Apa-apa yang Perlu Kamu Pelajari dari Film Ghibli Princess Mononoke
Berita Baru, Film – Sebagian film lahir bukan hanya sebatas dinikmati sebagai suguhan kreasi audio-visual. Ada pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh si pencipta dalam hal ini sineasnya, kepada para penonton film.
Kita perlu memperlakukan Princess Mononoke dengan cara yang sama: ini bukan sekadar film lain dari Studio Ghibli yang unggul dalam animasi. Princess Mononoke menarasikan cerita yang dengan gamblang mengangkat isu lingkungan hidup dan manusia yang mengitarinya. Kira-kira, berikut ini poin yang kudu kamu pelajari dari Princess Mononoke.
Eksploitasi atas alam
Manusia memiliki kecenderungan menguasai. Barangkali, manusia berpikir dirinya adalah makhluk Tuhan yang hebat dan dianugerahi akal. Harusnya akal itu mengarahkan pada sikap adil terhadap makhluk bumi. Namun yang terjadi adalah: manusia cenderung mengeksploitasi alam. Kesadaran bahwa alam adalah sesama makhluk nampaknya belum menjadi kewajaran.
Karena dipandang sebagai “benda mati,” alam akhirnya diperlakukan seenaknya, dibakar, ditebangi, dibunuhi, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada siapa-siapa yang tinggal di sekitarnya.
Bercermin dari kisah nyata
Pernah dengar kan kasus kebakaran hutan di Amerika, Australia, hingga Indonesia? Pembakaran ini terjadi karena beberapa hal, salah satunya adalah upaya pembukaan lahan baru yang akan dimanfaatkan menjadi entah-apa oleh si penguasa.
Dalam kasus Mononoke, pembersihan hutan ditujukan untuk membuka lahan penggalian besi yang merupakan rencana Lady Eboshi. Karena stok besi dalam desanya sudah habis, mereka berencana menggali besi dari bawah gunung, yang artinya mereka harus menggunduli hutan dan membunuh makhluk-makhluk di dalamnya.
Padahal, yang hidup di dalam hutan bukan hanya binatang, tapi juga manusia, dalam hal ini Mononoke. Di kehidupan nyata, hutan juga ditinggali oleh masyarakat adat atau suku tertentu. Tengoklah yang ada di Indonesia maupun Amerika.
“Alam” memiliki cara untuk melawan
Keserahan Eboshi menjadikan kelompok binatang di dalam hutan semakin tak bisa berpikir jernih. Para kera, misalnya, yakin bahwa mereka harus memakan manusia untuk mencuri kekuatannya agar mereka dapat melawan manusia yang jumlahnya lebih banyak. Mereka yakin bahwa jika mereka membunuh manusia, mereka akan bisa menjaga hutan.
Sementara hal itu ditentang oleh Mononoke dan kumpulan serigala yang merupakan keluarganya. Membunuh manusia secara asal-asalan tidak menyelesaikan masalah, meski Mononoke juga percaya bahwa dirinya harus melakukan perlawanan, termasuk secara fisik.
Peperangan hanya akan menimbulkan lebih banyak kebencian. Hal ini diungkapkan oleh Ashitaka, ia mengatakan bahwa yang ia inginkan hanyalah manusia dan hutan dapat hidup berdampingan tanpa eksploitasi satu sama lain.
Namun pada akhirnya, kita tahu kekuatan Dewa Hutan menjadi salah satu faktor penting yang menjadikan hutan selamat dari keserakahan manusia. Kehadiran karakter Dewa Hutan dalam hal ini cukup menarik, mengingat banyak kelompok tertentu yang meyakini bahwa hutan tak pernah benar-benar “kosong.”
Pentingnya pemberdayaan
Pemberdayaan menjadi salah satu yang terlewatkan di Kota Besi. Penduduk Kota Besi menganggap Lady Eboshi adalah orang yang sangat baik. Memang benar bahwa Lady Eboshi berusaha memberikan kehidupan bagi rakyat di kota tersebut.
Meski di satu sisi, mereka tak menyadari bagaimana Lady Eboshi memanfaatkan mereka untuk meraih keuntungan. Penduduk Kota Besi tidak memiliki kemampuan untuk menganalisis hutan karena tak ada sumber daya yang membantu mereka. Misalnya, mereka tak tahu apa yang tinggal di sana, kehadiran Dewa Hutan, dan hal-hal lainnya. Yang mereka tahu hanyalah, mereka harus menggali hutan demi tetap hidup.
Dampak-dampak meluas
Keserakahan yang awalnya sedikit, berimbas pada dampak-dampak yang luas. Awalnya, kemurkaan binatang di dalam hutan hanya menjadi masalah bagi Eboshi. Demi melawan babi hutan, tim Eboshi menyelipkan sebuah racun atau kutukan ke dalam tubuh babi tersebut. Ini menyebabkan si babi kesetanan, dan kabur sampai ke desa seberang, tempat Ashitaka berada.
Desa Ashitaka diserang, meski tak seberapa parahnya. Namun, dapat dilihat bagaimana perusakan hutan mampu berakibat luas. Misalnya, pada kasus kebakaran hutan di Indonesia, asapnya lari kemana-mana, bahkan mengakibatkan penyakit hingga kematian bagi warga sekitar.