Meretas Jalan Menuju Eropa, Para Pengungsi Kembali Pulang karena Covid-19
Berita Baru – Perselisihan bertahun-tahun antara Turki-Uni Eropa atas pengungsi Suriah mencapai puncaknya di perbatasaan Turki-Yunani pada awal Maret. Hal itu terjadi setelah Turki membuka sisi perbatasannya bagi pengungsi yang ingin menuju Eropa.
Namun, konfrontasi panjang selama berminggu-minggu antara pengungsi yang berusaha menyeberang ke Yunani dan pasukan Yunani yang berupaya menghalangi mereka untuk sementara waktu terselesaikan. Pasalnya, tumbuhnya ketakutan akan penularan Covid-19 melalui pendudukan informal sepanjang perbatasan meredam gelombang eksodus.
Segera setelah perang sipil Suriah meledak pada satu dekade lalu, Turki telah menjadi tuan rumah bagi orang-orang yang berpindah secara paksa. Saat ini, lebih dari 4.1 juta pengungsi dan pencari suaka yang sebagian besar adalah warga Suriah hidup di luar negaranya dan terbanyak berada di Turki.
Merasa seakan tidak mampu menghadapi persoalan imigran sendirian selama lima tahun pertama krisis dan kemudian berlanjut ke “krisis imigran” pada 2015 di Eropa, Ankara akhirnya mencapai kesepakatan dengan Brussels pada Maret 2016. Turki akan mengambil kembali para pengungsi serta pencari suaka dan berupaya membendung aliran pengungsi selanjutnya dengan imbalan 6 miliar euro sebagai dukungan yang telah dijanjikan.
Meskipun orang-orang Suriah, Afghanistan, dan negara lainnya terus mengungsi ke Turki pada tahun-tahun berikutnya, hidup tidak selalu mudah bagi mereka di sana. Seperti pada Maret 2019, hanya 31,000—atau sekitar 1.5 persen—dari 2.2 juta pengungsi Suriah usia kerja yang memperoleh hak legal untuk bekerja di Turki.
Turki memang layak memperoleh penghargaan karena relatif bermurah hati kepada pengungsi Suriah, yang mana Presiden Erdogan kerap menyebut saudara di masa-masa awal perang sipil dan bahkan mereka pada awal 2016 dapat memilih kewarganegaraan Turki. Akan tetapi, meskipun perlakuan itu secara teknis merujuk pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967—dokumen utama yang membentuk hukum pengungsi internasional—Turki mempertahankan pengecualian geografis, yang berarti hanya mereka yang dipindahkan dari Eropa dapat disebut sebagai pengungsi.
Meskipun Turki sendiri mengadopsi hukum suaka yang terinspirasi dari Uni Eropa di 2013, tetapi hal itu sebagian besar mempertimbangkan kebijakan pengungsi di dalam negeri dibandingkan kerangka hukum internasional. Karenanya, tidak banyak yang bisa dilakukan ketika di 2019 Turki memulangkan orang-orang ke wilayah Suriah Utara yang dikuasainya, dimana tergantung pada detail kasusnya, hal itu dapat mencederai hukum internasional.
Belakangan sejarah rumit ini mencapai puncaknya di perbatasan Turki-Yunani pada akhir Februari. Mengikuti peningkatan pertempuran di Idlib, Suriah (benteng terakhir kekuatan oposisi yang didukung oleh Turki), lebih dari 700,000 pengungsi Suriah telah mencari suaka dekat perbatasan Turki sejak Desember 2019.
Mereka terjebak antara pasukan pendukung rezim Assad, yang tanpa pandang bulu telah menyerang rakyat sipil hingga ke Selatan dan perbatasan Turki yang tertutup di wilayah Utara.
Kekesalan panjang atas apa yang mereka tangkap sebagai kurangnya ketertarikan dan dukungan Uni Eropa, terbukti oleh dugaan kegagalan untuk memberikan bantuan keuangan yang telah dijanjikan, otoritas Turki akhirnya bereaksi setelah mereka merasa respon Eropa terhadap krisis di Idlib pun tidak memadai.
Pada tanggal 27 Februari, Turki mengumumkan tidak akan lagi menghentikan pergerakan pengungsi yang mencari suaka di tanah Eropa.
Selama berjam-jam, para pengungsi dan imigran paksa lainnya berada di kapal-kapal menuju pulau Lesbos Yunani. Sementara mereka yang di dalam mobil, van, maupun bis mengarah ke perbatasan Turki-Yunani. Banyak pula yang bergerak langsung ke pusat regional Edirne di Timur Laut Turki, di mana penyeberangan perbatasan antara Bulgaria dan Yunani lebih mudah dilalui.
Dengan dukungan penuh dari Uni Eropa, Yunani menyambut pembukaan sisi perbatasan Turki dengan mengirimkan batalion bersenjata. Mereka juga menggunakan kekerasan untuk menghalau orang-orang yang memasuki wilayahnya.
Menjelang 14 Maret, apa yang dahulunya ladang pertanian dekat sisi perbatasan Turki telah menjadi wilayah pendudukan informal yang padat. Meskipun demikian, Gubernur Edirne mengeklaim pada 17 Maret bahwa 132 pengungsi telah menyeberang ke Yunani.
Berbagai usaha untuk melintas ke negara tersebut telah didahului dengan dugaan penganiayaan dari pasukan keamanan Yunani menggunakan gas air mata dan peluru karet.
Kekerasan juga dilakukan oleh para penduduk Yunani yang main hakim sendiri (Athena “dengan tegas menolak menggunakan kekuatan yang tak semestinya”) terlebih hal itu terjadi di tengah gigil musim dingin.
Lalu Covid-19 pun mengubah segalanya. Ketakutan atas pandemi yang dapat menyebar di padatnya pendudukan informal, sejalan dengan dimulainya kembali dialog dengan Uni Eropa.
Pemerintah Turki pun didesak untuk memindahkan antara 4,600 dan 5,800 pengungsi ke pusat migrasi di seluruh negeri pada 27 Maret. Sisanya terjebak di perbatasan yang menyebabkan mereka pulang kembali ke kota-kota Turki yang telah mereka tinggalkan sebelumnya.
Menjelang akhir Maret, pendudukan informal telah menjadi sepi. Akan tetapi, tantangan signifikan masih tersisa. Negara tuan rumah yang enggan berurusan dengan krisis kesehatan yang terus meningkat, bertentangan sikap dengan Uni Eropa atas apa yang harus dilakukan terhadap migran paksa Turki.
Erol Yayboke merupakan kepala deputi dan senior fellow di Proyek Kesejahteraan dan Pembangunan di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington D.C. Bulent Aliriza adalah senior associate dan direktur Proyek Turki CSIS. Joseph S. Bermudez Jr merupakan senior fellow untuk analisis citra (bukan penduduk) di CSIS.
Sumber | amti.csis.org |
Penerjemah | Sarah Monica |