PBHI Desak Pemerintah Evaluasi Kesejahteraan dan Akhiri Eksploitasi Mitra Ojol
Berita Baru, Jakarta – Jakarta dan Serang menjadi pusat aksi besar-besaran yang dilakukan oleh pengemudi ojek online pada 29 Agustus 2024. Dipimpin oleh Koalisi Ojol Nasional (KON) di Jakarta dan Aliansi Driver Online Bergerak (DOBRAK) di Banten, aksi ini diikuti oleh lebih dari 2.000 pengemudi—1.500 di Jakarta dan 500 di Serang—yang menuntut perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan yang selama ini dianggap tidak manusiawi.
Dalam aksi tersebut, PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) turut memberikan pendampingan kepada para pengemudi ojek online yang merasa hak-hak mereka diabaikan oleh perusahaan aplikasi. Mereka menyoroti ketidaksetaraan dalam skema kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan aplikasi berbasis revolusi digital 4.0 yang telah berkembang pesat di Indonesia selama lima tahun terakhir.
PBHI dalam siaran persnya, Kamis (29/8/2024) mengatakan berdasarkan data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan tahun 2022, sebanyak 50,1% pengemudi ojek online hanya memperoleh pendapatan Rp50 ribu–Rp100 ribu per hari, sementara 44,1% lainnya mengeluarkan biaya operasional harian sebesar Rp50 ribu–Rp100 ribu. Mirisnya, bonus yang dijanjikan oleh aplikator seperti Gojek, Grab, dan Maxim jarang sekali didapatkan oleh pengemudi. Sebanyak 52,08% pengemudi mengaku jarang menerima bonus, sementara 37,4% bahkan tidak pernah mendapatkannya.
“Perusahaan aplikasi tersebut malah membebankan ‘upah’ tambahan kepada konsumen melalui tips, tanpa memberikan kesejahteraan yang layak bagi pengemudi,” ungkap PBHI.
Kritik keras juga dilayangkan terhadap perusahaan BUMN yang menyuntikkan dana triliunan rupiah ke perusahaan start-up transportasi online seperti GoTo. PBHI menilai bahwa suntikan dana tersebut, yang dilakukan melalui Telkomsel, seharusnya digunakan untuk memperbaiki tata kelola dan kondisi kerja pengemudi, bukan untuk spekulasi investasi yang justru bisa merugikan negara.
PBHI mendesak pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Perhubungan, untuk mengevaluasi ulang regulasi dan praktik perusahaan aplikasi transportasi online. Selain itu, PBHI juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki indikasi kerugian negara akibat investasi besar-besaran tanpa analisis yang matang.
“PBHI menilai sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perusahaan aplikasi transportasi online, karena keuntungan dan valuasi yang selama ini disebut berkontribusi pada perekonomian negara ternyata justru bersandar pada rantai kerja yang eksploitatif,” tegas PBHI.
Selain itu, PBHI juga mengusulkan agar pemerintah daerah menerbitkan peraturan yang memberikan jaminan sosial bagi pengemudi ojek online dan keluarganya, mencakup jaminan kesehatan dan pendidikan.