PBB Ajukan Permohonan Dana 47 Miliar Dolar untuk Krisis Kemanusiaan 2025
Berita Baru, New York City – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (4/12) meluncurkan permohonan dana senilai 47 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.957) pada 2025 untuk membantu 190 juta orang di tengah berbagai krisis yang semakin memburuk di seluruh dunia.
Seperti dilansir dari laman Xinhua News pada Kamis (5/12/2024), “Pada 2025, 305 juta orang di seluruh dunia akan membutuhkan bantuan dan perlindungan kemanusiaan darurat, seiring meningkatnya berbagai krisis dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi mereka yang terdampak,” kata Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dalam laporan Global Humanitarian Overview yang baru saja dirilis.
Laporan tersebut menguraikan bahwa jumlah sebenarnya orang yang menjadi sasaran penerima bantuan tersebut adalah 189,5 juta orang. Pada 2024, sekitar 116 juta orang telah menerima bantuan. “Dunia sedang dalam kondisi darurat,” kata Tom Fletcher, wakil sekretaris jenderal PBB untuk urusan kemanusiaan dan koordinator bantuan darurat, dalam laporan tersebut, seraya menyebutkan bahwa dua penyebab utama krisis kemanusiaan global saat ini adalah hasil dari tindakan manusia.
Penyebab pertama adalah konflik, kata Fletcher, yang berlangsung lebih lama dan sangat berdampak pada anak-anak. Hampir 123 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik tahun ini, menurut data PBB.
Penyebab kedua yaitu keadaan darurat iklim, dengan kelompok masyarakat yang paling rentan menjadi yang paling terdampak, kata Fletcher, seraya menekankan bahwa dunia perlu menata ulang hubungannya dengan kelompok-kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. “Dengan tidak adanya tindakan yang berarti untuk mengakhiri dan mencegah konflik serta menghentikan pemanasan global, manusia akan menghadapi krisis yang semakin berkepanjangan,” kata laporan tersebut.
Menurut perkiraan OCHA, durasi rata-rata rencana atau permohonan bantuan kemanusiaan saat ini mencapai 10 tahun. Sejumlah rencana atau permohonan, seperti di Republik Afrika Tengah, Chad, Republik Demokratik Kongo, Wilayah Palestina yang Diduduki, Somalia, dan Sudan, telah berlangsung secara kontinu selama lebih dari 20 tahun. “Semakin lama krisis kemanusiaan berlangsung, semakin suram pula prospek masyarakat yang terdampak,” katanya. Meski demikian, situasinya tidak semuanya suram.
Di segelintir negara, situasinya telah membaik, menurut laporan tersebut. Enam negara yang telah merespons keadaan darurat iklim dengan waktu terbatas akan menyelesaikan rencana atau permohonan respons kemanusiaan mereka per akhir 2024. Oleh karena itu, orang-orang yang membutuhkan di negara-negara tersebut tidak termasuk dalam dokumen ini.
Keadaan darurat iklim ini termasuk banjir di Burundi, Libya, dan Nepal, angin topan di Grenada dan juga Saint Vincent dan Grenadines, serta topan dan kekeringan di Madagaskar.
Laporan tersebut menyebutkan masih ada kerentanan yang signifikan. Hal tersebut menekankan perlunya investasi cepat dalam pengembangan yang dipimpin secara lokal dan pembiayaan iklim untuk membantu komunitas yang paling terdampak agar dapat beradaptasi dengan ancaman-ancaman di masa depan.
Kekurangan dana masih terus terjadi. Hingga 17 Oktober, permohonan dana bantuan global 2024 senilai 48,65 miliar dolar AS baru terpenuhi 35 persen, kata OCHA.
Global Humanitarian Overview merupakan penilaian tahunan atas kebutuhan kemanusiaan global dan cara meresponsnya. Dokumen ini memberikan gambaran umum mengenai sumber daya yang diperlukan untuk mendukung orang-orang yang menjadi sasaran penerima bantuan.