Piano yang Mengapung di Atas Tubuhku | Puisi-Puisi Astrajingga Asmasubrata
39° Celcius
Aku telungkup dalam perut kembung
Dan jemarimu yang lentik begitu lincah
Memainkan gobang menari seluncur indah
Di atas punggungku yang berkilat losion.
Kamu melihat angin melintang
Warnanya merah seperti Lenin.
Malam ini tumben dingin sekali.
Dua lembar koyo panas di lumbalku
Seakan gagal mengendurkan otot
Yang tegang pasca lembur begadang.
Kamu mendengar gumam gigil
Suaranya gemeretak seperti Chernobyl.
Satu selimut dalam pelukanmu;
Aku mendadak segar dan dunia baik-baik saja
Usapan-usapan lembut telapak tanganmu
Seperti puisi dibaca pelan-pelan,
Di luar kefanaan.
(Sorowajan, 2022)
Piano yang Mengapung di Atas Tubuhku
Dalam telapak tanganku yang cacat
Kata-kataku tumbuh. Alur akarnya
Menjalar dan berdenyut
Di jantung bayang maut
Beberapa saat setelah menulis sajak
Buku jari tanganku bergantian terputus
Darah dan sumsumnya menetesi lantai
Bau amisnya sukses diterjemahkan tuts piano itu
Di bawah poster Muhammad Ali
Aku lindungi kelemahan ini
Sebelum kau membaca sajakku
Dengan lembut lidahmu yang setajam waktu
Aku menulis untuk menyimpan
Sekaligus membuang tubuhmu dari tubuhku
Gita puitis sajakku merasa berutang
Pada gema nada tuts piano itu
Buku jari tanganku berulang terputus
Mengucur darah
Dan sumsumnya
Membasahi gelap-terang waktu
(Sorowajan, 2022)
Tiga Kuatren dari Lana Del Rey
/1/
Mendengarkan Dark Paradise, mendengarkan
Lana Del Rey mengiris gelap-terang waktu, dan pejamku
Membuka pintu menyambut bayangan perempuan silam,
Menjenguk pulas yang jarang menyimpan indah mimpi.
/2/
Telingaku masih hafal bisikan genit itu
Juga tangis saat kau merasa dikalahkan dunia yang,
Kini terasa lebih perih menyayat seperti perasaan sia-sia
Saat aku berusaha untuk melupakan semua tentangmu.
/3/
Malam ini, di kamar yang masih mengemas
Harum rambutmu, seperti biasa aku mencoba berdamai
Dengan menulis tiga kuatren lembut lagi tenteram
Dari sebagian kenangan yang, mungkin ditakdirkan kekal.
(Sorowajan, 2022)
Belum Selesai
Ia terlepas dari kelopak mataku
Yang cacat. Saat malam tampak gemetar
Di penghabisan musim hujan, malam
Yang mengantar gelap dengan kasar.
Dalam pikirannya yang sesedih
Bangsal rumah sakit, aku adalah pasien
Yang mengalami koma. Napasku berembun
Di sejulur bening selang, juga kacamatanya.
Kenangan akan tubuhnya menyerupai
Bayangan sedingin mayat
Yang merebak kantil dan cempaka—
Setelah itu, tidurku dirasuki mimpi buruk.
Setiap kali ia bicara, lidahku turut pula
Bergetar. Menggema kata demi kata
Yang sama berulang-ulang. Lalu tanah
Sehabis hujan itu dipenuhi bangkai burung.
Ia berwarna biru di kelopak mataku
Yang cacat. Saat seseorang mengeluhkan
Bintik cacar di perut dan punggungnya
Lantaran membaca sajak yang belum selesai ini.
(Sorowajan, 2022)
Syahwat Ular
Dalam ceruk hidupmu
Ia hitam yang berkilat dalam wujud
Ular bergelung. Tenang mengungguli bayang,
Terlindung dari mantra dan doa. Ketika ia
Mendesis, matamu panas sekaligus berair
Ia mimpi buruk yang tak membuatmu terbangun
Pada tiap erangan nasibmu
Ia menaruh sejumlah telur. Kelak, menetas
Sebagai dendam yang sedih. Ular-ular anyar
Dengan racun berteluh sanggup melumpuhkan
Kesabaranmu cukup sekali gigitan alit
Dalam selubung hidupmu
Ia kekal di luar yang tersebut waktu,
Keindahannya adalah kehancuran berulang-ulang
Semua celah ada selongsong sisiknya
Yang tampak lebih berkilat, mengesatkan
Basah binar ali matamu dengan kasar
Pada tiap jerit tertahan
Ia mengolok-olok nasibmu
Menyerupai mangsa kecil
Yang jemawa diberi sebentar jeda
Sebelum menamatkanmu dalam gigitan sengit
Syahwat ular yang licik
(Sorowajan, 2022)
Malam Ini Tumben Dingin Sekali
Malam ini tumben dingin sekali, kuku jemariku
Berlepasan menjadi kunang-kunang
Terbang ke arah jendela yang buram—
Sebelum subuh turun, dan kabut terbantun.
Aku matikan lampu
Dan berbaring di ranjang, kini kunang-kunang itu
Seakan berusaha membuat sarang di selimutku
Yang bercorak sajak kembang krisantemum.
Sepasang mataku tiba-tiba berair
Semua sedih yang kusimpan dalam pejam
Dikerumuni kunang-kunang, kantuk pun lesap
Berganti pandangan yang menggigil.
Malam ini memang dingin sekali,
Menitis sajak rumpang tak tunak direjang—
Kata-kata karatan menagih dibasuh pijar geni
Memanggil ribuan kunang-kunang.
Jemari tanganku bersimbah darah.
(Sorowajan, 2022)
Situ Sedong
Aku menanti sebuah hari
Terbuat dari langit menjadi air
Saat angin membisikkan riak
Yang lebih lembut dari kabut gunung
Lalu kau hanyut di hadapanku
Sebagai utusan silam yang getun, seruanmu
Membuat ikan-ikan mati, kilau sisiknya
Menjelempah di atas bayang tubuhku
Di sini sebuah hari
Adalah biduk yang digulung pusaran air
Seluruh nyeri mengapung dan melata
Ke arah gelap-terang waktu di selingkung gunung
Lalu langit dan air itu menjadi tubuhmu
Yang dendam, memanggil-manggil namaku
Dengan suara sehitam kutukan, menggema
Di sekujur tubuhku yang membusuk
(2022)
Astrajingga Asmasubrata lahir di Cirebon pada tanggal 03 Maret tahun 1990. Bekerja sebagai Barista di Kafe MainMain, Yogyakarta. Buku puisi yang telah diterbitkan: Ciuman Berwarna Biru (2021)