Celeng dan Kambing
Cerpen Indarka P.P
Sebenarnya ada banyak hal yang membuat aku menyesal, tetapi dari semua itu, kegagalan membunuh celenglah yang paling membuatku menyesal. Bukan karena tak mampu, melainkan ada hal lain yang membuatku urung menghabisinya malam itu.
Sejak usia lima belas tahun, aku kerap ikut bapak ke ladang. Dari sanalah aku tahu, bahwa sebenarnya bapak tak sekadar memeriksa tanaman. Lebih dari itu, bapak berburu celeng yang telah merusak tanaman jagung. Secara tidak langsung, aku belajar teknik berburu darinya. Kini, semenjak bapak sakit, akulah yang menggantikannya mengurusi ladang.
Suatu malam saat bulan purnama, berbekal tombak runcing, aku pergi ke ladang seorang diri. Sudah tiga puluh menit aku menyusuri jalan setapak melewati tepi bukit. Setibanya di sana, aku memosisikan diri di balik semak berjarak sekitar lima kali panjang tombak dari tanaman jagungku. Aku bersiap. Mengantisipasi jika seekor atau bahkan sekawanan celeng melintas dan beraksi.
Dalam pengintaian itu, sesekali kudengar suara dari semak-semak. Tak berlangsung lama, suara itu hilang. Suasana pun kembali senyap. Sembari menunggu, aku menyulut sebatang rokok guna menghalau kebosanan dan menjaga kewaspadaanku memperhatikan situasi. Waktu terus berjalan, aku kembali mendengar suara dari balik semak. Semakin lama, semakin jelas. Aku mengendap-endap berjalan pelan menuju sumber suara.
Itu dia. Seekor celeng terlihat mengendus-endus, lalu memakan tanaman jagung. Kurang ajar! Aku mulai geram. Sejenak kubiarkan celeng itu makan beberapa batang jagung lagi. Aku menunggu celeng lengah, dan pada saat itulah akan kuhujamkan tombak runcing ke tubuhnya.
Sekian menit menanti, kurasa ini kesempatan yang tepat untuk menghabisinya. Dengan posisi jongkok, aku mulai mengangkat tombak dengan memperkirakan arah. Ketika instingku merasa target telah terkunci, tiba-tiba aku melihat tiga anak celeng mengekor di belakang celeng sasaranku.
“Sialan!” Aku menggerutu pelan. Seketika tombak batal kuayunkan.
Kuperhatikan dengan saksama, induk celeng mematahkan batang demi batang jagung, lalu memberikan pada anaknya. Alih-alih semakin berang, melihat mereka, rasa geramku malah surut. Saat itu aku benar-benar bimbang, sampai muncul pemikiran: betapa kejinya aku andai benar-benar membunuh induk celeng, sementara tiga ekor anaknya masih sangat menggantungkan hidup padanya. Akhirnya kuurungkan niat untuk menghabisi celeng itu. Aku bangkit dan mengusirnya. Gesit induk celeng dan anak-anaknya berlari ke semak. Aku pulang dengan tangan hampa.
Setibanya di rumah, aku langsung membersihkan diri. Sebelum istirahat, terlebih dahulu aku menjenguk bapak di kamar. Kulihat tubuh kurusnya itu terbaring di ranjang. Lantas aku menyelimutinya. Di keheningan malam, aku merebahkan badan di dipan ruangan utama. Pikiranku kembali berkutat pada peristiwa yang baru saja kualami. Jika celeng terus merusak tanaman jagungku, maka harapan untuk membawa bapak berobat hanya jadi angan semata.
Sudah dua kali bapak mangkir dari dokter. Padahal penyakit yang mendera bapak adalah penyakit jantung. Tentu saja membutuhkan biaya berobat besar. Aku pernah memberanikan diri meminta izin bapak ingin menjual kambing untuk keperluan berobatnya, tetapi bapak melarang. Katanya, bapak ingin berobat menggunakan uang hasil panen.
Karena penyakitnya itu, seringkali aku melarang bapak melakukan pekerjaan yang menguras tenaganya, sekalipun hanya pekerjaan sederhana.
“Tanaman jagung sudah kuurus baik-baik, Pak. Kini tinggal menunggu panen. Semoga hasilnya bagus.”
***
Hari terus bergulir. Bapak mengingatkanku bahwa sebentar lagi waktunya panen. “Dua pekan lagi panen, kan, Nak?” tanyanya saat kami sedang duduk di depan teras rumah.
“Kau tak mungkin memanennya sendiri, Nak. Begini saja, kambing itu bisa kau jual untuk biaya panen.” Bapak memandangku lekat.
Aku jadi heran. Dulu, sewaktu aku ingin menjual kambing untuk biaya berobat bapak, bapak melarangku. Tapi hari ini, ia malah menyuruhku untuk menjual.
“Kambing itu satu-satunya harta yang tersisa, Pak,” kataku. “Aku tak setuju. Lagi pula, kambing itu kan punya anak. Kalau dijual kasihan anaknya.”
Sebenarnya yang dikatakan bapak ada benarnya. Aku tak mungkin sendirian memanen jagung. Kendati ladang tak begitu luas, tetap saja perlu bantuan orang lain.
“Anak kambing sudah cukup usia. Jadi bisa bertahan hidup meski tanpa induknya,” kata bapak. “Kalau tidak jual kambing, lantas dapat uang dari mana?” Bapak mendesakku.
Akhirnya aku mengiyakan perintah itu. Aku tak ingin berdebat dengan bapak, karena itu tidak baik untuk kesehatannya. Terlebih bapak satu-satunya orang yang aku punya saat ini. Ibu telah mendahului berpulang, tiga tahun lalu. Beberapa bulan setelah kepergian ibu, bapak mengalami strok. Sejak itu, akulah yang merawat bapak. Setelah pulih dari strok, bapak justru mendapat keterangan dari dokter mengidap penyakit jantung. Penyakit ini sewaktu-waktu bisa kambuh, dan berrisiko meninggal mendadak. Oleh karena itu, aku sangat memperhatikan kondisi bapak.
Bapak pernah bercerita, bahwa aku baru lahir ketika usia perkawinan bapak dan ibu telah berjalan lima belas tahun. Dan artinya, pada saat itu bapak dan ibu sudah berusia kepala empat.
“Meski begitu, kami tetap bersyukur, Nak. Kau anugerah terbaik dalam hidup kami,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum tipis.
Mendengarnya, spontan kupeluk erat tubuh bapak. Air mataku keluar begitu saja. Ketika kupandang wajah bapak, ternyata ia pun demikian. Kami larut dalam keharuan. Di saat seperti itu, aku yakin ibu sedang menyaksikan kami berdua dari alam yang berbeda.
Waktu panen tinggal sepekan lagi. Aku memikirkan banyak hal yang perlu disiapkan. Tetapi di sela-sela itu, terdengar suara panggilan berasal dari luar rumah yang membuatku cukup terkejut.
“Gir… Gir!”
Itu Lik Sam. Aku segera membuka pintu dan mempersilakannya masuk.
“Ada apa, Lik?”
“Celeng, Gir. Celeng! Separuh ja…jagungku ha…bis,” ucap Lik Sam terbata-bata. “Jagungmu juga dimakan, Gir!” pungkasnya.
Tanpa menunggu lama, aku dan Lik Sam bergegas menuju ladang. Dan benar adanya, lebih dari separuh jagung Lik Sam lenyap dibabat celeng. Jagungku pun tak kalah parah.
“Benar-benar celeng![1]” Aku naik pitam. “Nanti malam akan kuburu celeng itu, Lik.” Kali ini aku tidak akan menyianyiakan kesempatan.
“Aku ikut, Gir!” sahut Lik Sam.
Lik Sam menggerutu karena kesal akibat kelakukan celeng. Tetapi aku tidak begitu memahami perkataan Lik Sam. Ada yang lebih kupikirkan daripada itu. Tadi, sewaktu Lik Sam menyampaikan perihal celeng yang menyerbu ladang ini, pasti bapak juga mendengarnya. Aku khawatir pikiran bapak jadi kalut, yang mana akan berakibat buruk pada kesehatannya.
“Gir!” Lik Sam memecahkan lamunanku. Ia lantas mengajakku pulang.
Setibanya di pekarangan, aku melihat kerumunan orang berada di rumahku. Aku berlari dan menerobos kerumuman itu. Aku mendapati bapak telah terbaring lemas di dipan. Tangisku pecah. Sayup-sayup kudengar, “Yang sabar, Gir. Sing tabah ya, Le.”
Di tengah ratapanku, aku kembali ingat ketika menolak perintah bapak untuk menjual kambing. Sekarang aku mengerti, mungkin waktu itu bapak sangat dekat dengan Tuhan, dan perihal yang ia katakan dulu tak lain adalah pesan dari Tuhan.
Indarka P.P, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Alumni Fakultas Syariah, IAIN Surakarta. Saat ini bermukim di telatah Kartasura.
[1] Umpatan. (Pada beberapa kondisi, kata ‘celeng’ sering digunakan sebagai ekspresi kesal atau marah)