Liberalisme Wahib dan Pembelaan Gus Dur
Sudahlah kondang bagaimana sepak terjang Ahmad Wahib dalam dunia pemikiran Islam Indonesia. Lahir di Sampang 9 November 1942, dari keluarga kiai bercorak khas Madura membuatnya ahli dan paham terhadap teks-teks agama Islam. Setelah selesai studi di pondok pesantren, ia hijrah ke Jogjakarta dan meniti karir di UGM. Dan inilah tempat yang cocok baginya untuk bertempur dalam dunia pemikiran.
Semasa kuliah, ia bersama rekan-rekannya membuat forum diskusi terbatas yang bertempat di masjid kampus UIN Sunan Kalijaga. Disitulah, berbagai pemikiran dari filsafat, ideologi, agama, sampai sepak terjang politiknya, dibahas dengan panjang lebar dan mendalam.
Semakin lama, pemikiran-pemikiran Wahib kian berbeda dan keluar dari mainstream pemahaman Islam kala itu. Lebih tepatnya, ia dijuluki liberal oleh orang-orang yang berpaham Islam konservatif. Namun sebaliknya, bagi orang yang berpaham Islam terbuka, ia disebut sebagai pemikir dan pembaharu Islam.
Berikut beberapa cuplikan pemikiran Wahib yang diambil dari catatan hariannya yang dihimpun dalam buku yang diberi judul ‘Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib’ oleh Djohan Efendi;
“Dalam gereja mereka, Tuhan adalah pengasih dan sumber segala kasih. Sedang di masjid atau langgar-langgar, dalam ucapan dai-dai kita, Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan dengan neraka ditangan kanannya dan pecut api ditangan kirinya.”
“Tiap-tiap agama harus merasa bahwa dialah agama Allah. Dialah yang universal dan abadi.”
“Kalau betul Islam itu membatasi kebebasan berpikir, sebaiknya saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadap Islam ini. Maka, hanya ada dua alternatif yaitu menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah, atau malah menjadi kafir.”
“Namun, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak saya yang selalu bertanya tentang Dia. Saya percaya bahwa Tuhan itu segar, hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan.”
Dalam keyakinannya, seringkali Wahib menunjukkan perhatiannya terhadap agama lain, juga sebaliknya, ia tak jarang mengkritik agama Islam. Tapi, bukan dalam ranah ajaran, melainkan dalam konteks penafsiran atau kelakuan sebagian umat Islam yang merasa paling benar sendiri dalam agamanya.
Namun, walaupun ia begitu perhatian terhadap agama selain Islam, secara jelas ia mengatakan tetap beragama Islam dan percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Bijaksana dan sayang padanya.
Walau pemikiran Wahib sangat berpengaruh, tapi ia wafat dalam usia muda. Seperti sebuah mukjizat, pemikiran-pemikiran Wahib tetap hidup walau ia telah tiada. Maka terjadilah diskusi-diskusi panjang tentang pemikiran-pemikirannya, dari mahasiswa sampai guru besar, dari santri sampai kyai, dari akademisi sampai ulama.
Naasnya, karena orang-orang Islam konservatif tidak terima dan merasa dilecehkan agamanya oleh Wahib, maka karya-karyanya dilarang terbit dan beredar. Tentulah, menjadi kerisauan besar bagi kawan-kawan Wahib dan pendukung pemikirannya.
Sampailah suatu Ketika Gus Dur menyatakan pembelaan terhadap Wahib. Ya, bapak pluralisme Indonesia ini sangat menyayangkan sebagian kelakuan orang-orang Islam konservatif.
Dalam esainya yang terbit di Koran Tempo, secara terang Gus Dur mengatakan ketidaksetujuannya kalau buku sepenting karya Ahmad Wahib di-‘lenyapkan’ begitu saja. Semangat merumuskan kembali jawaban-jawaban Islam terhadap tantangan hidup haruslah dipelihara, terlepas dari ekses-ekses yang umumnya bersifat peremehan dalam arti pendekatan tekstual terhadap ajaran agama yang sudah mapan.
Yang saya pahami dari Gus Dur, biarlah semua pemikiran beradu dan menemukan titik kebenarannya masing-masing. Sehingga, Islam segar dengan gagasan-gagasan yang baru, tidak jumud ataupun stagnan. Jika Islam hanya memelihara pandangan-pandangan lamanya tanpa merenovasi dan mereduksi dengan sudut pandang yang baru, disitulah titik kelemahan dan kemundurannya. Zaman telah berubah, Islam harus beradaptasi.
Kata Gus Dur, biarlah pemikiran Wahib mengendap dalam kegiatan berpikir keagamaan kaum muslim, hingga nantinya akan ditentukan oleh sejarah, relevan atau tidaknya bagi kebutuhan mereka. Tragedi atau kreativitas, biarlah ditentukan oleh perkembangan di kemudian hari, jangan dipaksa sekarang.
Walaupun Gus Dur perhatian terhadap pemikiran Wahib, tapi dalam banyak hal prinsipil sering tidak sependapat dengannya. Gus Dur hanya perhatian dan menghormati Wahib atas nama kebebasan berpikir.
Namun, lagi-lagi jika kita mengaca pada sejarah perkembanagan Islam di Indonesia, yang notabenenya berbeda secara sosial kultural dengan tanah Arab, maka pembaharuan pemikiran Islam sangatlah penting demi menunjang kemajuan Islam sendiri.
Sekiranya subur pemikiran-pemikiran baru yang berbeda dengan mainstream Islam, biarlah tumbuh dengan sendirinya menemukan tanah yang cocok. Sehingga, pemikiran yang tidak kuat dalam artian gagal, secara otomatis akan tergeser dari panggung masyarakat. Dengan itu, maka hanya tersisa pemikiran yang sesuai dan tepat dengan sosial kultural masyarakat muslim Indonesia.
Akhir kata, bangsa Indonesia sangat membutuhkan tokoh-tokoh semacam Ahmad Wahib atau Gus Dur, yang mampu memancing agar bangsa kita terus berpikir dan menggali khazanah sehingga bangsa Indonesia benar-benar memiliki harga dan jati diri yang unggul. (*)
Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Minat kajiannya tentang isu-isu keislaman. Sekarang tinggal di Asrama Garawiksa Institute yang beralamat di Jln. Gedongkuning, Gg Irawan, RT08/RW34, No. 306, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. instagram; @makhsun_id