Oman Fathurahman, Ramadan, dan Hikmah Pandemi
Berita Baru, Tokoh – Puasa ramadan adalah salah satu ibadah yang tergolong mahdlah atau tidak tergantikan. Ia berbeda dengan zakat yang ghairu mahdlah (bisa digantikan) dengan kesalehan sosial sebagai orientasinya.
Pembedaan seperti ini rupanya berdampak di masyarakat. Sebagai ibadah, puasa kerap dinilai sebagai sesuatu yang terbatas pada dimensi personal, padahal situasi sebenarnya tidaklah—selalu—demikian.
Salah satu sosok yang tidak sependapat bahwa puasa hanyalah ibadah dengan orientasi personal adalah Oman Fathurahman. Dalam sesi #Bercerita Beritabaru.co ke-43 pada Selasa (13/4), secara tegas ia menyitir, puasa merupakan ibadah yang multidimensi.
Satu sisi, puasa memang bersifat sangat privat dalam arti hanya pelaku dan Tuhan yang tahu. Namun, pada sisi yang lain, justru karena keintiman ini, puasa memiliki implikasi sosial yang tidak bisa diremehkan.
“Implikasi tersebut adalah al-inabah atau upaya untuk selalu bersikap baik selama puasa sebagai upaya untuk menutupi kesalahan-kesalahan yang sudah diperbuat,” kata Oman.
Menurut Oman, keintiman atau privatnya puasa berkelindan dengan dua hal yang saling tertaut, yaitu al-inabah tadi dan aktivitas untuk menahan. Pertama merujuk pada bagaimana kita perlu mengoptimalkan puasa untuk bertaubat, yakni dengan lebih banyak berbuat baik pada orang lain.
Adapun kedua lebih pada apa itu yang Oman sebut sebagai core dari puasa, yaitu menahan dari sesuatu yang sesungguhnya kita sangat bisa melakukannya.
Kita bisa saja bersikap menyebalkan pada orang lain—tidak mau menepati janji misalnya—tetapi karena puasa, kita memilih untuk menepatinya saja. Walhasil tepat di titik ini, dengan pola yang sedemikian rupa, bukankah ini layak kita sebut sebagai dampak sosial dari puasa?
“Saya kira dampaknya jelas. Puasa mengandung implikasi sosial yang tidak bisa kita abaikan,” ungkapnya pada acara yang dibawakan oleh Sarah Monica ini.
Tingkatan puasa
Kembali sejenak pada bagian core puasa, ada detail penting yang diulas Oman. Secara level, puasa bisa dipetakan menjadi tiga: puasa awam, puasa khusus, dan puasa khususnya khusus.
Bila kita puasa dan yang kita tahan hanya makan, minum, dan seks, maka kita berada di level paling rendah: puasa awam. Kemudian, bila yang kita tahan adalah segenap anggota tubuh, seperti mulut, telinga, mata, dan bahkan jari—untuk konteks media sosial hari ini—kita berada di level tengah, puasa khusus.
Di atas keduanya, ada puasa khususnya khusus. Puasa ini mengandaikan kita untuk tidak saja menahan perut, kelamin, dan anggota tubuh lainnya, tetapi juga niat.
“Mereka yang sudah sampai di level ini, saat niat jelek saja, puasanya batal. Jika kita bayangkan, ini sangatlah susah. Jadi, untuk ukuran kita, ya setidaknya di level tengah lah,” ujar Oman.
Tingkatan puasa semacam ini ada bukan tanpa alasan. Kenyataan bahwa puasa adalah instrumen penting dalam riyadlah-nya para sufi merupakan alasan mengapa demikian.
Puasa oleh sekumpulan sufi lebih pada latihan jiwa dan raga agar mampu melihat dunia secara lebih utuh. Mengetahui tujuan ini, tentu puasa di kalangan sufi tidaklah sekadar menahan anggota tubuh, apalagi perut dan kelamin dari sesuatu yang tidak efektif, tetapi sudah pada tingkat niat, krentek hati, dan pikiran.
Di waktu bersamaan, Oman juga menjelaskan bahwa puasa merupakan ibadah lintas tradisi. Bukan hanya Islam yang menjalankan puasa, tetapi agama-agama di bawah garis Ibrahim, bahkan agama-agama yang diakui di Indonesia pun menunaikan puasa.
Jadi sebenarnya, bicara puasa adalah bicara tentang sesuatu yang semua manusia—apa pun agamanya—membutuhkannya. “Dan pastinya, setiap dari mereka punya model dan tujuan puasanya masing-masing,” tambah Founder dari kanal Youtube Ngariksa ini.
Hikmah pandemi dan ibadah di rumah saja
Sementara itu, berkenaan dengan pandemi yang masih berlangsung pada ramadan tahun 2021, Oman menyebut, ibarat segala sesuatu yang diciptakan pasti membawa manfaatnya sendiri, wabah covid-19 tentu mengandung hikmah.
Hikmah yang paling menonjol, kata Oman, adalah bagaimana sesungguhnya melalui pandemi kita sedang dilatih untuk melihat, menangkap, dan bahkan langsung melakukan esensi dari suatu ibadah.
Jika sebelumnya kita memandang bahwa salat tarawih misalnya kerap kita pahami sebagai ibadah yang harus dilakukan di masjid, maka karena pandemi kita dipaksa untuk memeriksa kembali dan lantas menemukan, rupanya esensi tarawih bukanlah itu.
Di lingkup sosial-ekonomi pun demikian. Ketika sebelumnya orientasi pekerjaan kita adalah sejauh mana kita duduk di kantor, maka sebab pandemi kita bisa tahu ada yang lebih mendasar dari itu, yakni selesainya tugas kita—yang dari sini lahirlah konsep work from home yang dari segi apa pun lebih esensial.