Sepuluh Tuhan yang Baik | Puisi-Puisi Fatah Anshori
Stem sel bahasa lain dalam kehidupan benda-benda mati
stem sel bahasa lain dalam kehidupan benda-benda mati membelah lagi. di ruang penuh malaikat kecemasan berleleran serupa puluhan laron tanpa sayap-sayapnya. bayangan bangkai manusia di pecahan kaca, membuka tutup usia dialog-dialog purba dalam museum maya. mengalir dalam muara arteri dan vena, bayang-bayang di dalamnya seperti hantu dalam gorong-gorong yang berhasil membuat anak kecil mengingat pentil. yang berlari hanya mereka yang memiliki kaki, abad-abad hanya berdiam diri di sini. malna digergaji di ruang operasi menjadi silabel-silabel tak terbaca. suara menggenang di langit-langit ruang, sepasang mata nyalang menelan pintu-pintu yang mengamputasi waktu. “sebelum orang-orang panggilan datang merenovasi bahasa yang tak terbaca kita hanya takdir dalam garis lurus, bersinggungan tanpa rumus.” konvensi bahasa benda-benda mati pernah terjadi tidak hanya di puisi. di sini segalanya gerimis dalam samar peradaban yang merusak anyir udara bekas instalasi listrik, software-software yang terbunuh dalam tabung kaca seperti kecoa kehilangan enam kakinya.
tapi di sini merangkak tak perlu kaki, cukup hati dengan niat yang hakiki. tak akan ada yang mati dibungkus karung-karung goni. tulang-tulang sejarah yang ditimbun dalam tumpukan aroma busuk reparasi moral berisi puluhan kasus skandal. televisi membantu kami mengeja bahasa mereka, sebaliknya malna membantu meraka mengeja bahasa kami. tapi hanya ada sekat-sekat banal di dalam diri yang bebal, konvensi-konvensi kami tak terbaca dalam aksara, angka, atau sekedar tanda di tubuh mereka, masih berkeliaran segala yang purba.
Lamongan, 2020
Menjadi ruam-ruam merah bernanah
sebelum itu kita memang abai pada setapak di balik punggung, dan orang-orang memang kerap pergi ke gunung hanya untuk menjadi patung dalam ruang raung di dasar palung. di mana kita tahu kuburan-kuburan bertumbuhan serupa igauan ratusan bajingan.
tak ada pintu yang menelan orang-orang, termometer mengokang angka-angka yang tidak bisa dipercaya. di altar depan seorang anak kecil dan perempuan tua pulang ke tubuh bayang-bayang dengan suhu lembab dan waktu yang membiru, tubuhnya mendadak kaku.
di sana udara memangkas angan-angan yang memanjang di grafik angka kematian, bergelombang dan berkeringat, lalu kita menampung segala yang belum rampung, dalam asam lambung foto-foto lama terbakar menjadi ruam-ruam merah bernanah.
di ujung punggung yang tak terjangkau dua mata, tiga ekor gagak berkoak, juga bangkai-bangkai kapal tergeletak, fosil-fosil suara dalam potongan pita berderak, jalanan lembab berkeringat, dan kita masih tersemat dalam dengung suara ngengat.
pekat kecemasan menempel dalam laku orang-orang lugu, kita masih tidak tahu, meski telah berkaca pada masa lalu, jalanan hari ini adalah labirin bercabang dengan jurang-jurang baru yang akan menelanmu, tanpa pernah bertanya: kehendakmu.
Lamongan, 2020
Sepuluh tuhan yang baik
jari-jari tangannya adalah sepuluh tuhan yang baik, doa-doa kerap terkabul dan mengalir dari setiap ujungnya. pernah ada yang meminta kasih sayang perempuan dari sela-sela ayat yang dilantunkan hingga akhir hayat, tapi hidup masih cerita-cerita orang melarat.
di sebuah hikayat, ia memang lelaki miskin. hari-harinya terbuat dari anyaman dingin angin. Di dadanya kerap turun hujan jarum setelah puluhan pasang mata di pinggir trotoar memandangnya dengan tatapan yang berbeda.
ia hanya ingin memejamkan mata
meski dengan antihistamin, pikirnya
di telinganya pernah ada anak kecil dengan ukulele menyanyikan lagu-lagu pendek tentang cinta dan hidup yang bahagia. tapi di matanya air menggenang, mengalirkan puluhan getek dengan mayat-mayat dirubung lalat. sementara perutnya berlubang, hanya udara yang menguning dan terlalu hening untuk tangisan-tangisan yang dilepaskan.
dan sepuluh tuhan telah meniadakan benda-benda, dunia sudah jadi legenda dalam cerita-cerita orang tua, segalanya mengambang, bintang-bintang tak lagi bisa diterawang dari seberang atau gelanggang, tapi tak pernah ada tangisan atau perasaan kehilangan yang menggenang di kepala-kepala mereka.
sebab kita sudah papa sejak ada, katanya.
Lamongan, 2020
Dalam lubang naoko
dalam lubang naoko itu aku melihat hitam
diri(ku) yang samar-samar
menanyakan ulang tentang
kelahiran dan kematian
yang terjeda.
*
epitaf menumbuhkan bunga
seiring doa ditiadakan
kota-kota
dan kata-kata
malih rupa dalam
hitungan satu dua tiga
menjelma
peluru dalam mulut
orang-orang yang ingin
menang, senapan
tak kasat mata menyaru
cerita, anggukan kepala,
dan janji-janji bahagia
yang dikubur dalam
palung paling kelam
*
dalam lubang naoko aku memutih
dalam plasenta yang tidak
bekerja dan tanggal
dari langit-langit paling arif
ke dalam jurang
hari-hari yang naif.
Lamongan, 2020
Merayakan kebahagiaan hidup francis macomber
I
ia meminta gimlet dari pada sitrun atau jus lemon
yang terang-terangan kau tawarkan di padangilalang sewaktu siang
belum ada auman singa
dan segalanya masih rencana di bawah tenda makan
yang kau sediakan, bersama
rencana-rencana tembakan.
II
sesekali mereka memaki dengan bahasa swahili,
seekor singa yang tertembak sembunyi di balik semak-semak
sambil menyelipkan kematian
macomber merasa terancam
di balik pundak sebelah kanan ia titipkan kehidupan
pada yang kelak membuatnya muak,
ia ingin meletuskan sebuah kepala di depan mata
III
lalu ketika kau tarik tangannya seperti adapenolakan, ia berpaling dan di depanmu meninggalkanciuman di sepotong bibir lain yang akrab sekaligus asing.
margot menjanjikan pertikaian
pada sebuah batang dan wajah lain, ia tertawa
pelukan terbakar, tawa menyusut dalam
liang-liang rahim hutan yang menyala sementara
IV
robert wilson menjanjikan banteng di padang yang
tak jauh pada macomber, tapi angan tadi malam
masih menggenang, menyala tanpa busana
melihat margot rebah di sana
pada hamparan dada dan aroma pria afrika, ia
temukan pria yang setara dengan singa. yang enggan
bersembunyi karena kematian atau kehidupan.
V
di sebalik bukit mereka intip, yang pernah dijanjikan.
sekawanan hewan buruan dan angan-angan
kematian yang duduk di belakang.
macomber mengokang senapan
dan ketakutan memutih dan menipis kabut, di antara
ilalang yang bergoyang menyembunyikan
kejutan dari tuhan. di kursi belakang sebuah tatapan
VI
kini ia ingin berjalan paling depan mendahului pagidengan moncong senapan. wilson harus di belakang,memsahib sengaja ia tinggalkan pada kekosongan
ia menjadi orang lain dalam dirinya,
wilson menyukainya, api kecil yang tiba-tiba membara
sebesar auman singa. ia bayangkan perburuan
panjang banteng-banteng yang serupa gugur bunga.
VII
tapi yang ada hanya sebaliknya, sepersekian
kedipan mata. nyawa meninggalkannya
setelah tandukan pertama yang tak terbaca
lalu di dada memsahib
padang-padang hijau mendadak kemarau.
dan kau hanya serak sengau
yang risau.
Lamongan, 2020
Fatah Anshori, lahir di Lamongan, bukunya yang telah terbit Ilalang di Kemarau Panjang (2015), Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Frase Pinggir, 2020). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online, juga Majalah Suluk (DK Jatim),Terpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co (2018). Bergiat di Guneman Sastra Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.