LBH Jakarta Ajukan Pendapat Tertulis sebagai Amicus Curiae dalam Kasus Kriminalisasi Buruh Perempuan
Berita Baru, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam siaran persnya mengajukan pendapat tertulis sebagai Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) pada Selasa (17/12/2024), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendapat ini diajukan terkait dengan kasus yang menjerat Septia, seorang buruh perempuan yang dilaporkan oleh mantan atasannya, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF, pada 2023 lalu. Septia dilaporkan ke Polda Metro Jaya setelah menyampaikan fakta mengenai kondisi kerja yang buruk dan pelanggaran hak normatif yang dialaminya selama bekerja di PT Hive Five.
Kasus ini berlanjut hingga persidangan, dan pada 11 Desember 2024, Septia dituntut dengan hukuman 1 tahun penjara serta denda sebesar Rp 50 juta, subsider 3 bulan kurungan, karena dianggap melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Tuntutan tersebut mendapatkan kecaman dari LBH Jakarta yang menilai bahwa proses hukum ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi yang sah di ranah digital.
Menurut pendapat tertulis LBH Jakarta, ada sejumlah kekeliruan dalam penerapan delik oleh penuntut umum, khususnya terkait dengan dakwaan penghinaan dan pencemaran nama baik. LBH Jakarta menegaskan bahwa pernyataan Septia di akun Twitter pribadinya tidak melanggar pembatasan hak asasi manusia (HAM) dan seharusnya dilindungi oleh instrumen hukum HAM nasional dan internasional.
“Dalam perkara ini, konstruksi dakwaan penuntut umum mengandung kesalahan fatal, terutama mengenai penerapan delik penghinaan dan/atau fitnah yang seharusnya hanya dapat didakwakan terhadap individu dengan identitas spesifik, bukan terhadap institusi atau jabatan,” ungkap LBH Jakarta dalam pernyataannya.
Lebih lanjut, LBH Jakarta juga mengungkapkan bahwa pernyataan Septia di media sosialnya dilatarbelakangi oleh situasi yang ia alami sebagai buruh perempuan yang menjadi korban pelanggaran hak normatif. “Pernyataan tersebut merupakan bentuk pembelaan diri atas kondisi yang dialaminya dan kepentingan umum terkait praktik korporasi yang melanggar hak-hak buruh,” tambah LBH Jakarta.
LBH Jakarta juga menekankan bahwa, sebagai buruh perempuan dengan relasi kuasa yang timpang dengan pelapor, Septia seharusnya tidak dipidana. “Dengan mempertimbangkan relasi kuasa yang tidak seimbang antara Septia dan Henry Kurnia Adhi, serta status sosial-ekonomi yang lebih tinggi dari Henry, kami mendesak Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan bebas bagi Septia,” tegas LBH Jakarta.
Melalui pendapat tertulis ini, LBH Jakarta meminta Majelis Hakim untuk menghindari proses peradilan yang sesat (miscarriage of justice) dan menegaskan peran lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan. LBH Jakarta berharap agar proses hukum yang menimpa Septia ini dapat menjadi contoh penting dalam menjaga hak-hak buruh, terutama buruh perempuan, serta menegakkan prinsip keadilan tanpa diskriminasi.