YLBHI Desak Presiden dan DPR Hapus Pasal Anti Demokrasi di RKUHP
Berita Baru, Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Kantor mendesak Presiden Joko Widodo beserta DPR untuk menghapus pasal-pasal antidemokrasi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
YLBHI berpendapat pengesahan RKUHP harus ditunda. Mereka meminta pasal-pasal itu dicabut sebelum pengesahan.
“YLBHI dan 18 LBH Kantor mendesak kepada Presiden dan DPR RI untuk menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir di dalamnya, menghapus pasal-pasal anti demokrasi dalam RKUHP,” dikutip dari keterangan tertulis YLBHI, Kamis (24/11).
Pasal antidemokrasi yang dimaksud adalah pasal 218-220 tentang pidana terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden. Lalu pasal 349-351 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Selain itu, pasal pencemaran nama baik. Begitu pula pasal 256 yang memidanakan penyelenggaraan demonstrasi yang tidak didahului dengan pemberitahuan.
“Apabila masih dipaksakan, paradigma hukum yang demikian akan memunculkan satu masalah besar, yakni ancaman over-kriminalisasi kepada rakyat,” ujar YLBHI.
YLBHI juga mendesak pemerintah dan DPR membahas RKUHP secara transparan. Mereka juga meminta pelibatan masyarakat selama pembahasan.
“Memastikan proses pembahasan yang transparan dan partisipatif dan mendengarkan dan menerima masukan, aspirasi dan kritik dari masyarakat sipil,” ucap mereka.
Sebelumnya, LBH Jakarta meminta pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di RKUHP dihapus.
Pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referendum mengatakan pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden atau wakil presiden saat ini diatur dalam draf RKUHP pasal 218, 219, dan 226.
“Pasal ini kami sarankan untuk dihapus oleh Pemerintah maupun DPR karena memang tidak sesuai, bahwa presiden dengan wakil presiden tentunya tidak boleh dilihat sebagai individu, tetapi harus dilihat sebagai suatu jabatan,” ujar Citra dalam konferensi pers secara daring, Minggu (20/11/2022).
Lebih lanjut, Citra menjelaskan dalam memenuhi kewajiban dari hak asasi manusia (HAM), pengurus negara seperti presiden dan wakil presiden memiliki kewajiban untuk mendengar suara dari rakyat.
Hal itu, kata dia, dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa, rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi.
“Jika kemudian rakyat justru malah tidak diperbolehkan untuk menyampaikan pendapatnya dengan adanya pasal ini, maka pemenuhan hak-hak lain tentunya akan menjadi bermasalah juga alias tidak terpenuhi,” jelas Citra.
Di sisi lain, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyoroti ancaman pidana kurungan penjara terhadap pihak yang melakukan penghinaan pada presiden di RKUHP. Erasmus mengusulkan ancaman pidana itu ditiadakan dan digantikan dengan kerja sosial.
“Untuk penghinaan presiden dan wakil presiden, kami berharap semua ancaman untuk penghinaan itu dilekatkan dengan tujuan pemerintah dan DPR untuk mengefektifkan pidana kerja sosial,” ucap Erasmus dalam rapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (14/11/2022).
Dia menjelaskan verbal crime atau kejahatan lisan mestinya tidak memiliki konsekuensi pembatasan pidana terhadap ruang gerak dan tubuh. Atas dasar itu, Erasmus berharap ancaman pidana disesuaikan dengan ketentuan buku satu, yakni pidana kerja sosial.
“Jadi ancaman pidananya untuk penghinaan kami berharap diancam enam bulan. Supaya kerja sosial bisa langsung digunakan,” jelas dia.
Lebih lanjut, Erasmus mengatakan pada dasarnya, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP tidak bertujuan untuk memenjarakan seseorang.
“Karena dalam konteks harkat martabat yang paling penting pengadilan mengatakan yang disampaikan itu salah, sehingga harkat martabat itu terpulihkan,” tuturnya.
Setelah disahkan dalam rapat pleno tingkat satu hari ini, RKUHP rencananya akan dibawa ke Paripurna terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.
Dari total sembilan fraksi di Komisi III DPR, hanya fraksi PKS yang memberi catatan terhadap RKUHP. Mereka menilai RUU tersebut membungkam kebebasan berdemokrasi.
Sedangkan delapan fraksi sisanya, termasuk partai Demokrat sebagai oposisi menerima tanpa syarat.