Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Satu Nomor dalam Piano Koktail | Puisi Kiki Sulistyo
(Pixabay)

Satu Nomor dalam Piano Koktail | Puisi Kiki Sulistyo



Satu Nomor dalam Piano Koktail

berdendang demam pucuk-pucuk blues
dari vokalmu dan moncong pistolku, Nina.
bukan untuk kulit putih, bukan untuk negara
berkembang.

apakah orang hitam menyimpan arang
di tungku dapurmu? heroin dari bisnis
apartheid. jazz menetas karena  gravitasi
mengembalikan lagi sebutir apel
ke batang tertinggi.

vokal kontralto, Nina. musik iblis menghapus
nama keluarga. orang hitam, gaun hitam,
hukum hitam, satu nomor dalam piano koktail
“kami tak pernah membicarakan pakaian dan
laki-laki. kami membicarakan Marx, Lenin, dan
revolusi.”

moncong pistol telah kuarahkan, Nina.
tekan pelatuknya. jemaat blues akan
menyanyikan segospel darah
darah seorang budak, mengotori
musik-musik industri.                

(2021)

Kenapa Tak Bergoyang Saja

musik dansa kadang membuatmu sedih,
mengenang kota jauh
dengan penyihir salju dan rusa-rusa santa

di sini main kartu sudah bikin matahari jatuh
badai dari tulang terbakar, membangunkan
ratu dan jaring-jaringnya,

di luar jendela, seekor angsa biru, kolam
tempat narsisus berenang dengan mata
buta, dan patung filsuf. sepertinya ada
yang melintas, sebentar, seperti bunyi
paku tertancap di paru-paru.

tapi musik dansa telanjur meluap
sampai jauh, ke bukit-bukit malam.
kenapa tak bergoyang saja, meniru
tik tok jam, ratu sudah berdiri, dengan
kaki-kaki orang mati. tinggal pejam,
pejamkan pelupuk, dunia baru akan
terbentuk.

(2021)  

Rajah Rebelia

malam yang agung untuk kejahatan
debu bintang gugur dari jari malaikat ziggy
di tembok-tembok tertulis dengan darah,
rajah rebelia; anarki tak pernah mati!
dalam ambang bowie, psikedelia lsd,
kultur tanding berdiri dan mengayunkan
kaki; bunyi konstan melempar siapa saja
ke pengalaman lain. sebuah negeri tanpa
negara. orang telanjang dan bernyanyi.
musim semi menjulurkan benang perahu
tempat para pengantin bergantungan
dan menyalak bagai paus purba.di luar itu semua, cuma dunia, dengan
tabung-tabung oksigen memerahkan
paru-paru. memutihkan detak jantungmu.

(2021)

Neon di Pembuluh Darahmu

neon di pembuluh darahmu berkedip-kedip
seperti siren ambulans. langit jadi kroma,
dengan sirip ikan dan tembikar es.

lewat paruh digital, burung-burung berkicau
sebelum mematuk berita penuh ulat
mereka tak punya sayap. cuma bergeser
dari halaman ke halaman.

kau ingin berbaring seperti mumi, merasakan
bumi semata  gasing. hatimu sudah jatuh
pada tuhan seseorang, menjadi eva yang lain.

di bawah neon itu, ia berdansa, bunyi sepatunya
meretakkan jantungmu. burung-burung lalu bisu,
bertelur dalam kasih sayang bulan. demikian dalam,
sampai-sampai kau tenggelam, dan tergenggam,

hanya sebagai kerlip sinyal

(2021)

Bagaimana Cara untuk Kembali Tidur

sering ada datang mimpi; lorong sempit
dan orang gila dengan granat di mulutnya.
juga polisi. kaki-kaki mimpi demikian panjang
sehingga aku mesti mendongak untuk melihat
parasnya.

terjaga pukul tiga, dan tahu, ada batu surga
berdenyut di balik dada. maka membayang
sumur mati dini hari, hantu orang hilang,
buah dada yang disayat seperti  apel eva.

bagaimana cara kembali ke taman, tempat
pengetahuan dilarang, benda-benda belum
punya nama, dan aku, tak lebih dari gagasan
gagal perihal sebaris kausal.

bagaimana cara untuk kembali tidur, sementara
yang berjaga di gerbang adalah pikiranku sendiri.
(dia mirip aku tapi dalam versi yang lebih purba)
bila bersama, kami planet kembar yang terus
bertabrakan, membentuk figur yang parasnya
buruk sekali, seperti paras mimpi.

(2021) 

Mata Bajak Buta, Dinyalakan Lewat Petisi

sematkan di pundaknya kancing-kancing mawar
sebelum eulogi berjatuhan. sayap gagak mengepak
dari reruntuhan lazarus, untuk kebangkitan,
panorama jadi kemerah-merahan.

sebatang tiang berdiri, tiang politik yang meminjam
kaki petani. mata bajak buta, dinyalakan lewat
petisi. saat sianida tertebar, seperti penyihir salju,
ia beku, memang, tapi bekunya beku api yang
membakar kurusetra.  

masih kau sekam di bawah jerami, ketika turun
ke jalan, memanah rembulan yang cuma bersinar
dalam gedung dewan. apa yang dituntut selain
apa yang memang patut? rembulan mesti pecah,
dan biarkan sinarnya menyentuh semua wajah.

(2021)

Di Depan Mesin Tulis

ijazah sekolah menengah
disimpan di laci; paham bahwa jam kerja
tak dihitung ketika upah menyumpal kata-kata.

kacang panjang dalam panci elektrik,
tofu formalin, kawanan lalat hinggap
di sisa tomat, seperti  buruh-buruh
pada hari kerja.

bila adzan dan makan siang memenuhi perutmu
apa guna puisi, kode semantik
yang cuma bisa melemparmu dari titik ke titik    

di depan mesin tulis, kata-kata bagai barisan
siswa, menyimpan manusia di mata digitalnya.

(2021)


Kiki Sulistyo, lahir di Ampenan, Lombok.Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari?, dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti. Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (2020).