Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Dongeng Pengantar Kiamat No. 141 | Cerpen : Kurnia Gusti Sawiji
Ilustrasi: Parachute

Dongeng Pengantar Kiamat No. 141 | Cerpen : Kurnia Gusti Sawiji



“Jika besok kiamat, apa yang akan kamu lakukan?”

Pertanyaanmu itu tidak kujawab, dan aku tetap memandang langit sore yang mengingatkanku kepada warna kencing adikku ketika ia mengencingi satu-satunya foto ayahku yang tersisa di rumah kami. Pada dasarnya segala pertanyaanmu tentang kiamat adalah gelembung-gelembung yang kita mainkan ketika kita kecil, sementara dirimu adalah imajinasi para kelabang tentang apa yang ada di sebalik rambut seekor orangutan. Kamu, sebagaimana orang-orang lain yang kamu sayangi, tidak mengetahui hakikat dan kebenaran yang seyogyanya tentang kiamat. Jika aku bertanya balik kepadamu: apakah kiamat dan kehancuran dunia adalah dua hal yang sama atau berbeda? Niscaya kamu tidak akan bisa menjawabnya, karena takdir tentang kiamat tidak diberikan kepadamu, melainkan kepada amoeba-amoeba yang kutangkap dan kutelan ke dalam kepalaku.

Kamu tidak akan bisa menampung kebenaran bahwa tombol untuk memulai kiamat sebenarnya ada di dalam kepalaku. Atau lebih tepatnya, di celah di antara otak kiri dan kananku. Tombol itu sangatlah tipis, sehingga mudah untuk menyelipkannya di antara kedua belah otakku. Dulu ketika aku belum lahir, ibuku menandatangani sebuah kontrak dengan inang Dajjal: sebagai harga untuk kematian Ayah, Dajjal akan menjadikanku sebagai intisari dari kiamat. Jika saja sudah saatnya kiamat terjadi dan sangkakala akan ditiup, Dajjal akan datang kepadaku, memotong tengkorakku, lalu mengambil tombol yang ada di dalam kepalaku untuk ia tekan. Seketika tombol ditekan, matahari akan terbit di barat dan gunung-gunung pun akan dilipat seperti karpet, sementara manusia akan bertebaran seperti anai-anai sebagiamana dinarasikan oleh kitab suci.

Tentu, kamu tidak akan bisa menampung kebenaran bahwa tombol untuk memulai kiamat sebenarnya ada di dalam kepalaku. Aku sengaja untuk tidak pernah menceritakannya kepadamu untuk melindungimu. Jika saja informasi tentang tombol kiamat di dalam kepalaku sampai bocor ke mereka yang tidak berhak tahu, maka tentara Dajjal akan dengan sigap membunuh mereka, merobek jantung mereka untuk dijadikan makanan burung-burung gagak yang sudah terlalu lama mendekam di neraka. Kamu, di antara manusia-manusia lain yang pernah kutemui, adalah sebagian kecil yang bisa kuanggap sebagai sahabat. Aku tidak mau sahabatku mati dibunuh tentara Dajjal.

“Kau tahu, kurasa akan seru jika besok kiamat.”

Aku hanya tersenyum dan tertawa kecil mendengar celotehmu. Tentu kamu tidak tahu bahwa untuk memulai kiamat, apa yang perlu kamu lakukan hanyalah mengambil sebuah pisau bedah, membuka tengkorakku, dan sedikit mengotorkan tanganmu dengan memasukkannya ke dalam celah di antara kedua belah otakku untuk mengambil tombol laknat yang akan memuaskan nafsu birahimu untuk mengakhiri segalanya. Tetapi aku tahu kamu tidak akan sanggup melakukannya. Aku, di antara manusia-manusia lain yang pernah kamu temui, adalah sebagian kecil yang bisa kamu anggap sebagai sahabat. Kamu tidak mau sahabatmu mati dibunuh oleh tanganmu sendiri hanya karena nafsu birahimu untuk mengakhiri segalanya.

“Jika besok kiamat, maka kita semua akan berakhir. Bukan saja dunia yang kamu benci ini, tetapi juga dirimu. Dan aku.”

“Tidak apa-apa. Jika ada satu hal yang lebih kubenci dari dunia yang aku benci, itu adalah diriku yang sudah lupa cara menyayangi.”

“Lalu aku?”

“Kamu adalah sebuah pengorbanan yang tidak bisa kuelakkan.”

Baik. Jadi kamu juga ingin menghancurkan dirimu sendiri. Itu hebat. Tetapi bukan berarti aku bisa langsung membeberkan rahasiaku kepadamu. Satu hal yang perlu kamu tahu tentang para tentara Dajjal adalah kecepatan, kegesitan, dan ketangkasan mereka. Tanpa kamu ketahui, tentara-tentara laknat itu sudah menyebar di seluruh muka bumi, dan aku tidak akan terkejut jika lalat yang sebentar tadi melewati kepalamu adalah salah satu dari mereka. Siap untuk menebas nyawamu seketika saja aku membuka mulutku untuk menceritakan rahasiaku. Andai kamu mati sebelum aku bisa membeberkan rahasiaku, maka semuanya akan sia-sia: kamu tidak akan bisa mencapai keinginanmu, dan aku tetap akan menjadi budak Dajjal yang hanya sebatas tempat menyimpan tombol.

Menjadi tempat simpanan tombol kiamat sama sekali tidak mengasyikkan. Setiap hari, kamu harus merasakan rasa nyeri di kepalamu yang rasanya seperti ketika ratusan burung dodo hinggap di kepalamu lalu bermain petak umpet sambil menyanyikan lagu kebangsaan Australia. Ketika tidur, kamu tidak akan bisa merasakan baik itu mimpi yang indah maupun yang buruk. Apa yang akan kamu lihat di dalam mimpimu hanyalah monyet-monyet yang wajahnya menyerupai orang yang paling kamu benci, lalu mereka akan mengajakmu mengerjakan Asesmen Nasional langsung di kantor Kementerien Pendidikan, hanya saja alih-alih Menteri Pendidikan, orang yang akan mengawasi ujianmu adalah mantri sunatmu ketika kamu belum akil baligh.

Kamu tidak akan sanggup untuk menampung segala hal yang tidak masuk akal itu, apalagi jika itu harus kamu lakukan 7 kali 24 jam. Aku sendiri selalu memutar akal bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari takdir yang menyebalkan begini. Aku tidak mau memiliki kaitan apa pun dengan Dajjal ataupun kiamat, tetapi ibuku sudah kelewat benci dengan ayahku sehingga apa yang dilakukannya menjadi di luar batas. Tentu, seorang wanita yang marah karena harga dirinya direnggut secara paksa memiliki tingkat kebengisan yang jauh lebih sadis dibandingkan Idi Amin, sehingga aku tidak bisa seratus persen menyalahkannya terhadap kontrak yang dibuatnya dengan inang Dajjal. Tetapi ketika ia membiarkan seekor siamang menghamilinya sampai akhirnya melahirkan adikku dan mengajarinya cara mengencingi foto ayahku, aku mulai berpikir bahwa di dunia ini, kewarasan hanyalah omong kosong para psikiater.

“Seberapa jauh kamu berani bertindak untuk memastikan besok kiamat?”

“Jika ada jaminan 100 persen besok kiamat, membunuh ibuku sendiri pun aku mau.”

“Jika membunuhku?”

“Kamu mau mati dengan pisau, atau kucekik sekarang juga?”

“Hei, kan belum ada jaminan 100 persen.”

“Habisnya kamu bertanya seolah-olah sudah ada jaminan, sih.”

Baik. Jadi kamu sudah siap untuk melakukan apa saja untuk memastikan kiamat terjadi dengan kecepatan seekor kecoa yang mencium bau kotoran kambing dengan antenanya. Itu bagus, tetapi tetap saja masih belum cukup untuk meyakinkanku bahwa kamu hanya perlu membelah kepalaku untuk memulai kiamat. Aku masih meragukan kekuatanmu untuk melawan para tentara Dajjal. Secepat apa pun gerakanmu, setangkas apa pun kamu, atau segesit apa pun kamu, tentara Dajjal adalah makhluk-makhluk yang sudah diseleksi langsung oleh Dajjal untuk menyebarkan kejahatan dan menjaga rahasia-rahasianya. Bahkan tidak ada jaminan bahwa tentara-tentara itu adalah makhluk kasat mata; kudengar Dajjal juga membuka lowongan kerja di alam arwah. Bisa jadi jenderal dari tentara-tentara itu adalah ayahmu sendiri, yang dulunya hanyalah tukang jual cilor.

Baik, mungkin kamu akan mengatakan bahwa tentara apa pun tidak akan bisa mengalahkanmu jika sudah bertekad. Toh, kamu sudah menunjukkan banyak peristiwa di mana kamu bisa menerpa segala apa pun yang menghadang dirimu ketika kamu benar-benar bertekad untuk melakukannya. Anehnya, sebagai seseorang yang ingin segalanya berakhir, kamu memiliki tekad hidup yang kuat. Aku ingat ketika berita televisi memberitakan bahwa kamu sudah tewas dengan 77 luka tusuk di sekujur tubuhmu, dan pasukan medis sudah membungkusmu dengan kain kafan, tetapi tiba-tiba sinyal kehidupan muncul kembali dari dirimu dalam perjalanan ke rumah sakit. Masyarakat heboh, ada seorang manusia yang sudah ditusuk 77 kali, tetapi masih hidup. Negara ingin membedahmu dan menjualmu ke Amerika Serikat, tetapi tentu: kamu yang keras kepala tidak ingin jadi bahan propaganda melarikan diri dari rumah sakit dan menyelinap ke tempatku. Sampai sekarang.

Tetapi Dajjal bukanlah makhluk yang dapat kamu tandingi hanya dengan kejadian-kejadian yang tidak masuk akal. Makhluk laknat itu sendiri berada di luar akal, sehingga apa pun keajaiban yang ada pada dirimu tidak akan bisa menembusnya. Ia adalah dia yang diceritakan oleh para iblis kepada anak-anaknya untuk membuat mereka tidur, dan ia adalah dia yang digunakan oleh para jin untuk melakukan sumpah sebelum menikah. Satu-satunya yang bisa mengalahkan Dajjal adalah Nabi Isa, dan itu pun harus dibantu dengan Imam Mahdi. Tetapi kita semua tahu, mereka berdua tidak akan datang sampai Dajjal benar-benar telah menimbulkan kerusakan yang dahsyat di muka bumi ini.

“Tetapi aneh juga ya, kenapa kamu dari tadi bicara sendiri ya?”

“Hah? Maksudmu?”

“Iya, kamu menceritakan tentang tombol kiamat yang ada di dalam kepalamu kan? Aku dengar, kok. Kamu mencoba menyembunyikannya dariku, kan?”

Dengan kecepatan Dajjal, kamu menusukkan jari telunjuk dan tengahmu tepat ke tengah-tengah dahiku, dan dengan gerakan yang sangat kasar, kamu mengaduk-ngaduk otakku sampai darah keluar dari seluruh lubang di kepalaku. Aku bisa merasakan darah segar keluar dari mulut, mata, telinga, dan hidungku sembari kamu jadikan otakku seperti bubur ayam yang baru dibeli pada pukul 6 pagi. Lalu dengan kegesitan, kecepatan, dan ketangkasan yang sama sekali di luar kelumrahan akal pikiran manusia, kamu keluarkan tombol itu dari otakku. Sisa-sisa kesadaranku masih bisa melihat apa yang kamu lakukan dan katakan sembari menimang-nimang tombol itu.

“Jangan sok-sokan rahasia-rahasia deh. Yang meminta supaya tombol ini disembunyikan di batok kepalamu itu kan aku juga.”

Kamu sedikit tertawa melihat tubuhku yang hilang kendali karena memang pusat pengendaliannya sudah tidak lebih dari ceceran benak sekarang. Seperti seekor ikan yang dilepas ke gurun pasir, tubuhku bergetar hebat sementara kepalaku seakan diisi oleh campuran LSD, obat nyamuk, dan timah panas. Beberapa saat kamu menikmati pertunjukkan yang terlihat dari tubuhku yang sudah kehilangan otaknya, dan ketika kamu sudah bosan, jari-jarimu langsung menusukku di berbagai tempat, dan yang terakhir kamu robek jantungku dan meremasnya seperti sebuah pakaian basah. Kini, di hadapanmu hanyalah sebuah mayat yang sama sekali tidak berbentuk.

“Rasain. Lagian, jadi cowok kok mainnya rahasia-rahasiaan,” ujarmu dengan sinis sembari menekan tombol yang ada di tanganmu.

Tangerang, September 2021


Kurnia Gusti Sawiji (kerap dipanggil Wiji) lahir di Tangerang, 26 November 1995. Menjalani pendidikan di University of Malaya, Malaysia di jurusan Fisika, kini penulis kembali berdomisili di Tangerang dan bekerja sebagai guru fisika di SMA Al-Fityan School Tangerang. Menulis di berbagai media daring seperti Mojok, Voxpop, dan Qureta, novel perdananya Tanah Seberang (Buku Mojok) terbit pada tahun 2018. Meraih posisi sebagai juara harapan dalam sayembara cerpen nasional oleh Nongkrong.co dengan cerpen berjudul Dongeng Pengantar Kiamat No. 4722. Pernah bercita-cita memelihara komodo, kini penulis selain menjadi guru juga bercita-cita menjadi raja bajak laut. Bisa dihubungi di Facebook (Kurnia Gusti Sawiji) dan Instagram (@kurnigs).