Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Review Film Princess Mononoke, Mengulik Relasi Manusia dan Alam

Review Film Princess Mononoke, Mengulik Relasi Manusia dan Alam



Berita Baru, Film – Penggemar Studio Ghibli harusnya nggak melewatkan Princess Mononoke. Film yang berlatar di Jepang pada periode Marumachi namun dengan tambahan elemen-elemen fantasi. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Hayao Miyazaki yang rilis pada 1997. Pada tahun itu, Princess Mononoke menjadi film berpenghasilan tertinggi di Jepang, sebelum akhirnya dikalahkan oleh Spirited Away, fim animasi Studio Ghibli lainnya yang juga ditulis oleh Miyazaki.

Sinopsis Film Princess Mononoke

Review Film Princess Mononoke, Mengulik Relasi Manusia dan Alam

Princess Mononoke dibuka dengan Pangeran Ashitaka. Suatu hari, ia terkena kutukan iblis dari seekor babi hutan yang menyerangnya. Kutukan itu menempel pada tangannya dan menjadikan Ashitaka terluka. Bahkan perlahan, luka itu aka menyebar dan mengambil nyawanya.

Kutukan itu menyebarkan kebencian, membuat orang yang terinfeksi menjadi gila. Hati dan dagingnya bakal digerogoti, dan mengubahnya menjadi monster iblis. Ia memang berhasil membunuh babi hutan itu, namun kini ia harus mencari penyembuhan.

Karena dari dalam tubuh si babi, ditemukan bola besi yang menjadi sumber dari racn tersebut. Untuk itu, ia harus mencari obat ke Barat, ke sebuah kota bernama Kota Besi. Nama itu mewakili mata pencaharian utama di kota tersebut. Perempuan dan lelakinya bekerja sebagai pandai besi. Mereka memanfaatkan besi untuk membuat senjata, dan lain-lain.

Namun untuk bisa menemukan obatnya, Ashitaka harus melihat segalanya tanpa rasa benci. Perjalanannya mencari penyembuhan sungguh rumit. Ia dihadapkan dengan fakta bahwa babi hutan yang mencelakai tangan Ashitaka dengan racun adalah “korban” keserakahan Lady Eboshi.

Lady Eboshi adalah pemimpin Kota Besi. Karena besi di dalam kota sudah habis tergali, kini mereka ingin menggali besi di bawah gunung. Untuk itu, mereka harus menguasai hutan, menebang pohon, membunuh binatang di dalamnya termasuk babi hutan, kera, dan serigala, bahkan membunuh Dewa Hutan demi menguasai tanah di Hutan dan menambang besi di sana.  

Keserakahan Lady Eboshi mengundang amarah mahkluk hutan. Ia telah membakar hutan, membunuh hewan-hewan, mengakibatkan semua makhluk di sana membenci manusia. Ini makin menghambat jalan Ashitaka. Pasalnya, yang dapat menyembuhkan kutukan di tangannya adalah Dewa Hutan, sosok yang ingin dibunuh Eboshi.

Salah satu penjaga hutan yang dikenal tanggung adalah Princess Mononoke, seorang manusia yang dibesarkan oleh serigala di dalam hutan. Ia mati-matian mencegah manusia menghancurkan hutan yang menjadi tempat tinggalnya dan makhluk-makhluk lain di dalamnya. Akankah Ashitaka menemukan obat dan melepaskan kutukannya?

Review Film Princess Mononoke

Meski sudah rilis sejak tahun 1997, film Princess Mononoke masih memiliki relasi yang kuat dengan kehidupan sehari-hari kita. Sebagaimana film animasi Studio Ghibli lainnya, Princess Mononoke juga menyajikan isu sosial dan lingkungan yang relevan. Ini juga sekaligus menjadi salah satu faktor yang menjadikan film Princess Mononoke menjadi favorit banyak orang.

Dibanding kebanyakan film animasi Ghibli lainnya, narasi film ini lebih gamblang mengkritisi eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan, terutama melalui kacamata Ashitaka dan Mononoke.

Dari segi alur cerita, Princess Mononoke cukup sederhana dan lugas, sehingga dapat dinikmati. Penokohan karakter-karakter di dalamnya juga kuat.

Yang jelas, Princess Mononoke berhasil menarasikan problem sosial dan lingkungan, tanpa pendekatan yang mendakik-dakik. Bagaimana kekayaan dan kekuasaan menjadikan manusia begitu serakah, terus-menerus ingin menguasai dengan lebih dan lebih. Upaya menguasai itu hanya fokus pada penguasaan hutan dan penggalian benda alam di bawah gunung, tanpa didampingi dengan rencana penyelamatan lingkungan hidup setelahnya.

Tentunya, problem ini sangat relevan dengan isu lingkungan di Indonesia saat ini, dimana banyak terjadi “penggusuran” baik menggusur manusia dan alam. Apalagi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak mengarah pada pelestarian lingkungan hidup.