Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kutu Warisan di Kepala Ibu | Cerpen: A. Warits Rovi
Ilustrasi: Merikokeb Berhanu

Kutu Warisan di Kepala Ibu | Cerpen: A. Warits Rovi



Jari-jemariku telah lihai menjelajah nyaris tiap jengkal rambut ibu dan menjumput seekor kutu darinya. Kutu-kutu hitam legam sebesar biji wejan itu kutindas dengan pangkal kuku pada alas khusus dari pecahan sirap kayu hingga tubuhnya pecah dan bunyinya karib di telinga. Ibu akan tersenyum dan terlihat seperti mendengar kabar menggembirakan setiap kali mendengar bunyi pecahan tubuh kutu itu. Katanya, setiap bunyi pecahan kutu itu punya makna tersendiri. Itulah sebabnya ia memberiku alas khusus yang bisa menimbulkan bunyi pecahan tubuh kutu agak keras dan sampai saat ini masih belum diganti meski bekas lecet ratusan tubuh kutu di sirap itu sudah hitam menebal.

Sementara di balik upayaku menghabisi kutu-kutu itu, ibu juga berupaya mengembangbiakkan dan menyehatkan kutu-kutu tersebut dengan olesan gula aren dan parutan kelapa yang rutin ia lakukan tiap dua hari sekali. Kebahagiaan ibu akan purna dalam rupa denyar mata dan pincuk bibir menakir senyum bila ia melihat rambut panjangnya  tampak dirayapi banyak kutu dengan telur halus putih menyebar penuh bagai tikai pasir. Seolah kemakmuran kutu-kutu di kepalanya adalah kemakmuran dirinya. Sedang ketika ia menyuruhku memilah dan menindas sebagian kutu hanya sebagai upaya mengurangi rasa gatal saja. Andai tidak gatal, ibu ingin ribuan kutu bermukim di kepalanya.

“Kenapa kutu-kutu ini tidak dikasih racun saja seperti punya Bi Santi, Bu?” tanyaku suatu ketika.

“Aku ingin kutu-kutu ini terus beranak-pinak di rambutku.”

“Tapi pada akhirnya kan dibunuh juga, Bu.”

“Yang dibunuh kan hanya sebagian. Sebagian yang lain tetap bisa beranak-pinak. Intinya, aku tidak ingin membuat kutu-kutu ini punah di kepalaku.”

“Kenapa, Bu?”

“Karena ini bukan kutu biasa. Ini kutu warisan sejak nenek moyang dari kepala ke kepala secara turun-temurun.”

Hal lain yang tak kumengerti dan membuatku bertanya tapi tak dijawab adalah ketika ibu mewajibkan ayah punya kutu. Peraturan sepihak itu ibu lakukan sejak ayah bekerja di tambang dan sering menginap di tempat itu. Ketika ayah hendak berangkat atau sepulang kerja, ibu pasti memeriksa keadaan kutu-kutu di kepala ayah. Sebagaimana aku, ayah juga tak mengerti pada tindakan nyeleneh ibu, tetapi demi rasa sayang, akhirnya ayah menuruti saja kemauan ibu, membiarkan kutu-kutu beranak pinak di kepalanya hingga membuat rambutnya awut dan apek oleh luluran telur-telur kutu yang bertaburan mirip pasir.

#

“Santi, kamu sudah remaja. Sudah saatnya kamu punya kutu,” kata ibu pagi itu ketika aku sedang duduk di depan cermin sambil menyisir rambut. Tentu saja aku terkejut mendengar saran itu. Sontak tanganku menghentikan gerakan sisir dan membiarkannya lekat di bagian rambut yang agak kusut. Menatap tajam wajah ibu melalui cermin.

“Apa? Saya harus punya kutu, Bu?” tanyaku tegas.

“Iya, San. Itu saran tetua kita demi keselamatan,” suara ibu terdengar di belakangku. Di datar cermin, ibu terlihat tersenyum.

Aku membalikkan badan hingga tepat berhadap-hadapan langsung dengannya.

“Di usia remaja itu mestinya aku harus bersih, rapi, dan wangi, Bu. Bukan malah harus berkutu.”

“Tapi ini anjuran dan kebiasaan tetua secara turun-temurun, San!”

“Apa setiap kebiasaan tetua harus dilestraikan bila itu tak bermanfaat bahkan membawa madarat, Bu?”

“Kamu jangan membangkang!”

“Aku bicara apa adanya, Bu.”

“Itu karena kamu belum tahu manfaatnya.”

#

Sekitar seminggu setelah ibu memintaku untuk punya kutu, ternyata rambutku benar-benar dihuni kutu. Mungkin ibu diam-diam telah menyelinap masuk ke dalam kamar saat aku tidur dan menaruh beberapa ekor kutu di rambutku.

Mulanya hanya sedikit, secara rutin masih bisa kutanggalkan dari rambut dengan sisir rapat. Selain itu, aku juga sigap membeli racun kutu dan mengoleskannya ke rambut meski baunya membuatku mual dan kadang muntah.

Hari demi hari, kutu-kutu di kepalaku semakin banyak meski rutin diracun. Kulit kepalaku selalu gatal. Tak jarang sebagian kutu itu jatuh ke baju, meja, buku, dan ke benda lain di sekitarku. Amarahku memuncak saat melihat kutu-kutu itu. Aku menindasnya dengan keras sambil kuputar-putar jari yang kugunakan untuk menindas hingga tubuh kutu itu halus menghitam.

Di depan cermin, aku melihat kutu-kutu itu seperti menemukan kemakmuran berlimpah di rambutku yang kini bau dan awut. Rambut yang dulu hitam lurus dan rapi, kini mulai kusut berparam banjut telur kutu yang berupa titik-titik putih halus.

Beberapa hari kemudian terbersit keinginan untuk menggunduli seluruh rambut sebagaimana yang pernah dilakukan ayah beberapa waktu lalu. Tapi aku tak bisa membayangkan ketika kepalaku gundul; kepala seorang perempuan yang mestinya bermahkota rambut yang indah.

“Tak apalah awalnya pahit yang penting hasilnya manis,” timbangku dalam dada.

Keesokan harinya ayah pulang setelah sekitar seminggu di tempat kerja. Sebelum ke salon, aku berunding dengannya mengenai kutu yang ada di kepalaku, sekaligus kuutarakan rencanaku untuk menggunduli rambut agar kepalaku tak lagi berkutu. Tapi ayah malah tertawa mendengar rencanaku.

“Percuma kau, Santi. Dulu kepalaku sudah dibikin plontos tanpa rambut sebagaimana yang kautahu. Tapi kutu-kutu itu tetap tak pindah dan tak mau pergi. Ia tetap menempel di kulit kepalaku. Beberapa kali kugosok dengan kain beroles racun, kutu-kutu itu memang jatuh, tapi anehnya seperti muncul kutu lain dari dalam kepala. Aku hampir putus asa melawan kutu-kutu itu,” cerita ayah dengan tatap yang cerlang.

“Lalu yang berhasil bagaimana, Yah? Sekarang saya lihat rambut ayah sudah tak berkutu kan?”

“Aku….”

Suara ayah tiba-tiba terpotong. Ayah bergeming. Ia hanya menopang dagu pada tangan kanannya yang tegak beralas meja. kedua matanya menatap ke atas seperti tengah menimbang sesuatu untuk diungkapkan. Berseling deru napas yang dilepas keras di antara jeda yang ditingkahi kecius angin di luar ruangan. Sesekali ayah juga melirik wajahku. Tapi tetap diam.

#

Pada hari yang kuanggap baik, aku tetap pergi ke salon untuk menggunduli rambut. Tapi hari itu ternyata hari yang tidak baik. Saat duduk di kursi antrean, seorang wanita pindah posisi ke dekatku, mulanya ia menanyakan namaku dan segala hal yang berhubungan denganku, termasuk bertanya tentang ayah. Aku menjawab semua pertanyaanya dengan jujur sambil bermain game; berusaha lolos dari level sulit yang sudah empat kali mengalami game over.

Ketika aku hampir berhasil dari level itu, sekonyong-konyong wanita yang duduk di sampingku itu menjambak rambutku seraya marah-marah, membuat semua yang ada di salon beralih tatap memandang kami.

“Rambutmu jelek sama seperti rambutku. Bau dan penuh kutu. Kau tahu, rambutku jadi berkutu gara-gara ayahmu,” suara wanita itu menyentak keras.

“Lho! Kok bisa seperti itu?” tanyaku agak gemetar.

“Karena ayahmu pernah tidur denganku,” suara wanita itu bertambah nyaring. Kedua matanya terbelalak. Telunjuknya menuding tepat di depan mataku.

Mendengar kata-kata itu, kepalaku terasa sudah gundul. Aku menjerit sambil beranjak pergi dari salon itu. Menahan rasa malu. Kutu-kutu di rambut seperti pindah ke dalam kepala. Pusing.

Saat tiba di halaman rumah, ayah dan ibu sedang beradu mulut di beranda. Keduanya bersitegang dalam obrolan serius dengan intonasi tinggi.

“Kamu jangan berbohong, Mas. Aku yakin kamu pasti pernah selingkuh dengan wanita lain. Buktinya, kutu yang ada di kepalamu tidak ada, itu tandanya pindah ke rambut wanita lain. Kutu itu bukan kutu sembarangan. Itu kutu warisan dari nenek moyang, yang di antara manfaatnya adalah bisa jadi penanda bagi suami apakah pernah serong atau tidak. Jangan sangka kutu itu tak ada manfaatnya,” suara ibu mengalahkan suara beberapa ayam yang sedang ribut di halaman.

“Aku tidak bohong, Bu,” jawab ayah tegas tapi kemudian ia terlihat gugup.

“Jangan mengelak. Ngaku saja, Mas. Kutu yang kutaruh di kepalamu itu akan terus lekat meski kepalamu dibikin gundul sekalipun. Dan ia hanya bisa pindah bila kamu tidur dengan wanita lain. Begitu yang kutahu dari ibu, ibu tahu dari nenek, nenek tahu dari eyang, eyang tahu dari orangtuanya yang intinya bersumber dari nenek moyang,” tegas ibu kian lantang.

Melihat kenyataan itu, kepalaku sudah terasa gundul, tapi kutu-kutu di rambut ibu dan di rambut wanita yang bertemu di salon itu seperti pindah menyatu di kulit kepalaku, dan menyesap semua darahku.


Kutu Warisan di Kepala Ibu | Cerpen: A. Warits Rovi

A.Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra tingkat nasional.  Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020), “Bertetangga Bulan” (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472.