Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Dana Reboisasi
(pelajaran.co.id)

Mengendapnya Dana Reboisasi



Beritabaru.co, Analisa, – Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam sektor kehutanan terdiri dari tiga jenis yaitu iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH), dan dana reboisasi (DR). Jenis ketiga ini pada masa awal otonomi daerah disalurkan melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK), sampai terbitnya UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

Setelah 10 tahun UU tersebut berlaku, DR kembali diperbincangkan seiring dicabutnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola hutan melalui UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang baru.

Padahal sisa DR yang masih berada pada rekening kas daerah di 234 kabupaten/kota sampai akhir tahun 2016 sebesar Rp6,9 triliun. Sedangkan potensi sisa DR yang ditransfer oleh pemerintah pusat pada provinsi tahun anggaran 2017 mencapai Rp699,5 miliar. Selain itu DR juga masih terdapat pada rekening pembangunan hutan yang dikelola pemerintah pusat sebesar Rp10,14 triliun. Jadi total sisa dana reboisasi secara nasional sampai akhir tahun 2017 adalah Rp17,7 triliun.

Jejak Persoalan DR

Polemik pengelolaan DR telah terjadi sejak ditetapkannya kebijakan tersebut dalam bentuk dana jaminan reboisasi (DJR) pada tahun 1980. Kebijakan DJR mewajibkan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) menyediakan uang paling sedikit USD4,00 per meter kubik berdasarkan volume kayu bulat yang dipanen untuk melakukan reboisasi dan rehabilitasi.

Apabila perusahaan gagal menanam ulang, maka DJR akan dipergunakan oleh pemerintah untuk melakukan penanaman ulang di lokasi HPH. Faktanya 75 persen perusahaan merasa lebih untung kehilangan dana jaminannya daripada harus melakukan reboisasi. Kebijakan tersebut hanya bertahan selama 8 tahun, kemudian ditinjau ulang.

Pada tahun 1989 pemerintah mengubah DJR menjadi DR sebagai iuran wajib perusahaan yang tidak dapat dikembalikan. Tarif yang berlaku hingga saat ini merupakan hasil penetapan batas minimal USD2,00 per ton untuk kayu pulp dan paling tinggi USD20,00 per ton untuk kayu eboni. Dana ini disinyalir banyak disalahgunakan karena dikelola oleh Departemen Kehutanan di luar skema APBN sampai tahun 1998.

Berdasarkan laporan hasil audit independen tahun 1999, disampaikan bahwa kerugian negara yang ditimbulkan oleh kesalahan pengelolaan DR pada periode 1993/1994 sampai 1997/1998 sebesar USD5,2 miliar. Kerugian tersebut dihitung berdasarkan perbandingan volume kayu yang dilaporkan sebesar 147,1 juta meter kubik dengan perhitungan potensi riil volume kayu yang mencapai 302,6 juta meter kubik.

Dari selisih volume tersebut diperhitungkan kerugian negara dengan menggunakan tarif dasar yang sama. Selain itu, dana yang dipergunakan untuk membiayai enam proyek diluar kepentingan reboisasi dan rehabilitasi hutan adalah USD621 juta.

Penyimpangan DR juga terjadi pada masa otonomi daerah, baik oleh pejabat politik maupun pejabat teknis di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Dihukumnya tujuh orang pejabat kabupaten/kota dan provinsi Riau atas dugaan kerugian Negara cukup menjadi bukti. Selain itu pada tahun 2015 BPK juga merilis laporan bahwa Kabupaten Berau, Kutai Timur, Paser dan Kutai Barat telah membelanjakan DR tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Momentum Perubahan

Penggunaan DR yang diatur secara ketat dan mengikat (earmarking) dalam PP No. 35 tahun 2002 dianggap sebagai penyebab utama terjadinya pengendapan dana tersebut di 234 kabupaten dan kota di Indonesia. Bahkan kekakuan aturan tersebut juga masih menjadi pemicu paranoia bagi pemerintah provinsi, sehingga tidak bersedia membelanjakan DR yang diterima pada tahun 2017.

Sejak dua tahun terakhir upaya memperluas penggunaan DR tersebut telah dilakukan melalui perubahan UU APBN tahun 2016 dan 2017. Akan tetapi pasal sakti tersebut tidak dijalankan oleh pemerintah daerah, karena belum disertai pedoman penggunaan yang jelas.

Sampai akhirnya pemerintah dan DPR berhasil menyepakati terbitnya UU No. 15 tahun 2017 tentang APBN tahun 2018 pasal 11 ayat (5), (6), (7) huruf c, dan (16) dengan tegas mengatur perluasan penggunaan DR baik yang diterima provinsi maupun sisa di kabupaten/kota, sekaligus menggugurkan ketentuan earmarking pada pasal 17 PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi.

Pedoman penggunaan, pemantauan dan evaluasi DBH DR diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.230/PMK.07/2017 sebagai tindak lanjut atas ketentuan pasal 11 ayat (16) UU APBN 2018. Peraturan menteri ini mengatur arah penggunaan DR dalam rangka mendukung pengendalian perubahan iklim, perhutanan sosial, serta diprioritaskan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Artinya pemerintah daerah memiliki momentum sangat baik untuk mengoptimalkan penggunaan DR dalam mendorong percepatan program perhutanan sosial yang realisasinya secara nasional baru mencapai 1,19 juta Ha atau 9,4 persen dari target 12,7 juta Ha. Juga potensial untuk membiayai kegiatan pencegahan Karhutla agar tidak terjadi bencana kabut asap yang pasti akan mengganggu penyelenggaraan Asian Games di Jakarta dan Palembang, sebagaimana dikhawatirkan Presiden Joko Widodo pada Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2018.

Inilah waktu yang tepat bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menghilangkan trauma, dan membulatkan tekat dalam jalan kebajikan melalui penggunaan DR dengan prinsip money follow problem, dimana anggaran hanya dibelanjakan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, seperti masalah tuna lahan melalui perhutanan sosial, maupun masalah asap dan sesak nafas akibat kebakaran hutan dan lahan.

Oleh: Hadi Prayitno
Badan Pembina – Policy Reform Initiatives and Democracy (PRIDe)