YLBHI: Putusan MK Atas UU Cipta Kerja 2020 Bukti Tunduk Pada Eksekutif
Berita Baru, Nasional – Mahkamah Konstitusi (MK) telah merilis putusan terkait UU Cipta Kerja pada Kamis (25/11) lalu. Amar putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu setidaknya mengungkapkan 5 poin inti sebagai berikut.
Pertama, pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”
Kedua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keempat, apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU No. 11 Tahun 2020, maka UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Kelima, menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Secara garis besar, putusan MK tersebut telah membuktikan bahwa UU Cipta Kerja memang inkonstitusional, sebagaimana selama ini telah disampaikan oleh pakar maupun koalisi masyarakat sipil.
Dewan Pembina Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan mengungkapkan, UU Cipta Kerja praktis sulit dijalankan karena dalam putusan itu MK melarang mengambil kebijakan strategis dan membentuk aturan pelaksanaan/turunan UU Cipta Kerja selama dua tahun.
Ia menambahkan, perbaikan terhadap UU Cipta Kerja tidak hanya seputar revisi formal, sebagaimana disebutkan dalam putusan MK. “Materi UU Cipta Kerja harus diperbaiki sejak dari naskah akademik. Dan yang juga mendasar adalah partisipasi publik, yang disebut MK sebagai ‘partisipasi bermakna’,” imbuhnya
Adapun yang disebut ‘partisipasi bermakna’ dalam tahapan pembentukan UU adalah dengan memenuhi tiga hak rakyat, yakni untuk didengar pendapatnya, untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan diberikan penjelasan.
Inkonsistensi MK terhadap UU Cipta Kerja
Di sisi lain, putusan MK juga dinilai membingungkan karena adanya inkonsistensi, terutama dalam poin ketiga dan keempat. Dosen Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar menyampaikan tanggapannya terkait hal tersebut melalui media sosial.
“Kalau putusan ini kelihatanya adalah conditionally unconstitutional. Tapi kok ada poin 4? Harusnya kalo conditionally unconstitusional ya UU tidak berlaku sementara waktu dan kalau tdk diperbaiki maka tidak berlaku selamanya. Itu kondisinya bersyaratnya,” tulisnya dalam sebuah tweet.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia turut merilis pernyataan guna merespon putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Dalam rilis tersebut, YLBHI menganggap putusan itu adalah putusan kompromi yang menunjukkan ketidaktegasan MK.
“Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK. Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti,” tulis YLBHI.
Selain itu, YLBHI mengungkapkan, MK seharusnya membatalkan dan menghentikan UU ini sehingga ‘tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran.’