peta tanpa murka.
Memakmumi sujud akar dalam gelap tanah.
Kautangisi burung dan jangkrik lapar
dan kehilangan sarang. Lalu kau tumbuhkan
rumah bersanding pohon-pohon untuk mereka.
Daun-daun dan ranting kering menghumus
menyuling udara. Kini, wajahmu sehijau daun.
Hatimu bergetah, namun kesat. Serimbun
hutan alit halaman rumah, tak bertuah,
hanya basah hujan dan gema nama
nama anggrek yang nyaris punah.
Tapi, banyak orang mengira engkau tersesat.
Muntilan, akhir 2020.
Surat
– Nurel Javissyarqi
Nurel, aku tak mengenalmu, tapi lamat kuingat
bayang seorang lelaki dengan rambut berkibar
melantunkan orasi tentang pahit buah maja
dan peta sastra empat kota di panggung Taman
Budaya Yogya. Kaubuka malam puisi
merayakan kesepian, luka dan harapan
di sebuah negeri kusam. Lalu, apakah rahasia
kemudaan juga gairah pada bilah ruas usia
yang meranum dalam kata-kata?
Nurel, aku tak mengenalmu. Gurih soto Lamongan
tak mendekatkan aku pada bait-bait kesadaran
yang kauanggit sepenuh gigil sakit dalam Kitab
Para Malaikat. Aku pun tak sepenuhnya paham
mengapa kaubantah mitos sastra sebagai racauan.
Tapi kurasa juga getar kejujuran dan suara lantang
nyalimu menyeberangi lautan gelombang.
Aku belum mengenalmu, Nurel,
meski telah kuperkenalkan diriku
dalam kolom komentar status fesbukmu yang rindu
akan dinihari dingin di Watucongol Muntilan
Aku: pedagang buku yang kikuk
penuh riwayat puisi-puisi wagu dan remuk.
Membayang sosokmu ketika kubaca,
“Dia tidak mengikuti siapa-siapa, dirinya tegar
lagi murni”. Ya, kau tak membuang waktu
di sesal batu, tapi kau menjelma air
menderas melubangi batu; Kauhimpun
catatan-catatan berserak
mengeram dendam dan terus berderak
menyalakan api kesaksian atas zaman
yang diam-diam membusuk.
Kukirim surat ini bersama al fatihah.
Terima kasih untuk titik singgung hidup
yang haru itu. Terima kasih
telah menyapaku.
Muntilan, 13 Sepetember 2021
cetak miring adalah petikan puisi Nurel Javisyarqi dalam buku Kitab Para Malaikat
Cikungunya
Entah kapan gigitan itu terjadi.
Mungkin satu gigitan saja, merah
lalu virus tumpah dan mengalir
di pembuluh darah.
Tubuh gigil, panas dan dingin, lalu
telapak dan gelang kaki menebal
sendi-sendi nyeri pegal nyeri.
Di bantaran garis khatulistiwa
di bentang bumi hangat tropika
nyamuk beterbangan ke mana saja
mengincar leher, dahi, kaki, dan tangan
menyedot darah, menyedot kehidupan
mengimbuh sunyi pada gaduh
hari-hari kita.
Kita pun menempuh hari
sepanjang resep dokter
menghitung waktu
dengan pil paracetamol dan lexaprofen.
Mengaji ayat Tuhan: Chikungunya
seraya merajuk pilu tanpa ragu
mengalirkan denyut rindu
ke sekujur tubuh linu.
Sepanjang kali kecil membelah desa
kita memburu nyamuk-nyamuk
diintai nyamuk-nyamuk.
Mungkin satu gigitan saja, merah
lalu virus tumpah di pembuluh darah.
Seekor nyamuk; kecil, hitam putih
Mengajak kita mengunduh
denyut takdir perih.
Maret 2021.
Minggu Pagi Bersama Doraemon
Rasanya, hanya doraemon dan nobita saja
yang kanak-kanak abadi: saban ahad pagi,
kita bermimpi menyusur lorong waktu
menakar luka dengan keriangan anak-anak
berlarian sepanjang gang atau bersembunyi
dalam tumpukan pipa besi di taman itu.
Rasanya, cuma doraemon dan nobita saja
yang kanak-kanak abadi. Kita: ubanku
merimbun putih taktersisih. Dan kerut itu
merajut pipimu begitu saja. Meski kita
berderai tawa menyaksikan nasib sial nobita.
Terpana menyaksikan kantong ajaib
menghapus kecewa.
Acapkali, diam-diam kita bayangkan
menemu lorong waktu dalam laci meja rumah kita.
Meski tentu segera saja kita kecewa
begitu menemu deretan angka tagihan listrik,
cicilan hutang dan tagihan asuransi kesehatan |
yang mencekik, sementara omong kosong saja
janji politik. Lalu, kita pun merogoh saku celana
; kosong dan dalam seperti kepedihan
tanpa keajaiban. Kita tak memiliki
kantung ajaib. Tapi Puji Tuhan,
kita memiliki doraemon dan nobita
yang kanak-kanak abadi
saban Minggu pagi.
Maret 2021.
Mencatat Hujan
Kuterima hujan ini: air yang telah bersabar
menyusur genting, parit, sungai, ke lautan.
Mengawan dalam arakan sunyi, bergumul kumpul,
menunggu dan memberat. Lahir jadi noktah
noktah kepasrahan.
Tiada kubayangkan dataran berselimut salju.
Halaman rumahku cuma trotoar jalan berbatu
dimana orang-orang lalu, kukenal
ataupun asing. Persinggahan
dan bukan persinggahan.
Pertemuan dan bukan pertemuan.
Puisiku mencatat hujan di situ
Puisiku tak ingin kehilangan halaman trotoar
Puisiku ingin menyapa orang-orang lalu.
Kubiarkan kata-kata basah di trotoar
Kakiku tanpa ragu melangkah di situ
mengukur kesabaran.
Puisiku basah semesra pelukan
meski kadang seganjil pandangan.
2021.
Tak Bisa Kuringkas Perih Lukamu
Tak bisa kuringkas perih lukamu
dalam sebutir sajak. Luka bertaut luka lain
Sepi meledak dari bibirnya yang dingin
Adakah selain cemas pada cekung matamu
selain riak sejarah di sepanjang rambut ikalmu?
Kabar dukamu mengecup kembung merihku
mengimbuh perih pada siklus pengembaraanku
yang resah tertunda.
Bukankah jalan-jalan kotamu
kini basah hujan, meski sepasang matamu itu
tak pernah sembab basah oleh kenangan?
Nikmatilah kesegaran hujan
bebijian pun menggeliat. Itulah degup harap.
Jangan takut tersesat.
2021.
Agus Manaji, lahir pada 16 Maret 1979. kumpulan puisi tunggalnya Seperti Malam-malam Februari, penerbit Interlude, th 2018. Puisi-puisinya dimuat dalam Basabasi.co, majalah Horison, Jurnal Puisi, Koran Kedaulatan Rakyat, Koran Suara Merdeka, Koran BERNAS, Koran Jurnal Nasional, Koran Seputar Indonesia, Tabloid Manajemen Qolbu, Majalah Annida, Tabloid SPICE, Majalah Sabili, Majalah Karima, Jurnal Pawon, Majalah Muslimah, Jurnal BENI. Era awal 2000 an puisinya dimuat cybersastra.net, bumimanusia.or.id, puisi.net.
Turut urun Esai di majalah BASIS, Langgar.co, buku Merenda Kata Mendulang Makna (balai Bahasa Jawa Tengah, th 2019), Nunggak Semi, Dunia Iman Budhi Santosa (2021), 7 Jejak Guru (2020).
Puisinya termuat dalam buku antologi komunal: Taman di Seberang Ingatan (komunitas Sastra Magelang, 2020), Sang Acarya (komunitas KKK, th 2021) GREGAH, antologi puisi dan geguritan peserta JOGLITFEST tahun 2019 (festival sastra yogyakarta tahun 2019), Cermin Waktu, serial Pendapa #25 (taman Budaya Jawa Tengah, tahun 2019), Pesisiran, serial Dari Negeri Poci jilid 9 (Komunitas Dari Negeri Poci & Komunitas Raja Kecil, tahun 2019), Kota Terbayang, Retrospeksi 50 Tahun Kepenyairan Jogja (Tahun 2017, Taman Budaya Yogyakarta), Lintang Panjer Wengi Di Langit Jogja (tahun 2014), Dialog, Setahun Diskusi Puisi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri (PKKH) UGM (Tahun 2013), Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern (penyunting Korie Layun Rampan, penerbit Galang, 2013), Kilometer Nol (2013), Negeri Awan, serial Dari Negeri Poci jilid 7 (Komunitas Dari Negeri Poci & Komunitas Raja Kecil th 2017), Yogya Halaman Indonesia jilid II (Studio Pertunjukan sastra, th 2018), Lirik Lereng Merapi (FKY Kabupaten Sleman, th 2001), Filantropi ( FKY, 2001), Dian Sastro For Presiden #2 Reloaded (2003), Herbarium (2007), Yogya, 5,9 SR (penerbit Bentang Pustaka dan Komunitas sastra Indonesia, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Komunitas Studi Sastra Banjar Baru).
Sedikit riwayat prestasi: Puisinya Sajak Gelisah Buat Kekasih meraih juara pertama Lomba Cipta Puisi dalam rangka Milad ke XX Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tahun 2001. Puisinya Prolog Badai Kering meraih juara Harapan dalam sayembara Penulisan Puisi Remaja tahun 1997, penyelenggara Majalah Sastra Horison, Puisinya Diwan Batu-Batu terpilih sebagai salah satu finalis dalam Lomba Cipta Puisi Indosat tahun 2010, Esainya “Menyelusuri Aspek-aspek Sufistik Puisi Abdul Hadi WM dalam Madura, Luang Prabhang” meraih juara kedua dalam Lomba Mengulas Karya Sastra yang diadakan oleh pusat perbukuan kemdikbud dan Majalah Horison, tahun 2010.
Profilnya termuat dalam buku Direktori Seniman dan Sastrawan Yogyakarta (terbitan Dinas Kebudayaan Yogyakarta, th 2020)