Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rajawana Sambawana | Puisi-Puisi Bagus Likurnianto
Ilustrasi: Andry Debleng

Rajawana Sambawana | Puisi-Puisi Bagus Likurnianto



Rajawana Sambawana
: sebuah catatan musim lalu

sebentang upahmu dalam sehari, sepadan laparmu menjerat hari
itulah sebabnya pekerjaan musiman ini masih saja kau lakoni

kepak sayap kupu-kupu, lirih
terbang dari dadamu mengembara sepi dini hari
melintasi tunduknya padi-padi kuning
dengan hening orang-orang menyusun pagi di dada masing-masing

di dalam nyalang sepasang mata tua, angin tertawa renyah
menerbangkan bau tubuhmu di lekuk bukit dan rumpun sawah membentang
mengubah arah pandang orang-orang di simpang liku pematang

aku menunggu kehadiranmu:
tiba di musim panen sebelum embun jatuh dan memecah diri di atas keningku
kemarilah, Sambawana. tentu juragan menerima rombongan yang kau bawa
ke sawah berserapah lumpur basah untuk menuai rezeki yang sah

akulah Rajawana, lelaki baya yang membangun pagi di ladang sawah
lekas menebas batangan gabah direbah rendah-rendah, tak kunjung berkesudah.
di sebalik kerimbunan pohon bangsa kucica mengicaukan suara lirih mereka
mengikuti semilir angin menghembus dan menyusup di antara
bunga-bunga yang tertata lenggang menghias saat pagi telanjang.
sehampar telatah riba meredupkan kidung masa lalu dari segala penjuru
segenggam ani ani dari buai tangan buruh melepas banyak peluh yang bersimpuh
mestinya kau tak perlu menanyakan tentang karung yang begitu menerima nasibnya
demikianlah selembar deklit menjadi sarap menadahi seluruh harap
menampi seikat padi yang tidak ada habisnya digepyok setiap
habis zuhur diiringi ayakan irig memisahkan pelukan jerami dengan bulir kehidupan

Sambawana, risalah memang tidak selalu ditulis untuk membenarkan rasa bersalah
kita merajut gelisah sebagai pertanda, lalu mengingat sabda moyang
tentang wewenang dan juga kasih sayang
katamu, “hidup syukur mati tak kufur” (kita menerka logika:
rezeki memang bukanlah kesunyian Gusti Pangeran,
lingsir matahari tak kunjung berbangga diri meski tengah menjulang tinggi,
demikianlah kita sendiri juga bukan sepadan yang paling wenang, terhadap diri)

juragan pemilik sawah datang
dengan dada lapang di kedua tangannya menjinjing rantang
katanya, “mari, semuanya makan sebelum hari beranjak petang”
senang. kami senang menerima suguhan nasi yang ditanak dengan penuh makna
berlaukkan pepes ikan tepasan tangkapan laut dan kluban dilumuri sambal matah
dan perasan nipis olahan gerus keikhlasan

lihat! awan putih mulai menampik kecibir dari balik tabir
gabah pula menata diri duduk berserakan di bibir balai-balai, lunglai
di kala aku nyonggah pari ke dalam baskom yang menari-nari, piring plastik pula turut
serta menakar hidup tanpa ikut campur menabur takabur

di setiap nyalang mata memandang sunyi
di situlah kami mengaca diri meratapi suratan yang telah digarisi
aku sadar yang kulakoni saat ini cumalah pengganti tepian matahari
namun, tidak kusadari bahwa makin hari makin tidak ada lagi ladang rezeki
lupa. ah aku terlupa! bukannya cuma geming yang tertinggal di sawah?
gabah-gabah berserapah di sebalik tingkap rumah megah.
Sambawana: pembawon dengan ani ani pasah bambu melekat kuat, mengemas
seluruh perkakas, di dalam jantungnya terdengar deru ikhlas
kepada uap mesin perpas sebagai tanda bahwa hidupnya akan kembali lepas

tirai senja makin menepi di sudut hari
seketika itu rahasia jim dan noktahnya menadhomkan puisi
sepenghujung bahari. demikianlah kita sendiri senantiasa membersihkan diri
pun sudah kususuri setapak yang menjalani kepulangan melewati sungai
menyaksikan tubuh seorang yang muncul dan tenggelam mengangkat pasir
di dasar kali atau sesekali memandangi ritual benang sari menadahi mata pencahari

(ihihihihihihihihihihihi aaahahahahahahahahahaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!)

akulah Rajawana, lelaki gila berbaju jerami yang mengendap-endap di kala pergi
semoga kau lekas mengerti mengapa sore ini aku berlari-lari mengejar hari
sebab aku tidak ingin kehilangan cahaya pada pulau-pulau negeri, suku-suku bahari
yang berbeda-beda mata pencahari. namun, tetaplah satu matahari

Tegal, Agustus 2018

Perburuan Padang Arwa

mengintaimu di bawah curah sedayu dan airmata yang deras, masa lalu mengantarkanku pada batu-batu yang kau ubah menjadi cadas. aku yang ingin menghancurkannya mesti jujur kepada hati lembut ibu. kesendirian dan bisikan yang dicipta bersama-sama runtuh dari ucapan yang amat keramat.

berdiri di bebatuan dengan mata runcing ke arah semak. petaka dan cinta sama-sama mengintip di sana. maka kami rajam rumputan sebelum bayangan yang janggal terbirit mendahului petang, dan mantra yang terlupa dari tato di bahu mendesis persis lidah si melata yang bisikannya membiusmu.

memandang wajah hutan yang telah koyak oleh cakaran maut dan peluru pemburu. kata-kata hanyalah umpan dan rapalan yang ditiup dari mulut menggerayangi pemangsa. lantas tiga helai cahaya diikat bagi berat bencana, hari ini kupasrahkan diriku kepada rimbun pohonan sebagai tanda bahaya!

Banjarnegara, 2021

Rahasia “Saki, Suka, Swa”

saki yang setia bermandikan air pura dan api yang membara menyerupai burung raksasa. tak ada yang lebih suci dari langit atau perawan yang mengabarkan kebebasan bagi setiap yang ditawan. lantas kucatat sabda itu: “sebagaimana cuaca mengantarkanmu kepada pagi yang gigil, bau tubuhnya tak pernah lagi menghidu setiap kali kau panggil.”

suka yang terpuji bersandar di lelangitan, wajahnya cermin lautan memuja hutan-hutan. tanah telah terbakar iblis sembunyi di tiap kobar. aku tak yakin bahkan lelaki sakti bernyali serigala tak mampu mengendus riwayatnya. ia mungkin megetahui aroma teror yang hangus di tubuhnya.

swa memukul dadanya yang renta, sambil berseru di padang iswara menunggumu pulang dengan membawa roti yang asalnya dari batu mulia. “kau memang pandai mengubah apapun, kecuali masa lalu!” ia tak mungkin datang mengantarkan salam yang semestinya disampaikan bagimu berabad-abad yang lalu.

Banjarnegara, 2021


Bagus Likurnianto, lahir di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Sedikit puisinya pernah disiarkan Media Indonesia, Koran Tempo, basabasi.co, dan lain-lain. Sempat mendapat penghargaan sastra “Anargya Serayu Penawara” sebagai pemenang utama kategori puisi dari Pemerintah dan Dewan Kesenian Banyumas tahun 2020. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.