Prioritas Pembangunan Pendidikan, Apakah Polewali Mandar Butuh Sekolah Rakyat? | Opini: Musyarrafah
Barangkali tak ada yang lebih menyejukkan bagi pejabat daerah selain berdiri di depan lahan luas, dikelilingi kamera, lalu mengumumkan proyek besar yang “akan menyelamatkan anak-anak miskin.”
Kunjungan Bupati Polewali Mandar, H. Samsul Mahmud, ke lahan SMKN Rea Timur pada 7 Mei 2025 disambut hangat oleh jajaran Muspika Kecamatan Wonomulyo dan Kepala Dinas Pendidikan setempat. Kunjungan ini bukan sekadar seremoni biasa, melainkan sebagai langkah konkret persiapan pembangunan Sekolah Rakyat (SR) di Polewali Mandar. Dengan lahan seluas 8,6 hektare yang telah disiapkan, proyek ini disebut-sebut sebagai terobosan strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan.
Lebih dari itu, proyek ini juga didukung oleh Kementerian Sosial yang siap mengucurkan anggaran antara Rp150 hingga Rp200 miliar untuk pembangunan sarana, prasarana, hingga penyediaan kebutuhan dasar siswa, mulai dari asrama, makan, hingga perlengkapan belajar. Informasi mengenai rencana alokasi dana ratusan miliar untuk pembangunan Sekolah Rakyat di Kabupaten Polewali Mandar berasal dari pernyataan resmi yang disampaikan oleh Kepala Dinas Sosial Polman, H. Azwar Jasin, setelah audiensi dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI, Robben Rico, pada 14 April 2025.
Dalam pertemuan tersebut, dibahas bahwa Kabupaten Polewali Mandar merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat yang telah memenuhi seluruh persyaratan administrasi dan kini telah masuk pada tahap kedua proses seleksi. Saat ini, pembangunan Sekolah Rakyat masih menunggu hasil survei lapangan yang dilakukan oleh tim dari Balai Kementerian PUPR Wilayah Sulawesi Barat.
Namun seperti biasa, euforia proyek sering kali mengalahkan empati terhadap kenyataan. Di balik retorika “mencerdaskan anak miskin”, kita lupa bahwa sekolah-sekolah yang sudah ada—dan jauh lebih banyak jumlahnya—masih berkubang dalam nestapa yang bahkan tak layak disebut layak.
Jika kita keluar dari keramaian seremoni dan melangkah ke pelosok Polewali Mandar, maka kita akan mendapati kenyataan pahit: banyak sekolah yang bahkan tidak memiliki ruang belajar yang layak. SDN 011 Tumpiling, misalnya, pernah diberitakan terpaksa memindahkan proses belajar mengajar ke musala karena atap kelas ambruk akibat kerusakan permanen yang tak kunjung diperbaiki.
Di kawasan pegunungan Bulo, SMP Satu Atap Taramanu Tua mengandalkan bangunan tua yang sebagian dindingnya rapuh, tanpa jaringan listrik dan air bersih. Sementara itu, Madrasah Aliyah Teknologi Industri di Desa Rumpa roboh diterjang angin puting beliung awal tahun ini—meninggalkan reruntuhan yang hingga kini belum tertangani. Bahkan di pusat kota pun, SDN 057 Papandangan sempat lumpuh total akibat banjir bandang yang membawa lumpur ke dalam kelas.
Lalu lihatlah ke Campalagian. Di SDN 022 Riso, hanya tersedia tiga ruang kelas untuk enam rombongan belajar. Anak-anak harus belajar bergiliran, pagi dan siang. SDN 013 Puttada masih berdinding papan dan beratap seng karatan. Tak ada toilet di sekolah, anak-anak mesti menumpang ke rumah warga. Di SMPN 4 Campalagian, satu-satunya ruang kelas ambruk diterpa hujan deras. Proses belajar pun dipindahkan ke ruang guru darurat dengan kondisi seadanya. Kondisi SDN 031 Katumbangan juga cukup memprihatinkan.
Meskipun status akreditasi sekolah ini cukup baik dengan akreditasi B yang berlaku hingga 2029, kenyataannya fasilitas fisik sekolah masih jauh dari kata layak. Di sini, ruang kelas sering kali tidak memadai, bangku dan meja yang sudah rusak, serta kondisi sanitasi yang buruk, menjadikan proses belajar mengajar jauh dari ideal. Meskipun ada program PHBS dan “Isi Piringku” dari Universitas Negeri Makassar, yang menunjukkan adanya perhatian eksternal terhadap kebutuhan dasar siswa, kondisi bangunan yang tidak memadai tetap menjadi hambatan besar bagi pendidikan yang berkualitas.
Melangkah ke Kecamatan Matakali, di SDN 066 Kuajang, satu-satunya ruang kelas mengalami keretakan besar di bagian dinding dan lantai. Guru mengatur tempat duduk agar siswa tidak berada di bawah atap yang sudah melengkung. Di SDN 043 Pombuttu, bangku belajar rusak parah dan perpustakaan hanya berupa rak besi kosong yang dijadikan sekat antara ruang guru dan kelas.
Di Kecamatan Anreapi, sekolah-sekolah di Dusun Salumoni dan Dusun Salukaili masih menggunakan bangunan semi permanen, beberapa bahkan hanya beratap rumbia. Siswa-siswa di sana menempuh perjalanan lebih dari satu jam melewati jalan tanah berlumpur untuk sekadar tiba di kelas.
Sementara itu, di Kecamatan Tapango juga menyimpan ironi serupa. Di SDN 029 Tapango, belum ada akses listrik sejak dibuka. Guru mengandalkan papan tulis dan spidol sebagai alat bantu utama, tanpa buku kerja siswa. Di SMPN 2 Tapango, toilet rusak sejak 2022 dan belum pernah diperbaiki. Air bersih menjadi barang langka, karena sumur sekolah mengering saat kemarau.
Di Kecamatan Matangnga yang berbatasan langsung dengan Mamasa, kondisi lebih mengenaskan. Beberapa sekolah satu atap di dusun terisolir seperti Saludengen dan Buangin tak punya guru tetap. Proses belajar mengajar hanya berlangsung tiga hari dalam seminggu, karena guru honorer harus berbagi tugas di tiga lokasi berbeda. Di SDN 035 Batetangnga, dari lima ruang kelas, hanya dua yang masih layak digunakan. Siswa belajar bergiliran dengan kondisi lantai semen yang sudah retak dan dinding penuh coretan.
Bahkan di Wonomulyo—kecamatan yang kini digadang-gadang sebagai lokasi ‘Sekolah Rakyat’—masih ada sekolah dasar yang hanya memiliki satu guru tetap. SDN 021 Rea Barat, misalnya, sejak 2023 kehilangan kepala sekolah karena pensiun, dan hingga kini belum memiliki pengganti resmi. Bangunan perpustakaan terkunci rapat karena tak ada koleksi buku yang layak baca.
Dan tentu saja, masih terdapat banyak sekolah lain yang kondisinya sangat memprihatinkan dan seharusnya menjadi perhatian utama. Pemerintah daerah semestinya memiliki pemahaman yang lebih komprehensif—bukankah bahkan sudah melakukan kunjungan lapangan, bukan sekadar membaca laporan administratif yang cenderung normatif, kan?
Jika benar Sekolah Rakyat dibangun untuk menjawab kebutuhan pendidikan anak miskin, maka seharusnya anak-anak dari desa-desa ini yang pertama diselamatkan. Mereka tak butuh asrama ber-AC, cukup ruang belajar yang tak bocor dan guru yang hadir setiap hari.
Namun realitas politik anggaran tidak mengenal urutan prioritas. Sekolah Rakyat kini menjelma panggung baru: gagah, eksklusif, dan dilengkapi fasilitas mewah. Ironisnya, pada saat bersamaan, sekolah-sekolah lain harus pasrah dengan kondisi seadanya. Pemerintah seolah lupa bahwa “keadilan pendidikan” bukan berarti membuat satu sekolah menjadi surga, sementara ratusan lainnya terus dibiarkan terbengkalai.
Lebih dari sekadar bangunan, sekolah-sekolah kita masih terseok karena buruknya kualitas fasilitas pendukung (nonhuman aspect). Sekolah tanpa akses air bersih, tanpa laboratorium IPA, tanpa koneksi internet, bahkan tanpa perpustakaan. Ruang guru sempit, meja belajar rusak, papan tulis retak, dan atap ruang kelas bocor adalah kenyataan yang tak bisa disulap hanya dengan membangun satu sekolah super lengkap bernama Sekolah Rakyat. Pemerintah, seakan lupa, bahwa pendidikan tidak hanya soal guru dan murid—tetapi juga tentang lingkungan belajar yang layak, aman, dan mendukung proses tumbuh-kembang anak.
Di sisi lain, persoalan tenaga pendidik tak kalah genting. Pemerataan guru masih menjadi PR akut di Polewali Mandar. Di desa-desa terpencil, satu guru kadang merangkap mengajar di tiga kelas yang berbeda, karena tidak ada guru lain yang tersedia. Banyak guru berstatus honorer bekerja dalam ketidakpastian, mengabdi dengan gaji Rp200 ribu per bulan, jauh di bawah upah layak. Ketimpangan ini makin menyakitkan ketika kini pemerintah berencana menempatkan “guru-guru terpilih” di Sekolah Rakyat—lengkap dengan insentif, fasilitas, dan status khusus.
Apakah profesi guru kini harus berlomba-lomba masuk ke Sekolah Rakyat demi insentif, bukan demi pengabdian?
Jangan sampai program seperti Sekolah Rakyat malah menggoda guru untuk berpaling dari ruang-ruang kelas yang lebih membutuhkan, hanya karena tergiur fasilitas dan kenyamanan. Negara memang punya hak untuk memberikan penghargaan bagi pengabdian, tapi negara juga punya tanggung jawab memastikan keadilan distribusi sumber daya manusia yang berkualitas.
Kita semua tahu, integritas guru adalah salah satu fondasi pendidikan. Tapi jangan salah: sistem yang tidak adil bisa menggerus integritas itu pelan-pelan. Akibatnya, pendidikan kita bukan hanya tidak merata, tapi juga kehilangan ruhnya.
Sayangnya, sampai hari ini belum ada kajian menyeluruh yang menjelaskan bagaimana Sekolah Rakyat akan berdampak secara sistemik bagi pendidikan Polewali Mandar. Apakah ini solusi jangka panjang, atau hanya proyek pencitraan sesaat? Apakah akan merekrut siswa dari seluruh kecamatan secara merata, atau justru jadi pusat simbolis yang terlepas dari realitas pendidikan daerah?
Pemerintah boleh saja melabeli Sekolah Rakyat sebagai inovasi. Tapi kita tahu, inovasi sejati tidak lahir dari proyek mercusuar. Inovasi pendidikan mestinya dimulai dari sekolah-sekolah yang nyaris roboh, guru-guru yang bertahan tanpa tunjangan, dan anak-anak yang berjalan kaki dua jam demi tiba di kelas.
Sekolah Rakyat mungkin akan berdiri megah, tapi selama ratusan sekolah lain tetap miskin dan terabaikan, itu bukanlah kemajuan.
Musyarrafah: penulis dan pengamat pendidikan.